Mohon tunggu...
Rasya Ihza Maulavi
Rasya Ihza Maulavi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Hubungan Internasional UIN Jakarta, tertarik dengan kajian internasional dan hal-hal otomotif

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Cyber Arms Races: Ancaman Era Digital

9 Mei 2023   03:15 Diperbarui: 9 Mei 2023   03:22 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Perkembangan zaman menuntut perubahan yang sangat cepat di dalam kehidupan, dimana teknologi terus berkembang untuk menjadi jawaban atas permasalahan setiap individu. Teknologi digital berkembang sangat cepat, melampaui perkembangan inovasi lainnya. Efektivitas dan kemudahan penggunaannya membuat teknologi digital mampu menjangkau 50 persen dari populasi dunia hanya dalam dua decade, dan mengubah kehidupan sosial masyarakat dunia. Disamping manfaatnya, banyak timbul tantangan seiring dengan perkembangan teknologi digital, menciptakan permasalahan krusial dan tidak terduga. Jaminan keamanan data yang tersimpan secara digital tidak dapat dijamin sepenuhnya, sehingga menjadi celah bagi suatu pihak untuk melakukan tindak criminal dan serangan. Hal ini memicu perkembangan senjata digital di dunia internasional, yang kemudian dikenal sebagai "Cyber Arms Races" (Perlombaan Senjata Siber)

Apa itu Cyber Arms Races?

Istilah Cyber Arms Races kerap digunaka oleh media untuk menggambarkan probabilitas perang dunia maya. Colin S. Gray menggambarkan arms race sebagai situasi dimana terdapat dua pihak atau lebih yang mepersepsikan pihak lain sebagai musuh satu sama lain, dan meningkatkan kualitas persenjataan dan menstruktur militer dengan melihat kepada keadaan politik dan militer oposisi di masa lampau dan masa kini, untuk mengantisipasi serangan oposisi. Cyber Arms Races dapat dijelaskan sebagai fenomena dimana negara-negara berlomba-lomba meningkatkan dan menggunakan teknologi digital untuk menjadi superior atas negara oposisi. Dalam Talinn Manual on the International Law Applicable Cyber Warfare, teknologi digital dapat disebut sebagai alat perang "jika secara struktur, penggunaan, atau maksud pembuatannya dapat menyebabkan (i) kecelakaan atau kematian orang; atau (ii) merusak atau menghancurkan suatu objek, menyebabkan konsekuensi dari operasi siber tersebut dapat dikualifikasikan sebagai serangan". Teknologi yang digunakan dapat berupa software berbahaya, dan produk digital lainnya.

Perkembangan Senjata Siber

Sejarah perkembangan senjata siber dapat ditarik dalam cakupan era yang cukup Panjang. Namun satu dekade terakhir terjadi lonjakan tren senjata siber secara signifikan. Pada 2007, hanya sepuluh negara dunia yang memiliki basis senjata siber, dan tiga diantaranya merupakan negara anggota NATO. Pada 2015, terjadi lonjakan tren dimana terdapat 61 negara dunia memiliki basis senjata siber, dan sepertiga diantaranya merupakan anggota NATO. Pemerintah negara-negara dunia mulai menaruh perhatian atas pentingnya basis senjata siber.

Berdasarkan survey oleh Fortune Business Insight, Amerika Utara menjadi episentrum perkembangan senjata siber. Perkembangan tersebut didorong oleh dukungan pemerintah untuk membangun dan meningkatkan kemampuan senjata siber untuk keperluan defensif. Pemerintah Amerika Serikat berencana untuk membangun kekuatan siber dari 2018 sampai dengan 2027 dibawah US Army Cyber Center of Excellence (CCoE).

Perkembangan senjata siber di Eropa meningkat secara signifikan, dengan meningkatnya investasi pemerintah pada senjata siber. Pada 2013, Denmark mengembangkan kemampuan militer dalam bidang siber agar dapat menjadikan kekuatan siber sebagai senjata defensif maupun offensif. Pada Januari 2019, Prancis mengumumkan pengembangan senjata siber untuk kepentingan offensif. Rusia, Jerman dan Inggris juga berinvestasi pada perkembangan senjata siber, menjadikan mereka sebagai pionir-pionir senjata siber dunia.

Kawasan Asia-pasifik diprediksi akan mengalami pertumbuhan senjata siber pada era 2021-2028. Perkembangan ini didorong oleh upaya peningkatan keamanan, riset dalam skala besar oleh negara-negara seperti Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, Israel, India dan negara lainnya. Isu konflik cross-border dan serangan siber memicu pertumbuhan pasar senjata siber di Asia Pasifik. Pada Juli 2020, India dan Israel menandatangani kontrak Kerjasama dalam pengembangan senjata siber defensif. Hal ini memicu negara lainnya untuk meningkatkan kekuatan senjata siber.

