ASEAN, sebagai forum Kerjasama regional Asia Tenggara. Namun, pernyataan skeptis dilontarkan oleh Calon Presiden No. Urut 3, Ganjar Pranowo mengenai efektivitas ASEAN dalam menangani isu Laut China Selatan, terbukti dengan aksi ASEAN yang dinilai kurang memuaskan dalam menjembatani penyelesaian konflik tersebut. Lalu, sebenarnya, seberapa efektif ASEAN dalam menangani isu konflik Laut China Selatan?
Saat ini, sudah selesai proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia yang menjadi pesta demokrasi terbesar dalam periode lima tahun sekali. Jika mengingat Kembali pada Debat Calon Presiden ke-3 pada 9 Januari 2024, yang membahas mengenai Pertahanan, Hubungan Internasional, terdapat satu pertanyaan yang menyangkut isu keamanan regional Indonesia yang sudah berlarut, Laut China Selatan. Calon Presiden no. urut satu, Anies Baswedan menyampaikan bahwa kata kuncinya adalahPerlu diketahui bersama bahwa Laut China Selatan merupakan wilayah perairan strategis dengan kekayaan alam melimpah dan menjadi kunci jalur perdagangan internasional. Berdasarkan data ANTI CSIS, terdapat 190 triliun kubik gas alam dan 11 miliar barrel minyak terkandung di Laut China Selatan, menjadikannya wilayah yang direbutkan oleh Tiongkok dan negara-negara ASEAN. Wilayah perairan Natuna juga menjadi klaim Tiongkok atas Laut China Selatan, yang diyakini, sebagai wilayah dari Tiongkok, dengan dalih historis, merupakan wilayah kekuasaan Dinasti Han, walaupun belum ada bukti konkrit. Klaim Tiongkok inilah yang menjadi ancaman kedaulatan di berbagai negara ASEAN, termasuk Indonesia.
Apa yang diupayakan ASEAN dalam menyelesaikan Konflik tersebut?
Pada 2002, ASEAN telah berhasil menjembatani pembahasan isu Laut China Selatan antara negara-negara ASEAN dengan Tiongkok, melalui Declaration of the Conduct in South China Sea (DoC) yang ditandatangani oleh Tiongkok dan negara-negara ASEAN di Pnom Penh untuk menurunkan ketegangan antara negara-negara tersebut. Di dalam pasal 4 DoC tertulis:
” The parties concerned undertake to resolve their territorial and Jurisdictional dispute by peaceful means, without resorting to the thread or use of force, through friendly consultations and negotiations by sovereign states directly concerned, in accordance with universally recognized principles of international law, including the 1982 UN Convetion on the law of the Sea.”
Pasal ini mejadi dasar penyelesaian isu konflik Laut China Selatan, dengan menyelesaikan sengketa territorial dan yuridis melalui jalan perdamaian tanpa harus mengancam menggunakan kekuatan militer, konsultasi dan negosiasi oleh negara-negara yang bersengketa, dengan mengacu kepada hukum-hukum internasional yang berlaku, termasuk Konvensi PBB terkait Hukum Laut pada tahun 1982.
Beberapa Kerjasama terjalin pasca penandatanganan DoC antara Tiongkok dan negara-negara ASEAN dalam isu Laut China Selatan, seperti pada pertemuan ASEAN-China Joint Working Group on the implementation of the declaration on the onduct of the Parties in the South China Sea 2006 di Sanya, Tiongkok. Kerjasama di bidang kemaritiman, seperti penjagaan ekosistem biota laut, oseanologi, Latihan penyelaman kelautan, dan beberapa poin lainnya menjadi hasil dari pertemuan tersebut.
Pada Maret 2018, ASEAN dan Tiongkok menandatangani Code of Conduct (CoC) dengan dilakukannya pembacaan pertama draft CoC. ASEAn melalui ASEAN Political-Security Cooperation (APSC) terus membangun komunikasi dan menjalin Kerjasama yang menjamin keamanan dan stabilitas di Kawasan ASEAN, dengan menjamin komunikasi yang baik dalam penyelesaian isu Laut China Selatan.
Pada 2023, ASEAN yang diketuai oleh Indonesia berhasil meluncurkan ASEAN Concorde IV, yang salah satu poinnya adalah berusaha menjaga dan mempromosikan perdamaian, keamanan, stabilitas di Kawasan Laut China Selatan, dan mengimplementasikan CoC secara efektif dan substantif, berdasarkan 1982 UNCLOS. Hal-hal ini menjadi bukti komitmen ASEAN dalam menyelesaikan isu konflik Laut China Selatan yang berkepanjangan, mengganggu stabilitas dan keamanan regional ASEAN.