Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Saphir Square, Tanda Ambruknya Eksistensi Mal di Jogja?

13 Desember 2013   11:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:58 6278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saphir Square Yogyakarta (www.solopos.com)

Desain Saphir Square memiliki banyak ornamen yang terkesan boros, sehingga yang nampak hanya bangunan besar saja. Sisi humanisnya kurang, seperti akses untuk pejalan kaki dan tempat duduk seperti yang ada di depan mall Amplas.

Mall ibaratnya menghadirkan ruang publik baru bersifat indoor yang dikemas dalam bentuk blok-blok gerai perbelanjaan. Namun perlu diterima juga, bahwa pola hidup kaum urban tidak datang ke mall sekadar belanja. Ada yang berkunjung sekadar jalan-jalan (cuci mata).

Sementara mall yang dibangun di kota saat ini masih melihat dari satu sisi, jumlah penduduk di kota yang selalu bertambah. Sehingga target yang hendak dicapai adalah meningkatkan angka kunjungan.

Mall tidak dihadirkan dalam bentuk ruang publik, dan ini justru berbeda dengan konsep mall yang ada di negara Eropa. Bangunan Mall di Eropa sekalipun memiliki fungsi komersil, juga tidak melupakan nilai-nilai humanis masyarakatnya. Jalur pejalan kaki, atau mini restaurant di bagian depan atau halaman mall merupakan daya tarik mal tersebut.

Pembangunan modern saat ini tidak bisa menampik bahwa kecenderungan masyarakat urban adalah menghabiskan waktu di Mall. Tidak relevan pula jika sekadar memberi cap stereotip bagi pengembang yang mulai mendirikan mall di kota besar.

Pengembang tidak harus membangun mall dalam satu kota, itu faktanya. Jumlah penduduk yang meningkat di perkotaan bukan potensi bahwa mall A akan ramai dikunjungi. Pola hidup secara sosial masyarakat di kota Jogja yang lebih senang ngangkring, duduk di pinggir jalan, ngopi, lesehan adalah budaya asli masyarakat Jogja.

Kunjungan ke Mall untuk berbelanja, mungkin hanya dilakukan sesekali saja. Masyarakat tetap kembali ke budaya hubungan sosial mereka yang disalurkan lewat ngangkring dan ngopi-ngopi di Jalan Malioboro atau di tugu.

Jika target yang dikejar adalah penduduk menengah ke atas, maka hitung-hitungannya sederhana saja, ada berapa banyak kelas menengah ke atas di kota Jogja yang setiap hari mau ke mall?. Berbelanja batik bagi sebagian besar masyarakat Jogja tetap menomorsatukan pasar Beringharjo. Bahkan wisatawan asing akan memilih berbelanja di pasar tradisional Jogja seperti Beringharjo.

[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Pasar beringharjo Yogyakarta (www.tourjogja.com)"]

Pasar beringharjo Yogyakarta (www.tourjogja.com)
Pasar beringharjo Yogyakarta (www.tourjogja.com)
[/caption]

Budaya asing berhasil menjual visual ruang publik mereka di mall, karena sejarah ruang publik sebagian negara di Eropa terbentuk di kafe. Berbeda dengan Indonesia, banyak bentuk hubungan sosial yang terbangun di masyarakat namun lemah di penerapan secara visual untuk ruang publik.

Saat ini keunikan hubungan sosial di ruang publik yang bisa ditemukan itu ada di Jogja. Ngopi di tugu, menyantap nasi angkringan di depan emperan toko KR, menghabiskan malam sampai dini hari di kilometer nol, adalah bentuk penguatan hubungan sosial masyarakat yang terbentuk di ruang publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun