Secara historis, kurva yield terbalik cenderung mendahului resesi. Oleh karena itu, investor percaya bahwa kurva yield Treasury terbalik bisa menjadi pertanda resesi berikutnya. Namun studi lain menemukan bahwa meskipun inversi imbal hasil memiliki kekuatan dalam memprediksi resesi tetapi tidak seakurat ukuran lain. Pertama, bisa jadi ada jeda waktu yang cukup lama antara kurva imbal hasil terbalik dan ekonomi memasuki resesi. Kedua, jeda waktu bervariasi. Ketiga, terkadang kurva imbal hasil terbalik tidak menyebabkan resesi berikutnya.
Pelemahan Kinerja Ekspor Negara di Dunia
Perang dagang AS dan China sebenarnya sudah dimulai sejak 2014 sebelum Trump mendeklarasikan kampanye Presiden. Trump yang suka bermain twitter, dalam satu tweet Mei 2014, berkata, "Remember, China is not a friend of the United States!". Bahkan saat menjadi kandidat Presiden tahun 2016 terus menggencarkan permusuhan terhadap China dan mengatakan "We can't continue to allow China to rape our country, and that's what they're doing". Terpilihnya Trump sebagai presiden AS pada November 2016 seakan merealisasikan janji kampanyenya dimana awal tahun 2018 AS mengungumkan tarif impor panel surya dan mesin cuci terhadap China. China tidak tinggal diam, aksi retaliasi China menerapkan tarif impor hingga artikel ini ditulis pun masih terjadi. Dampaknya ekspor Cina ke AS turun 9,3 %ytd dan ekspor AS ke China kontraksi 18 %ytd selama tahun 2019. Implikasinya pertumbuhan ekonomi China melambat dari 6,4 %yoy pada triwulan 1-2019 menjadi 6,2 %yoy pada triwulan 2-2019. Begitu pula ekonomi AS yang melambat dari 2,67 %yoy pada triwulan 1-2019 menjadi 2,28 %yoy pada triwulan 2-2019. Perlambatan dua ekonomi besar dunia ini akan memicu penurunan volume perdagangan dan permintaan global. Dan pada akhirnya ini memicu pelemahan ekspor sebagian besar negara dunia. Dari sample sebanyak 95 negara di dunia, kinerja ekspor selama tahun 2019 tumbuh negatif di 62 negara (65 persen dari total). Bahkan Indonesia  pun tak luput dari penurunan pertumbuhan ekspor.
Aktivitas Manufaktur Menurun
Kinerja manufaktur dapat tergambar dari indikator Manufacturing Purchasing Manager Index (PMI). Indeks PMI dianggap investor sebagai leading indikator bagi perekonomian yang mengukur perubahan dalam tenaga kerja, produksi, pesanan baru, pengiriman barang oleh supplier, dan jumlah persediaan. Jika indeks diatas 50 menunjukkan ekspansi/pertumbuhan dan di bawah 50 menunjukkan kontraksi/perlambatan. PMI Manufaktur global sudah berada di bawah level 50 selama 4 bulan terakhir berturut-turut. Kondisi serupa juga terjadi di kawasan Developed Markets, Euro Zone, dan ASEAN. Tampaknya hampir semua kawasan mengalami pelemahan aktivitas manufaktur.
Bagaimana kondisi perekonomian Indonesia?
Ditengah ketidakpastian, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh dikisaran 5 persen diikuti laju inflasi yang rendah dan stabil serta indikator sosial (pengangguran, ketimpangan, dan kemiskinan) yang menurun. Selama 2019, nilai tukar rupiah masih terapresiasi, return IHSG menguat, capital flow masih masuk ke Indonesia, rasio utang terhadap PDB dibatas aman, sistem keuangan terjaga dengan fungsi intermediasi yang membaik, serta defisit fiskal yang terjaga. Namun transmisi gejolak eksternal ke Indonesia sebagai negara dengan perekonomian terbuka tentu tidak bisa terhindarkan melalui jalur keuangan dan perdagangan. Apalagi penyakit kronis Indonesia yakni defisit transaksi berjalan ditambah defisit neraca perdagangan serta penurunan kinerja sektor andalan yaitu industri manufaktur akan menambah risiko pelemahan ekonomi. Sejumlah bank sentral di negara maju dan berkembang melakukan pelonggaran kebijakan moneter sebagai respon dari dinamika ekonomi seperti di Rusia, Australia, Korea Selatan, Afrika Selatan, Brazil, Filipina, bahkan India yang sudah menurunkan tingkat suku bunganya sebanyak empat kali selama tahun 2019. Indonesia melalui otoritas moneter pun sudah menurunkan suku bunga sebanyak dua kali sebesar 50 basis poin.
Tak dipungkiri, saat ini ekonomi global tengah menghadapi pelemahan. Disaat beberapa negara sudah collapse, maka penguatan stabilitas sistem keuangan harus terus dijaga agar Indonesia tidak terseret kedalam kondisi resesi. Sinergitas bauran antara ekspansi fiskal dan moneter harus terus dilakukan tidak hanya untuk jangka pendek tetapi jangka panjang. Kerentanan Indonesia dari sisi perdagangan dianggap menguntungkan karena share ekspor terhadap PDB sekitar 21 persen, relatif lebih rendah dengan Singapura yang mencapai 176 persen. Namun diluar dari fundamental  ekonomi Indonesia yang masih sehat dan terjaga, kita juga harus tetap waspada terhadap gejolak perekonomian global. Seperti ungkapan Presiden Jokowi, "Payung harus kita siapkan, kalau hujannya besar, kita nggak kehujanan. Kalau gerimis, kita nggak kehujanan"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H