Mohon tunggu...
Rasssian
Rasssian Mohon Tunggu... Free like a bird -

Personal Blog saya bisa cek di http://rasssian.com | Untuk Galeri Photography bisa cek di ig : Fauziardipitra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Cahaya Senja di Sepasang Bola Matamu

20 Juli 2018   17:24 Diperbarui: 20 Juli 2018   17:31 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kala itu cahaya senja telah menggerayangi wajahnya. Sepasang mata yang kecoklatan menangkap landscape cahaya orange yang di luapkan oleh sang matahari. Tak lama setelah itu ia pejamkan matanya yang indah , setiap ujung bibir titpis nya sengaja ia tarik ke atas, seoalah ia persembahkan senyuman termanis kepada sang matahari.

Di tepi pantai ia bersimpuh, jemarinya meraba raba pasir pantai. Tangannya yang satu lagi sedang mendekap dadanya sembari menahan jilbabnya yang di hembuskan oleh angin pantai. Ali- alih mengaku pencinta senja, sering kali ia disibukkan rutinitasnya di kantor. 

Di tempat kerja, disebuah gedung nan menjulang kerap kali hanya melihat pantulan cahaya senja dari ruang kaca kantor, pernah juga sesekali ia nikmati landscape senja di ujung kantor yang dilapisi kaca tersebut, namun dengan latar hiruk pikuk kehidupan kota, jalanan macet, tinggi dan rendah nya bangunan yang berkecamuk hingga suara bising orang-orang kantor. Bukannya membuat hati menjadi tenang, malah deadline pekerjaan yang berlalu lalang di dalam pikirannya.

Ketika tugas-tugas kantor selesai dengan cepat, ia sempat pulang menuju kontrakan dengan suasana senja. Ia sering menengadah ke langit dan memperhatikan warna langit yang di torehkan sang matahari kala senja. Kepalang, bangunan-bangunan menutupi keindahan di setiap senja. Namun kembali lagi, jikalau sempat pulang dikala senja, hal yang ia sukai ialah menengadah dan memperhatikan warna langit sembari melihat ujung-ujung bangunan yang menjulang.

Disuatu waktu pernah ia lalui suasana senja dengan seorang laki-laki sebaya, lelaki yang jarang ia temui yang dulu pernah dekat berhububgan dengannya, barangkali karena jarak nun jauh yang memisahkan membuat keduanya enggan untuk saling berhubungan. 

Suatu hari waktu telah melahirkan pertemuan dalam dekapan mereka, lelaki tersebut pernah blak-blakan mengatakan dia sangat suka melihat sepasang mata wanita tersebut kala cahaya senja menerpa wajahnya. Wanita tersebut jadi berbesar hati karena pujian si lelaki, namun ekspresi wajahnya lekas ia ubah dan seketika mencubit lengan lelaki tersebut dan berkata "dari buku mana telah engkau kutip gombalan tersebut?" Ya, iya tahu kalau lelaki tersebut sangat suka membaca buku. Tetapi sang wanita kerap kali meng olok-olok gaya berbahasa indonesia nya silelaki yang terdengar aneh, barangkali karena lidah dan logat bicara si lelaki ini masih kampungan.

Perihal mata, mata tersebut berwarna kecoklatan sehingga bila cahaya senja singgah di sepasang mata wanita tersebut ada binar yang membuat si lelaki menjadi terpesona dan takjub akan ciptaan tuhan. 

Tak bisa dipungkiri ketika ia sedang berjalan keluar rumah dan melihat matahari senja yang telanjang dengan sinarnya, ia langsung teringat akan bagaiman mata wanita tersebut secara tidak sengaja pernah ia pandang berlama lama, ketika mata mereka bertemu si lelaki menjadi gagu dan salah tingkah, dan wanita itu tahu kalau si lelaki memandanginya dan ia sengaja berbicara lagi dan dan berdalih untuk memandang kedepan, memandang kejauhan dan membiarkan silelaki menikmati matanya kembali.

Tak bisa di cegat dan tak bisa dikekang, waktu kembali memberikan jarak antara mereka berdua. Mereka kembali kepada kondisi semula yang saling membisu, tak ada komunikasi dan tak ada saling mengabari. kepada waktu mereka kembali memberikan harap.

Sesekali si wanita habiskan waktu bersama teman-temannya, biasanya itu terjadi di waktu weekend. Mengunjungi kota sebelah demi bertemu dengan teman masa kuliah atau terkadang cukup dengan teman sekantor. Bahagia tak tertanggungkan mengaliri darah di dalam tubuhnya, karena beberapa temannya yang dulu memiliki wajah yang gemas sekarang sudah tampak dewasa. Lantas cerita mengalir deras dari beberapa temannya tersebut. Di restoran cepat saji mereka bergumul.

Dia suka sekali menjadi pendengar jikalau kondisinya sudah berkumpul seperti ini. Raut wajah yang berdecak kagum ia tujukan kepada teman lamanya tersebut. Mulai dari pengalaman kemana saja setelah kuliah hingga curhat curhat tentang pengalaman awal didunia kerja, dan yang membuat ia terkekeh kekeh adalah mereka kembali mengingat dan mencemooh kekonyolan yang mereka lahirkan ketika masih duduk di bangku kuliah dulu.

Tak jauh berbeda jikalau dengan teman sekantornya. Sesekali ia pergi, karena dia agak sungkan selalu menolak ajakan teman-teman sekantor tersebut. Juga di restoran cepat saji, bercengkrama dan berfoto agar bisa nantinya di uplod di sosial media dan kerap kali ia melihat teman sekantor laki laki yang mencuri pandang ke arahnya, ia sadar namun mengabaikan dan ada juga yang mencoba mendapatkan kesempatan selfie bersamanya. Ia tahu Tidak baik terlalu membatasi diri, karena itu ia persilahkan asal satu kali saja, toh mereka juga teman, teman di lingkup kerja yang juga nantinya bakal menolongnya.

Namun berbeda hal jikalau ia hanya berdua dengan teman dekatnya, ia lah yang paling cerewet. Perihal gaya hidup temannya yang agak kaku, cara berpakaian, selera temannya terhadap beberapa film drama korea, sampai kepada kritikan untuk temannya yang tak kunjung berani memiliki seorang pacar. Padahal ia sendiri juga masih sendiri, ia bisa menangkis celotehan temannya perihal pasangan hidup, bukannya tidak berani, alasannya kerasnya yakni karena tidak punya waktu dengan hal tersebut. 

Lain hal dengan temannya tersebut yang blak-blakan menceritakan tentang pria ini, pria itu yang sangat keren, mapan dan rendah diri. Juga itulah membuatnya terjerumus kedalam pembahasan macam -macam pria yang membuatnya merasa seperti duduk dan berdiskusi di bangku kuliah dengan durasi waktu 2 sks.

Bersama teman dekatnya tersebut ia singgahi senja di penghujung kota yang hiruk pikuk, ia pijakkan kaki di pasir pantai dengan warna langit yang telah berubah menjadi kuning kecoklatan, melihat keberadaan matahari tersebut, yang tersibak dari sekumpulan awan, hingga sebegitu bulat dengan  warna yang terlihat agak padam ia kembali teringat pernyataan lelaki yang telah ia abaikan, sudah beberapa tahun tak saling berkomunikasi, di dalam hati ia lontarkan pertanyaan kepada si lelaki yang entah berada dimana, "jika senja seperti ini jatuh dimatamu, masih adakah kau ingat padaku?" Seketika ia memejamkan matanya sambil menggeleng gelengkan kepala dan meracau didalam hati, Tidak, tidak, kenapa saya malah mengingatnya. Kemudian tetesan air menyentuh wajahnya, bukan air mata tetapi gerimis telah turun di penghujung senja kali ini. 

Dari bersimpuh ia kembali berdiri, pasir yang ia mainkan dengan jemari nya ia kibaskan segera, gerimis memberikan isyarat agar ia lekas pulang pada hari ini. Langkah cepat ia ambil menuju temannya yang sedang asyik memainkan gawai, tampak jelas karena temannya tersebut menggesek-gesekkan jempol ke atas-ke bawah di layar gawainya nan lebar, "Sudah selesai ritual senjanya?" Temannya menyahut. Ia menggerutu kecil, paling tidak suka jika ada yang mengatakan dirinya pencinta senja apalagi pemuja senja. bersama temannya kembali ia mengambil langkah, menuju rumah, rumah temannya. 

#Dini Hari - Jumat, 14/07/2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun