Mohon tunggu...
Ratih Fitroh
Ratih Fitroh Mohon Tunggu... Guru - A passionate happy teacher

Guru baru yang berusaha menjadi murid di kehidupan luas dengan penyertaan Allah selalu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sound of Borobudur: The Harmony of Wonderful Indonesia

2 Mei 2021   16:32 Diperbarui: 4 Mei 2021   16:28 1566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Candi borobudur. (Foto: KOMPAS IMAGES/FIKRIA HIDAYAT)

Mungkin sudah jodoh. Saya, Borobudur, Sejarah, Musik dan kompasiana. Sudah lama tak menulis, apalagi tentang sejarah (terakhir ya skripsi waktu S1. Wkwkwk) karena memang tidak mudah. Menulis sejarah berarti tentang riset, tentang bertemunya kita dengan ledakan pengetahuan yang selama ini telah menunggu. Monumen-monumen sunyi yang agung, magis, indah dan sakral pada masanya. Salah satunya adalah Candi Borobudur.

Sebagai sebuah candi dan tujuan wisata, saya sudah berkali-kali mengunjungi Borobudur. Kalau lagi piknik sekolah jaman SD, apalagi karena tinggal di Kabupaten Ngawi, Borobudur dan Prambanan menjadi destinasi utama saat itu. Saat SMP, SMA bahkan saat kuliah di Jurusan Pendidikan Sejarah Unesa juga sama. Candi Agung Borobudur menjadi agenda utama meski sebagai pelajar kami kehabisan ide mau ngapain.

Dokpri
Dokpri
Kalau ke Borobudur tuh yang kepikiran cuma panas, foto-foto pose aneh di stupa, foto sama bule, pakai topi lebar dan pakai kacamatan item yang banyak dijual pedagang keliling. Belum pernah rasanya kami memikirkan mengunjungi Candi Borobudur sebagai sebuah Candi Agung, yang pada masa kerajaan Mataram Kuno merupakan sumber ilmu pengetahuan dan pusat peradaban Budha dunia. 

Andai diibaratkan artis, Borobudur ini sudah go internasional dari dulu. Kerajaan Sriwijaya yang notabene tidak meninggalkan bangunan monumental sekelas Borobudur saja saat itu disebut I Tsing sebagai pusat pengajaran agama Budha. Banyak biksu dan para pedagang segala kewarganegaraan berkunjung dan mendalami agama budha di Sriwijaya. 

Jikalau dibandingkan, tentulah Borobudur adalah highlight-nya. Meski dibangun di pulau Jawa, rada jauh dari Sriwijaya, bangunannya tidak kaleng-kaleng. Megah berdiri di tengah bukit tinggi. Magis dengan segala keindahan pahatan reliefnya. Nah mengenai relief inilah yang akan menjadi harta karun kita selanjutnya.

Sebagai sebuah monumen, candi Borobudur telah ditetapkan menjadi warisan dunia oleh Unesco pada tahun 1991. Banyak turis lokal dan internasional yang berkunjung, meski sekedar foto-foto dan mendengar penjelasan guide tentang sejarah berdirinya candi. Hampir belasan kali saya ke Borobudur sejak 2002, saya mencermati tidak banyak yang berubah dari segi pemberian informasi terkait Borobudur. 

Jadinya kalau udah berkali- kali kesana, palingan ya cukup sekali aja yang pakai guide. Sisanya karena sudah dijelaskan di sekolah, juga bisa dibaca di internet, agenda utama sebagai turis tetaplah foto-foto dan naik turun hingga area Arupadhatu.

Kesan saya tentang Borobudur mulai berubah saat berkunjung sebagai mahasiswa jurusan pendidikan sejarah. Saat itu tahun 2010 kami tidak memakai jasa guide melainkan dijelaskan sendiri oleh dosen mata kuliah arkeologi kami, Alm. Bapak Hanan Pamungkas. 

Kami diminta untuk berkenalan dengan Borobudur lebih dekat. Kami melakukan mapradaksina, upacara mengelilingi candi searah jarum jam. Kami diminta mencermati relief-relief indah, yang dipahat di batu andesit dari sungai sekitar desa Boro. Kami diminta membayangkan susahnya mengangkut, memotong, memahat, juga mengonsep relief Borobudur yang sangat detail dan halus ini. Kami tercengang. Seperti buta baru melek, anak-anak milenial akhirnya berkenalan dengan benar peninggalan monumental leluhur kita.

Setelahnya, saya mulai jatuh cinta lagi, kali ini lebih dalam pada Borobudur. Tahun 2016 saya kembali kesana, sebagai mahasiswa pendidikan profesi guru sejarah, saya kembali melakukan mapradaksina. Mencermati Borobudur dengan lebih lekat. Reliefnya saya susuri satu demi satu, menikmati kedamaian yang menyusup perlahan di relung dada.

Saat itu Borobudur hampir senja, keindahannya berkali lipat menubruk saya. Saya akhirnya duduk di antara stupa, kemudian memandang sekaliling, ah.. mungkin kedamaian dan ketenangan batin inilah yang dirasakan oleh umat Budha saat membangun candi ini. 

Lokasinya amat luar biasa, suasananya sangat menenangkan. Saya kemudian berfikir sebagai guru sejarah, saya harus bisa membawakan gambaran suasana ini ke kelas saat mengajar. Agar tak cuma saya yang jatuh cinta, tapi juga semua siswa saya.

Dokpri
Dokpri
Tahun 2009-2019 saya sempat aktif di sebuah konser Jazz Traffic Festival di Surabaya. Saat itu pulalah saya berkenalan dengan Prambanan Jazz, bisa dibilang kami bersaudara karena sama-sama menyelenggarakan konser jazz. Tapi jauh dilubuk hati saya selalu iri dengan Prambanan Jazz, meski sama-sama konser jazz, tapi lokasi mereka luar biasa. 

Di pelataran Candi Prambanan. Concert with a view! Makin terpana lagi saat mulai ngeh adanya sendratari Ramayana di candi yang sama. Tiba-tiba sebagai anak EO sekaligus guru sejarah, saya berfikir sebenernya musik, seni, kebudayaan, youth movement ini bisa dilebur jadi satu di warisan benda sejarah kita, candi misalkan.

Maka saat malam kemarin secara tidak sengaja mampir ke kompasiana, membaca iklan adanya lomba blog tentang The Sound of Borobudur, saya merasa saya harus mengaktifkan kembali otak saya untuk menulis tentang ini, sebagai wujud kecintaan saya terhadap Borobudur dan musik. Awalnya saya mikir oh, mungkin mau diadakan konser di Borobudur. Genre musik lain tapi lokasinya di Borobudur. Tapi ternyata saya keliru!

Proyek bertajuk Sound of Borobudur bahkan melampaui imajinasi saya. Digawangi oleh Mbak Trie Utami yang pernah menetap berbulan - bulan di desa sekitar Candi Borobudur (dan saya sangat yakin beliau juga jatuh cinta seperti saya), kemudian dilengkapi oleh Mas Dewa Budjana dan Mas Purwatjaraka, wah, dalam hati saya, gila, ini pasti bakal keren luar biasa. Gak tanggung-tanggung meski bukan sejarawan mereka mencoba membunyikan musik yang dulunya hanya terpatri di relief Borobudur! What a brilliant movement!

Sebagai guru sejarah saya memang mengikuti perkembangan Borobudur. Penataan tamannya, sempet ada kebijakan sewa kain, kemudian ada tour melihat sunrise di Borobudur, ada Borobudur marathon, juga ada Borobudur writers and cultural festival. Tapi kesemuanya belum mengeksplorasi "suara" dari Borobudur sendiri. 