Aktor non-pemerintah juga berkontribusi besar pada perkembangan senjata siber. Banyak perusahaan multinasional yang bergerak di bidang  teknologi siber, seperti BAe Sistems (Inggris), FireEye, Inc (AS) Kaspersky lab (Rusia), Cisco Sistems (AS), Lockheed Martin (AS), Airbus (Prancis), dan perusahaan lainnya. Selain memenuhi permintaan sector swasta, perusahaan-perusahaan tersebut juga kolaborasi dengan pemerintah untuk memenuhi permintaan tiap negara. Seperti pada Oktober 2018, Airbus Defence & Space, melalui unit Airbus CyberSecurity & bermitra dengan Atos sebagai entitas coprime, telah dipilih oleh Dewan Uni Eropa untuk menyediakan keahlian, produk, layanan & solusi keamanan siber untuk membantu melindungi sistem IT dari 17 institusi, layanan & agensi di Eropa.

 

Ancaman Senjata Siber.

Senjata siber pada awalnya ditujukan untuk keperluan defensif, sebagai respon dari perkembangan teknologi digital. Pemerintah negara-negara dunia berinvestasi untuk mengembangkan teknologi siber untuk menjamin keamanan infrastruktur, jaringan keamanan nasional dari ancaman serangan siber. Namun, teknologi siber yang mudah digunakan dan dapat dioperasikan dengan biaya yang murah, pemerintah dan actor-aktor lainnya beralih menggunakan teknologi siber sebagai senjata ofensif. Tren pengembangan senjata siber offensif diprediksikan terus meningkat hingga mencapai 39% dari negara-negara dunia sebagai pengguna pada 2027 dan akan terus meningkat.

Dampak perlombaan senjata siber terhadap stabilitas dunia internasional sangat signifikan. Serangan dunia maya dapat merusak infrastruktur penting, seperti jaringan listrik dan sistem keuangan. Serangan-serangan ini dapat mengganggu perekonomian dan menyebabkan kepanikan yang meluas. Seperti pada 2021, terjadi serangan siber terhadap Colonial Pipeline, perusahaan yang menyuplai sekitar 45% dari bahan baka wilayah East Coast Amerika Serikat. Serangan siber tersebut mengganggu pasokan gas selama beberapa hari. Harga pasar bensin meningkat tajam secara nasional sebesar USD 3 per gallon, dan empat negara bagian Amerika Serikat menyatakan keadaan darurat. Juga pada 2017, Peretas Russia yang bekerja dibawah pemerintah Russia melancarkan serangan untuk menghancurkan pabrik petrokimia Saudi Arabia. Mereka menonaktifkan fitur keamanan pabrik menggunakan malware berjenis Triton, yang berdampak besar bagi kerusakan sistem.

Penggunaan senjata siber dalam konflik ataupun masa damai dapat menimbulkan bencana, dan penggunaannya di medan perang menjadi kenyataan. Penggunaan teknologi siber dalam kegiatan spionase, dengan menggunakan koneksi satelit untuk mengumpulkan data sensitif suatu pihak menjadi ancaman serius bagi stabilitas politik internasional. Bocornya data sensitive akan memicu pergolakan antar-negara pelaku dan korban, mendekatkan dunia kepada perang yang tiada habisnya. Sejak 2016, NATO mengakui domain siber sebagai dimensi peperangan kelima setelah darat, udara, laut dan ruang angkasa. Hal ini menggambarkan bahaya dari senjata siber. Cyber Arms Races menjadi tren yang dapat mendekatkan negara-negara kepada ancaman serangan siber, yang dapat berdampak besar terhadap stabilitas dunia internasional.

Mitigasi cyber arms races

Solusi yang akan muncul paling pertama adalah peningkatan kekuatan siber. Untuk dapat bertahan dari serangan siber, diperlukan pertahanan siber yang kuat, membangun kekuatan defensif yang kokoh untuk melindungi infrastruktur esensial dan data sensitif, atau membangun kekuatan offensif untuk merespon serangan dari negara lainnya. Solusi ini paling banyak digunakan, melihat peningkatan tren senjata siber di dunia. Namun, solusi tersebut tidak akan mencegah terjadinya konflik, melainkan akan memicu semakin banyak konflik terjadi.

Untuk mengurangi terjadinya perlombaan senjata siber, negara-negara dunia perlu bekerja sama untuk meregulasi pengembangan dan penggunaan teknologi siber. Negara-negara perlu bersepakat untuk membuat peraturan, norma dan standar penggunaan teknologi siber, untuk mencegah penggunaannya sebagai senjata offensif, dan disetujui oleh negara-negara dunia. Negara-negara dunia perlu membuat suatu forum yang berfokus pada mitigasi pengembangan senjata siber offensif sebagai bentuk komitmen dunia internasional pada mitigasi marabahaya oleh senjata siber. Forum in juga menjadi forum Kerjasama bagi negara-negara dunia untuk membangun kekuatan defensif, dan sebagai forum tolong-menolong dalam kasus serangan siber salah satu negara anggota forum.

Kesimpulan

Meningkatnya tren cyber arms races merupakan tantangan yang signifikan bagi komunitas internasional. Negara-negara membutuhkan pendekatan keamanan baru yang mempertimbangkan karakteristik unik dunia siber. Negara harus bekerja sama untuk menetapkan norma, aturan, dan standar untuk perilaku dunia siber. Bentuk Kerjasama negara-negara dalam membangun kemampuan pertahanan dan teknologi alternatif untuk mengurangi dampak serangan dunia siber sangat diperlukan. Kegagalan untuk mengatasi tantangan ini dapat menyebabkan ketidakstabilan dan konflik dalam komunitas global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun