Sejumlah kabar di media massa merilis bahwa salah satu alasan perpecahan dalam rumah tangga adalah
kurangnya komunikasi. Komunikasi bisa dibangun dengan dialog. Oleh karena pasangan jarang
berdialog, yang muncul adalah keheningan. Dalam keheningan itu, rasa curiga tumbuh.
Rasa curiga yang berkepanjangan bisa berimplikasi pada prasangka buruk. Dari prasangka buruk itu
terpercik konflik demi konflik yang melahirkan pembelahan yang berujung pada perpisahan. Dua orang
yang berbeda dan kemudian berakad untuk bersama pun akhirnya terpisahkan karena kurangnya dialog
atau komunikasi.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan beragama di negeri pertiwi ini, komunikasi adalah praktik
sosial fundemantal. Pada satu agama berbeda, bisa muncul kelompok-kelompok kecil. Kelompok yang
dimaksud bisa berbentuk organisasi masyarakat atau ormas. Di antara ormas keagamaan yang sama,
tidak menutup kemungkinan terdapat perbedaan-perbedaan praktik ritual. Jika perbedaan tersebut
diperuncing, konflik yang berpangkal pada rasa benci bisa lestari.
Sementara itu, apabila antar kelompok agama yang berbeda memilih tidak berkomunikasi, kecurigaan
yang timbul bisa bergerak pada tindakan-tindakan ekstrim. Kelompok agama tertentu mungkin saja
menanam bom di tempat ibadah agama lain.
Dengan kata lain, dialog di dalam masyarakat yang memiliki agama yang sama, maupun dialog antar
masyarakat yang berbeda agama, merupakan keniscayaan. Komunikasi yang dibangun bisa berdampak
pada tumbuhnya rasa saling percaya.
Tatkala rasa saling percaya sudah terbentuk, sentimen antar kelompok bisa direduksi. Stereotip yang
punya efek negatif pada hubungan manusia dengan manusia bisa dihilangkan.
Sejarah membuktikan, ada banyak negara yang dibangun atas pondasi perbedaan. Tidak terkecuali:
Indonesia. Para pendiri bangsa berasal dari latar belakang yang berbeda. Mereka berkomunikasi atau
berdialog untuk merumuskan kesejahteraan bersama. Perbedaan bukan ajang permusuhan melainkan
sebuah fenomena yang wajar. Terpenting, semangat kebersamaan tetap terjaga.
Pembahasan mengenai perbedaan dan pentingnya saling menghargai punya relevansi dengan
momentum Pemilu 2024 yang saat ini sudah masuk tahap kampanye. Dalam sebuah lingkungan RT, RW,
termasuk di lingkup keluarga, sangat mungkin terjadi perbedaan pilihan. Namun pastikan kalau hal itu
tidak menjadi momok yang punya bahaya laten.
Nikmati saja perbedaan dalam perpolitikan sebagai penambah semarak pesta demokrasi. Tidak perlu
debat kusir di media sosial atau di grup WhatsApp. Perdebatan bisa menghadirkan rasa jengkel yang
mungkin memantik sakit hati.
Diskusi yang argumentatif mungkin diperlukan dalam sejumlah kesempatan. Tapi pastikan tidak saling
mengejek atau menjelek-jelekkan pihak lain. Bersepakat untuk tidak bersepakat bisa menjadi jalan
keluar saat perbedaan pandangan telah menjadi jawaban final. Sekali lagi: di dunia ini perbedaan
merupakan hal yang sah-sah saja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H