Kita baru sebatas hadir dan mengamati, andai dikategorikan film, kegiatan-kegiatan tersebut masih senyap alias film bisu. Perlu sentuhan "soundtrack" agar Borobudur kembali bersuara dan bergaung ke seluruh dunia, seperti saat masa kejayaannya. 

Tim dari Sound of Borobudur ini jujur membuat saya tercengang. Mereka takes extra mile further. Alih-alih sekedar membuat soundtrack, entah musik dari mana, tapi mereka malah menggali dan meracik sendiri dari relief ratusan tahun yang lalu!

Ah, kan cuma bikin musik. Hey, tak semudah itu ferguso. Arkeolog dan sejarawan bahkan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyingkap cerita-cerita relief Borobudur. Hasil karya mereka memuaskan dalam konsep 2D, sebuah kisah dan penuturan kembali identitas kita. 

Tapi andai wahana permainan, konsep yang 3D jelas dinantikan. Dan tim Sound of Borobudur adalah penggagas dari sebuah petualangan baru, mendapat panggilan hati menggaungkan kembali Borobudur sebagai pusat kebudayaan agung Nusantara, dengan segala kemewahannya.

Ada dua buah teori tentang alat musik yang terpahat cantik di Borobudur. Yang pertama Borobudur menjadi sebuah pusat titik temu, dimana masyarakat internasional saat itu telah banyak berkontak dengan nenek moyang kita, kemudian sebagai bentuk persahabatan maka dipahatlah berbagai fragmen penampilan mereka, lengkap dengan berbagai alat musiknya. Teori kedua sebaliknya, segala alat musik itu berasal dari Nusantara dan tersebar ke penjuru dunia. 

Di youtube Bumi Borobudur disebutkan bahwa salah satu alat musik itu mirip dengan harpa yang ada di Uganda. Tahap kritik eksternal tentu akan butuh waktu lama tetapi sudah menjadi agenda selanjutnya dari tim Sound of Borobudur seperti yang diungkapkan Mbak Iie saat berbincang dengan Gubernur Jateng Pak Ganjar Pranowo.

Apapun hasil interpretasi para sejarawan nantinya, kedua teori itu bahkan mengukuhkan slogan pariwisata kita, Wonderful Indonesia, menjadi makin mengagumkan. Tak hanya alamnya, sejarah dari peninggalan nenek moyang kita sendiri bahkan melampaui imajinasi. Sejak abad ke-9 nenek moyang kita tak habis-habis membuat kejutan. 

Prestasi menciptakan bangunan monumental bernafaskan harmoni relijius terbesar masa klasik Hindhu Budha, yang hingga kini 100 tahun lebih masih kita butuhkan sebagai sumber belajar dan inspirasi. Sejarah pemerintahan, politik, kearifan local, harmoni keberagaman, pusat ilmu kebudayaan dan teknologi, kini bahkan Borobudur sebagai pusat musik dunia.

Sebuah gerakan indah yang diinisiasi oleh para pemerhati budaya. Tak sabar rasanya berkunjung kembali ke Borobudur, mengamati reliefnya, menghirup udara segar sembari mendengarkan Sound of Borobudur mengalun. Relief Borobudur telah banyak kali diinterpretasikan sebagai kisah oleh sejarawan. Kini sebagai penyempurna, alunan interpretasi relief berupa musik menjadi sebuah warisan budaya luar biasa. 

Dari Borobudur untuk Wonderful Indonesia. Di tahun 2016 mbak Tri Utami berfokus tentang reliasasi alat, dari relief ke masa kini, membunyikannya. Makin bertumbuh di tahun 2021 beberapa lagu telah tercipta, mengalun harmonis mengukuhkan kita ke sebuah identitas baru: Borobudur pusat musik dunia. Wonderful Indonesia.

***

Ditulis oleh seorang guru sejarah SMA Negeri 50 Jakarta, fans berat Borobudur dan musik, di Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun