[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Seharusnya pemerintah kota memperketat aturan bagi restoran yang ingin membuka warung makan, apabila tidak memenuhi persyaratan luas halaman parkir (rumah perawatan wajah ini berdampingan dengan restoran yang pengunjungnya rata-rata memarkir mobilnya di jalan)"][/caption]
Kota-kota besar di Indonesia selalu indentik dengan kemacetan. Kemacetan sudah menjadi ciri khas di kota besar. Kondisi transportasi kota-kota di Indonesia sangat jauh berbeda dengan negara tetangga yang pernah saya kunjungi seperti Kuala Lumpur, Putra Jaya, Bangkok dan Singapura.
Transportasi massal seperti MRT dan BRT menjadi moda transportasi sehari-hari warga di tiga negara ini. Jangan berharap bertemu angkutan kota semacam metromini di Singapura, kecuali Bangkok saya masih menjumpainya.
Lantas apakah kemacetan di Jakarta juga sama dengan di Jogja?. Kota yang beberapa kali menyabet penghargaan sebagai kota ternyaman di Indonesia ini mau tidak mau harus menelan pil pahit melihat keadaan transportasi saat ini. Kemacetan di Jogja tidak hanya disebabkan karena jumlah kendaraan motor dan mobil yang bertambah setiap tahun.
Kemacetan di Jogja juga sering disebabkan oleh orang-orang abai/ignorant socialites. Ignorant socialites ini yang seperti apa?. Saya pernah naik Trans Jogja jalur 3A lewat Jalan Kaliurang. Pukul 16.00-18.00 adalah waktu kritis di jalan ini. Seluruh kendaraan tumpah ruah di jalan, akibatnya bus Trans Jogja yang saya tumpangi ikut-ikutan terjebak di tengah kemacetan.
Tapi kejadian yang sangat kami sesalkan saat itu karena di depan shelter portable trans Jogja dihalangi mobil yang sedang parkir. Supir hanya bisa membunyikan klakson menegur pemilik kendaraan. Tapi pemilik kendaraan sepertinya cuek saja.
Kejadian berikutnya saat saya berada di jalan Gejayan, di jalan ini ada satu toko buku yang cukup terkenal, jadi lumayan ramai juga kunjungannya. Lucunya waktu saya menunggu angkutan umum, tiba-tiba saja sebuah mobil merk Freed berhenti tepat di depan bangunan tempat saya menunggu bus kota. Posisi mobilnya pun sejajar dengan arah berputar kendaraan yang ingin memutar balik kendaraannya ke arah yang berlawanan.
Pemilik mobil dengan santai keluar dan masuk di toko buku, sepertinya cuek-cuek saja. Tapi lihat masalah yang ditimbulkan, mobil yang ingin memutar kendaraannya terhalang mobil merk Freed yang asal parkir ini. Beruntung ada tukang parkir yang masih bersedia mengatur lalu lintas yang macet akibat perilaku abai orang-orang yang tidak paham aturan berkendara.
[caption id="attachment_340393" align="aligncenter" width="600" caption="ilustrasinya perilaku abai pengendara mobil yang asal parkir kira-kira seperti di gambar"]
Tentu sangat disayangkan perilaku seperti ini, belum lagi kemacetan yang terjadi di depan warung makan/restoran mewah. Kemacetan panjang kendaraan selalu terjadi di jam-jam makan siang. Pemilik restoran tidak memiliki ruang parkir yang cukup luas, akibatnya pengunjung menggunakan jalan umum untuk parkir kendaraan.
Dalam pasal 43 UU LLAJ No.22 Tahun 2009 dikatakan bahwa Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu lalu lintas, dan/atau Marka jalan. Dalam aturan ini jelas melarang parkir kendaraan salah satunya: Parkir di pinggir jalan sebaiknya dilarang pada jalan 2 arah yang lebarnya kurang dari 6 m.
Tidak hanya restoran mewah yang berhasil menyandera mobil mewah untuk parkir di depan jalan umum, warung kaki lima pun tidak kalah berhasilnya. Tidak keliru beberapa peraturan pemerintah kota yang melarang PKL berdagang di trotoar, bukan semata-mata mengejar keindahan fisik kota. Tapi berhubungan dengan kemaslahatan orang banyak yang menggunakan jalan umum untuk berbagai kepentingan.
[caption id="attachment_340394" align="aligncenter" width="600" caption="Sore hari di jalan Kaliurang, kondisinya sangat macet, semakin diperparah dengan tidak adanya parkir kendaraan yang disediakan rumah-rumah makan tersebut"]
Pernah lewat di depan Rumah Sakit Sardjito? bisa dirasakan bagaimana macetnya jalan ini setiap hari. Hukum dan peraturan ingin dibuat tegas oleh pihak Kampus UGM , namun tumpang tindih dengan kepentingan hajat hidup orang-orang yang mencari rejeki di kawasan ini.
Apa yang bisa kita simpulkan dari kejadian di atas adalah, peraturan soal parkir dan memilih lokasi berjualan saling makan memakan. Akibatnya apa yang kita saksikan atas masalah kota yang terjadi saat ini karena tuntutan gaya hidup warga kotanya sendiri.
Hukum hanya tetap menjadi masalah hukum sedangkan gaya hidup akan berkembang terus, semakin “ekonomi” maka semakin nyampah juga kota kita.
Semakin maju bukannya semakin beradab, malah melahirkan orang-orang abai yang banyak bermunculan, hukum tidak dipatuhi. Semakin banyak hukum semakin banyak pula pelanggaran yang terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H