[caption id="attachment_392272" align="alignnone" width="600" caption="Rumah Tongkonan Khas Tanah Toraja, Sulawesi Selatan (2008) Dokumen: Ratih Purnamasari"]
[/caption]
Salah satu daerah tujuan wisata di Sulawesi Selatan yang memiliki kunjungan wisatawan mancanegara cukup tinggi adalah kabupaten Tanah Toraja. Upacara pemakaman anggota keluarga yang sebelumnya diawetkan selama bertahun-tahun selalu menjadi daya tarik pengunjung. Rambu Solo yakni upacara pemakaman anggota keluarga di Tanah Toraja mungkin sama meriahnya atau lebih meriah dengan pesta pernikahan di kampung saya, di Sulawesi Selatan.
Awalnya tidak habis pikir, mengapa orang Toraja rela menghabiskan biaya hingga ratusan juta untuk upacara kematian? Namun, apa yang jadi pertanyaan saya tadi lalu menjadi tidak penting, karena secara keseluruhan upacara Rambu Solo justru menjadi daya tarik utama wisata di Tana Toraja, selain mengunjungi patung-patung dan boneka menyerupai mayat. Tidak jauh berbeda dengan wisata yang ditawarkan Bali, seorang teman yang selama 2 bulan melakukan penelitian di Subak mengatakan bahwa sangat sulit menandingi pariwisata di Bali kecuali, ada tradisi di daerah lain yang sama kuatnya, dan mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
[caption id="attachment_392273" align="alignnone" width="600" caption="Gunung yang dijuluki gunung nona, pemandangan yang sangat cantik, rute Enrekang-Tator (2008) Dok.Ratih Purnamasari"]
Tana Toraja, Bali, Nias, pedalaman Kalimantan, dan Batak adalah daerah yang memiliki kekayaan budaya dan spiritual sangat kuat. Kekuatan budaya dan nilai spiritual seperti hubungan kosmologi antara Tuhan (Pencipta), manusia dan alam menjadi pedoman orang-orang Bali, Toraja atau Batak dalam berbicara, bersikap hingga dalam kegiatan pembangunan wilayah.
Misalnya, di Bali tidak boleh mendirikan bangunan melebihi ketinggian Pura, sedangkan di Toraja misalnya, atap bangunan publik dan pemerintah harus menyerupai bentuk atap rumah Tongkonan. Pura, Tongkonan adalah simbol, namun simbol ini juga yang menguatkan karakter daerah Bali dan Toraja sebagai daerah pariwisata. Dalam tulisan ini akan menggambarkan pengaruh tradisi dan budaya di daerah yang menjadi tujuan wisata terbaik yakni Bali dan Yogyakarta:
Pola Tata Ruang Kota
Mengembangkan pariwisata dengan menonjolkan kekuatan pengaruh agama dalam cara hidup masyarakat Bali dan Toraja bisa menjadi pertimbangan, khususnya untuk daerah yang sebelumnya sudah memiliki kepercayaan terlebih dulu. Pada tatanan konsep secara fisik, pengaruh budaya dan agama di kota pariwisata seperti Bali, Jogja dan Toraja sebenarnya telah terbangun. Misalnya, pola tata ruang yang ada di Bali mengacu pada pola Tri Hita Kirana atau di Jogja dengan Catur Catra Tunggal, Toraja dengan Aluk Toddolo. Konsistensi budaya dan kosmologi masyarakat Bali, Toraja dan Yogyakarta diterjemahkan dalam pola ruang perkotaan.
Pengaruh budaya cukup besar dan berdampak pada kenyamanan wisatawan melancong di kota-kota tematik tersebut. Misalnya, wisman dan wisatawan domestik tidak perlu merasa khawatir tersesat di Yogyakarta. Mengapa? Salah satunya adalah pengaruh pola dan tata ruang kota Yogyakarta yang mengacu pada Catur Catra Tunggal (Merapi, Tugu, Alun-alun, pasar, keraton dan Pantai) sebagai satu garis imajiner yang membentang membelah simetris kawasan dan perkampungan yang ada di jogja dengan sistem jaringan jalan.
Pengaruhnya terhadap sistem jaringan jalan adalah jalur transportasi membentuk pola grid sehingga cukup memudahkan pergerakan orang untuk berpindah ke berbagai sudut kota yang menarik. Pemerintah Yogyakarta juga menyediakan fasilitas transportasi yang mampu menjangkau semua bagian kota Jogja dengan mudah dan aman.
Kelemahan daerah lain sehingga sulit bersaing atau menjadi tujuan wisata baru selain Bali atau Yogyakarta adalah eksplorasi budaya dan nilai lokal yang masih kurang bahkan cenderung terabaikan. Parahnya lagi, beberapa kekhasan budaya ini mulai dihilangkan jika sudah bersinggungan dengan keyakinan penduduk secara mayoritas.
Bentuk ketidakpahaman beberapa pihak memandang adat yakni dengan memaksakan konsep pembangunan pemerintah ke dalam kawasan adat. Misalnya Suku Kajang, mereka menolak listrik dan pengaspalan bukan berarti menolak kebijakan pemerintah. Namun Suku Kajang menganggap alam tidak boleh dirusak, menurut kepercayaan mereka, aspal termasuk merusak/menyakiti tanah, artinya sama dengan merusak alam.
Sebaliknya, keunikan dan tata ruang Kajang tersebut dapat dimanfaatkan pemerintah untuk menjadikannya kawasan wisata adat, namun tetap berkomitmen mempertahankan unsur alami kawasan suku Kajang. Nilai wisata yang ingin dicapai adalah ajaran kehidupan, bagaimana memelihara lingkungan yang selama ini dianggap sepele.
Yogyakarta dan Bali berhasil mengembangkan potensi alam dan kekuatan tradisi sehingga pariwisata mereka selalu menjadi primadona. Orang Bali dan Jogja memahami dengan baik bagaimana menyenangkan wisatawan, dengan memperlakukan wisatawan seperti raja di negeri orang, namun harus taat aturan lokal. Wisata tradisi selalu meninggalkan kesan bagi seseorang untuk kembali ke daerah tersebut, mungkin bukan berwisata lagi, melainkan mencari kebahagiaan di Bali atau Jogja yang masih mempertahankan nilai tradisi mereka.
Wisata Tradisi dan Spiritual, Ada Apa dengan India?
Eric Weiner seorang koresponden dan mantan reporter The New York Times mengungkapkan dalam bukunya “The Geography of Bliss”tentang perjalanan mencari kebahagiaan di kota-kota dan negara yang terkenal dengan penduduknya yang bahagia. Namun dimasukkannya India menjadi bagian dari perjalanan Weiner tadinya cukup membingungkan saya. Mengapa India? Bukankah kekerasan seksual di negara ini bisa menjadi faktor kehati-hatian wisatawan mancanegara melancong ke India? Namun rupanya India memiliki daya tarik lain yang mampu membuat jatuh cinta satu perempuan asal Amerika untuk menyempatkan liburan lalu menetap beberapa waktu di India untuk menemukan ketenangan hidup.