Bagi wisatawan Amerika ini, negaranya terlalu sibuk, orang-orang bertingkah bagai robot sehingga dia mencari ketenangan dengan melakukan Yoga. Menurutnya India adalah tempat meditasi paling cocok buatnya, tidak salah jika daerah Bangalore yang terkenal sebagai kota lembah silikon ini juga menjadi tujuan wisata karena banyaknya rumah-rumah yoga. Jadi orang dari benua Amerika datang jauh-jauh ke India untuk merasakan pengalaman melakukan yoga? Sepertinya semua hal yang berhubungan dengan agama, spiritual bisa menjadi bagian dalam pariwisata, sekalipun tidak dilontarkan dalam promosi-promosi pariwisata yang berbiaya besar.
India dan Bali memiliki kesamaan, pariwisata di Bali dan Bangalor dipengaruhi karena budaya dan nilai-nilai spiritual. Seorang teman yang juga lama tinggal di Jogja kemudian ke Bali pernah berkata bahwa tadinya dia mengganggap Jogja adalah kota ternyaman, namun setelah menginjakkan kaki di Bali pendapat itu tidak berlaku lagi.
Setiap pagi, di depan rumah orang Bali pasti ada kemenyan/banten, atau kegiatan sembahyang. Aroma kemenyan di berbagai sudut kota menambah kesan sakral baginya, secara subjektif dirinya mengganggap bahwa berada di Bali seperti berada di belahan bumi yang lain. Wisata tradisi mengutamakan nilai, dan wisman sudah mencukupi diri mereka dengan kemajuan pembangunan yang ada di negaranya. Tugas kita bukan menyediakan apa yang ada di negara mereka ke Indonesia, tapi mempertahankan apa yang Indonesia miliki seperti tradisi,budaya dan spiritual untuk wisman.
Lalu bagaimana Peluang Wisata Tradisi di Indonesia?
Akhir tahun 2010 saya berkunjung ke salah satu kecamatan di Kabupaten Luwu Timur, tepatnya di daerah Malili. Saat itu kami kelompok mahasiswa, tengah ditugasi menyusun laporan Rencana Induk Pariwisata Daerah sebagai salah satu tugas studio. Sampailah akhirnya kami di rumah seorang tetua adat bernama Pua' Cerekang untuk menggali informasi Puak terkait lokasi Sumur Jodoh. Ternyata untuk menemukan Sumur Jodoh tidak semudah yang kami bayangkan, kami harus meminta persetujuan 5 ketua adat untuk disetujui lalu mengadakan upacara adat semacam “mohon restu” agar niat kami tidak berujung pada hal-hal buruk.
Saya pernah berfikir apakah ini hanya cara-cara Puak yang kurang berkenan jika kami mengunjungi sumur itu secara langsung. Melakukan upacara adat bagi saya waktu itu sudah tidak mungkin, karena kami datang ke Malili tidak pernah memperkirakan faktor-faktor ritual dalam rencana kerja kami. Izin yang alot dan proses yang agak rumit ini menjadikan tugas pencarian lokasi pengembangan pariwisata terhenti sementara kala itu.
Selanjutnya kami disarankan oleh warga mengunjungi salah satu permandian air terjun di daerah Malili. Ternyata permandian air terjun yang dimaksud masih alami, belum disiapkan untuk pengembangan obyek wisata. Lagi, dominasi adat dan pantangan leluhur menyebabkan permandian air terjun itu terlihat sepi. Apalagi sebelum sampai ke lokasi ini, telinga saya sudah dipenuhi cerita mistis yang tidak bisa dioercaya begitu saja.
Tidak hanya Sumur Jodoh dan Permandian Air terjun di Malili yang belum dikembangkan sebagai pariwisata. Kabupaten Bantaeng adalah salah satu daerah tertua di Sulawesi Selatan, punya potensi pengembangan wisata budaya karena memiliki riwayat sebagai kerajaan 750 tahun yang lalu. Lokasi Balla Tujua yang diyakini sebagai titik utama pusat Kerajaan Bantaeng juga terbengkalai. Padahal potensi dan nilai sejarah jika dikemas dalam wisata sejarah akan berdampak besar bagi penelusuran kembali jejak kejayaan Bantaeng di masa lalu.
Di banyak bagian Sulawesi Selatan, mengembangkan wisata tradisi dan budaya memang tidak mudah. Budaya dan adat adalah bagian yang jarang disentuh oleh masyarakat apalagi dibuatkan dalam perayaan besar seperti di Jogja atau Bali. Nilai agama sangat kuat mengakar di kehidupan masyarakat, yang percaya bahwa mempercayai adat sama dengan menistakan ajaran agama yang murni. Akan tetapi pengetahuan ini terbatas pada mereka yang disebut "bekas keluarga kerajaan" saja. Itulah mengapa, banyak daerah yang memiliki nilai budaya dan berpotensi untuk menjadi daerah wisata justru tidak didukung sebagai bagian dari pariwisata.
Peluang pemerintah sebenarnya cukup besar mengembangkan wisata tradisi di bagian timur Indonesia. Namun memerlukan konsep yang jelas dan sasaran yang tepat ditunjang dengan pemahaman masyarakat yang semakin terbuka dan luas melihat fungsi pariwisata tradisi yang mereka miliki.
Pada beberapa wilayah yang memiliki tradisi cukup unik seperti Kabupaten Jeneponto yang terkenal dengan kuliner khas daging kuda dan peternakan kuda atau kabupaten Bulukumba dengan Suku Kajangnya, Bantaeng dengan Kota Tua, Gowa dengan kerajaan Sultan Hasanuddin layak untuk dikembangkan menjadi tujuan wisata.
Perlahan wisata tradisi yang ada di Bali atau wisata simbolik di Jogja akan tersaingi dengan wisata tradisi di negara lain yang memiliki potensi wisata budaya dan spiritual sama bagusnya dengan Bali namun masih langka. Wisata budaya dan spiritual yang sudah berkembang di negara lain namun masih “perawan” seperti Bhutan atau Tibet dan perlahan merangkak ada India, Filipina dan Myanmar.
Saran untuk kementerian pariwisata adalah dengan membuka akses untuk daerah yang memiliki kekhasan budaya dan spiritual seperti di Batak (Sianjur Mula-Mula) yang dipercaya sebagai daerah lahirnya budaya dan agama asli Batak. Daerah Nusa Tenggara memiliki Suku Sasak, di Sulawesi Selatan ada Toraja dan di Nusa Tenggara Timur ada Wae Rebo dikenal dengan sebutan Kampung Kuno Di Atas Awan ini telah mendapat penghargaan dari Unesco kategori Award of exellence Asia Pacific For Cultural Heritage. Kemenpar harus sesekali keluar dari brosur-brosur wisata dan mengembangkan tempat-tempat yang bahkan saat tidak dipromosikan, sebetulnya dapat memikat turis secara simultan.