Mohon tunggu...
Ratih Noko
Ratih Noko Mohon Tunggu... Administrasi - Less is More

Pecinta buku dan travel

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Gejolak Pasar Keuangan Global akibat Wabah COVID-19 dan Respon Kebijakan Indonesia

8 Maret 2020   23:23 Diperbarui: 8 Maret 2020   23:24 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"38% of beer-drinking Americans would not buy Corona under any circumstances now."

Kalimat diatas adalah jawaban hasil survey terhadap 737 responden peminum bir Amerika di atas usia 21 tahun mengenai pendapat mereka tentang merek bir Corona1. Corona adalah merek bir asal Meksiko yang populer dan terlaris di seluruh dunia. 

Meskipun perusahaan telah mengklaim bahwa tidak ada hubungannya antara virus dan perusahaan bir, tentunya hal ini berefek buruk bagi merek corona. Lagipula, tidak ada merek yang mau dikaitkan dengan virus ini, kan, karena saat ini corona sedang menjadi pusat perhatian dunia.

Coronavirus disease atau COVID-19 pertama kali di laporkan di kota Wuhan, Provinsi Hubei, China pada Desember 2019. Sampai dengan 8 Maret 2020, ada 100 ribu lebih kasus terinfeksi COVID-19 yang tersebar di lebih 90 negara dengan 60 ribu orang berstatus recovered. Meskipun tingkat kematian dari wabah COVID-19 kurang dari 5 persen, namun dampaknya terhadap ekonomi dan pasar keuangan cukup menjadi perhatian pelaku ekonomi di seluruh dunia.

Penurunan Pertumbuhan Ekonomi Akibat Wabah COVID-19

Dampak wabah COVID-19 telah membuat IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2020 dari 3,3 persen menjadi 3,2 persen. Baru-baru ini, laporan EOCD juga menurunkan pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,5 persen menjadi 2,4 persen. Hampir semua pertumbuhan ekonomi negara-negara OECD menurun, termasuk ekonomi Indonesia dipangkas 0,2 persen menjadi 4,8 persen.

Dampak COVID-19 memberikan tekanan yang dalam terhadap perekonomian Tiongkok. Berbagai lembaga internasional memproyeksikan penurunan pertumbuhan PDB Tiongkok di bawah 6 persen bahkan 5 persen pada 2020. 

Menurut Biro Statistik Nasional, PMI Manufaktur Tiongkok pada Februari 2020 jatuh ke level 35,7 atau titik terendah dibandingkan krisis keuangan 2008. Ekspor Tiongkok penggabungan Januari dan Februari 2020 turun 17,2 persen dan impor turun 4,0 persen dari periode tahun sebelumnya.

Kontraksi ekonomi Tiongkok berpengaruh ke seluruh dunia karena Tiongkok memiliki peran kunci dalam pasokan rantai distribusi, travel, dan komoditas. Tahun 2018, PDB Tiongkok mencapai USD14,3 Triliun atau 15,8 persen dari PDB dunia, terbesar nomor dua setelah Amerika Serikat. 

Dari sisi perdagangan, ekspor Tiongkok mencapai USD2500 Miliar atau 12,9 persen dari ekspor dunia, terbesar nomor satu di dunia. Pengeluaran turis Tiongkok lebih dari USD250 Miliar, terbesar di dunia. Oleh sebab itu, penurunan aktivitas ekonomi Tiongkok akan menganggu rantai distribusi dan pasokan global termasuk pasar keuangan dunia.

Gejolak Pasar Keuangan Global

Kekhawatiran investor terhadap penyebaran wabah COVID-19 berpengaruh terhadap volatilitas pasar ekuitas yang tercermin dari fluktuasi Volatility Index (VIX) sebesar 41,9 atau meningkat 235 persen sejak awal tahun 2020. Peningkatan ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2018 (130 persen), tahun 2008 (78 persen), dan tahun 2007 (95 persen). VIX merupakan indikator untuk mengukur risiko pasar dan ekspektasi pasar terhadap volatilitas 30 hari kedepan. 

Peningkatan VIX ini sejalan dengan terkoreksinya indeks saham S&P 500 US. The Center for Disease Control and Prevention (CDC), lembaga kesehatan publik di AS menemukan kasus COVID-19 yang tidak diketahui asalnya di California Utara mengindikasikan kemungkinan penyakit ini menyebar secara pandemik. 

Hal ini mendorong aksi jual di pasar saham Wall Street sehingga indeks harga saham AS jatuh signifikan ke level terendah pada 28 Februari 2020. Sampai dengan 7 Maret 2020, indeks saham AS masih berada di zona merah, termasuk pasar saham di wilayah Eropa, Afrika, Timur Tengah, dan Asia Pasifik. Kapitalisasi pasar saham global turun signifikan dari USD87,32 Triliun pada 24 Februari 2020 menjadi USD79,94 Triliun pada 7 Maret 2020.

Meningkatnya faktor risiko global mendorong investor untuk mengalihkan investasinya ke emas sebagai aset lindung nilai atau safe haven di saat pasar dipenuhi ketidakpastian. Hal ini tercermin dari harga kontrak berjangka emas naik ke USD1674 per troy ounce, tertinggi sejak 2012. Di sisi lain, imbal hasil (yield) surat utang Pemerintah AS tenor 10 tahun untuk pertama kalinya dalam 150 tahun terakhir jatuh dibawah 1 persen.

Transmisi ke Perekonomian Indonesia dan Respon Kebijakan

Gejolak pasar keuangan global juga berdampak terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), dimana secara tahunan (s.d 6 Maret 2020) terkontraksi sebesar -12,72 persen. 

Nilai tukar rupiah terhadap USD juga terdepresiasi sebesar -2,65 persen. Selain berdampak ke pasar saham dan nilai tukar, transmisi ke perekonomian Indonesia juga melalui jalur perdagangan, investasi, dan pariwisata mengingat Tiongkok merupakan patner utama Indonesia. Tiongkok merupakan tujuan terbesar ekspor non migas dan impor non migas Indonesia dengan masing-masing nilai pada 2019 sebesar USD27,9 Miliar (share=16,7 persen) dan USD44,9 Miliar (share=26,3 persen). 

Dari sisi investasi, Tiongkok menjadi negara terbesar kedua setelah Singapura dengan nilai PMA sebesar USD6,5 miliar pada 2019. Sementara dari sisi pariwisata, kunjungan wisman Tiongkok pada 2019 mencapai 2,1 juta, terbesar kedua setelah Malaysia. Penurunan pertumbuhan ekonomi Tiongkok sebesar 1 persen dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,1 -- 0,3 persen.

Sejauh ini, pemerintah bersama otoritas moneter dan keuangan telah berupaya merespon wabah COVID-19 agar dampaknya tidak semakin meluas terhadap perekonomian Indonesia. 

Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan stimulus fiskal tahap pertama melalui (1) Percepatan Kartu Pra Kerja dengan target 2 juta manfaat, (2) Penambahan Kartu Sembako menjadi Rp200 ribu selama 6 bulan untuk 15,2 juta penerima, (3) Stimulus Perumahan dengan penambahan anggaran sebesar Rp1,5 Triliun yang terdiri dari Rp800 Miliar subsidi bunga dan Rp700 Miliar subsidi uang muka, (4) Insentif Wisman dengan alokasi tambahan Rp298 Miliar, terdiri dari Rp98,5 Miliar untuk airlines dan travel agent, Rp103 Miliar untuk promosi, Rp25 Miliar untuk tourism, dan Rp72 Miliar untuk influencer (5) Insentif Wisnus yang diberikan 30% di 10 tujuan wisata dengan kuota seat 25% per penerbangan selama 3 bulan (Maret, April, Mei). Selain itu, diskon avtur di bandara pada 9 destinasi senilai Rp265,5 Miliar, (6) Realokasi anggaran khusus untuk 10 destinasi wisata, dan (7) Tarif pajak hotel dan restoran menjadi 0 persen.

Dari sisi moneter, Bank Indonesia telah melakukan respon kebijakan dengan (1) Meningkatkan intensitas triple intervention dengan intervensi di pasar spot, DNDF, dan pembelian SBN, (2) Menurunkan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) Valuta Asing Bank Umum Konvensional dari semula 8 persen menjadi 4 persen dan berlaku mulai 16 Maret 2020, (3) Menurunkan GWM Rupiah sebesar 50 bps kepada bank-bank yang melakukan kegiatan pembiayaan ekspor-impor. Kebijakan akan diimplementasikan mulai 1 April 2020 untuk berlaku selama 9 bulan dan sesudahnya dapat dievaluasi kembali, (4) Memperluas jenis underlying transaksi bagi investor asing, (5), Menegaskan kembali bahwa investor global dapat menggunakan bank kustodi global dan domestik dalam melakukan kegiatan investasi di Indonesia.

Dari otoritas keuangan, OJK telah mengeluarkan kebijakan yaitu (1) Relaksasi Penilaian Kualitas Kredit dengan plafon sampai dengan Rp10 Milyar, hanya didasarkan pada satu pilar yaitu ketetapan pembayaran pokok dan/atau bunga, terhadap kredit yang telah disalurkan kepada debitur di sektor yang terdampak penyebaran COVID-19 (sejalan dengan sektor yang diberikan insentif oleh Pemerintah), (2) Relaksasi Restrukturisasi Kredit yang disalurkan kepada debitur di sektor yang terdampak penyebaran corona (sejalan dengan sektor yang diberikan insentif oleh Pemerintah).

Berbagai langkah kebijakan yang telah ditempuh baik dari sisi fiskal maupun moneter diharapkan akan meminimalisir dampak wabah COVID-19 terhadap perekonomian serta menjaga stabilitas moneter dan pasar keuangan Indonesia. 

Jika pada stimulus pertama, pemerintah fokus untuk mendorong konsumsi masyarakat dan insentif pariwisata, maka pada stimulus kedua, pemerintah tengah menyiapkan insentif bagi dunia usaha, khususnya untuk kelancaran bahan baku dan penolong untuk menjalankan produksinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun