Rekontruksi Paradigma Demokrasi Wujudkan Politik Egaliterisme Demi Stabilisasi Pilkada Yang Sehat
Oleh : Rafli Tahir (Ketua Umum Forum Kajian Mahasiswa Islam Sulawesi Tenggara)
Republik Indonesia adalah negara yang menggunakan sistem demokrasi sehingga negara harus memberikan pemahaman nilai-nilai demokrasi kepada rakyat. Olehnya itu nilai demokrasi salah satu nilainya yaitu nilai-nilai egalitarian, pluralistik, hak dan kewajiban individu, keadilan, kasih sayang, dan nilai musyawarah, serta nilai-nilai kemanusiaan lainnya.
Perspektif politis, demokrasi memiliki posisi strategis, karena dinilai dapat menjaga iman dan mempertahankan pedoman etik di tengah-tengah perubahan yang modern. Islam selalu mengalami kegagalan dalam mengintegrasikan Negara dan agama. Bagi orang mukmin, bahaya sebenarnya penyatuan Islam dan Negara dikarenakan Islam akan berakhir karena tersubordinasikan pada Negara. Prilaku politik yang bersifat ekspresif, reaksioner terhadap fenomena sosial yang berkembang dengan cara menggunakan kekuatan massa arus bawah, nampaknya sudah relevan lagi pada era demokrasi sekarang ini, apalagi prilaku politik pemerintah yang tiranik, sebab nilai kemanusiaan merupakan pertimbangan asasi.
Demokrasi berjalan searah dengan egalititarisme dan memiliki tujuan yang sama, hal ini selaras dengan adagium Nurcholish Madjid menyamakan kata egalitarianisme dengan persamaan, yang secara substantif memiliki kesamaan dengan demokrasi. Egalitarianisme dapat juga dipahami sebagai doktrin atau pandangan yang menyatakan bahwa manusia itu ditakdirkan sama derajat atau bisa pula dikatakan sebagai asas pendirian yang menganggap bahwa kelas-kelas sosial yang berbeda mempunyai bermacam-macam anggota, dari yang pandai sampai ke yang sangat bodoh di proporsi yang relatif sama.Â
John Locke adalah salah satu Filsuf yang berkebangsaan Inggris, yang menulis pada akhir abad ke-17, menekankan bahwa orang memiliki 'hak alami' untuk melakukan apa yang mereka inginkan selama 'hak alami' orang lain tidak dilanggar dalam prosesnya. Tulisannya bersifat revolusioner dalam konteks di mana filsuf seperti Thomas Hobbes mendukung monarki absolut, dan menjelang 'Revolusi Mulia' Inggris tahun 1688 yang menyaksikan pemisahan sebagian Parlemen dari Mahkota. Klaim utama Locke adalah bahwa orang memiliki hak yang tidak dapat dicabut atas apa yang mereka hasilkan, dan harus bebas dari paksaan, baik dalam bentuk redistribusi yang dipaksakan atau dalam bentuk kerja paksa ide yang cukup tidak lazim pada saat itu.Â
Jean Jacques Rousseau sangat peduli dengan nilai humaniasis sehingga kepedulianya itu mengerucut kepada kebebasan individu, tetapi tulisannya lebih peka terhadap masalah yang ditimbulkan oleh pengejaran kepentingan pribadi dan oleh sistem kepemilikan pribadi.Â
Karena orang saling bergantung satu sama lain, baik secara material maupun psikologis, menurut Rousseau, tidak masuk akal untuk berbicara seolah-olah ini tidak terjadi seolah-olah mereka tidak berkewajiban atau dipaksa untuk saling peduli atau memberikan kekayaan mereka. Dalam Discourse on inequality (1755), Rousseau berpendapat bahwa dengan membangun sistem kepemilikan pribadi, ketidak setaraan dapat berkembang. Namun, Rousseau tidak sampai menganjurkan agar kepemilikan pribadi dihapuskan. Jika bagi Locke ketidaksetaraan adalah hal yang wajar, bagi Rousseau hal itu dapat diatasi melalui pengembangan hukum yang didasarkan pada 'kehendak umum' rakyat dengan kata lain, hukum yang akan menjamin kebaikan bersama.
Islam dalam era moderen terdapat pemikiran yang relevan dengan era moderen, seperti paham republik di mana kepala Negara dipilih untuk jangka waktu tertentu, harus tunduk pada Undang-Undang Dasar dan bisa dijatuhkan oleh parlemen; ide persamaan (egalite) di mana rakyat memiliki kedudukan yang sama dalam soal pemerintahan dan ide nasionalisme.
Lebih luas lagi egalitarianisme dalam konteks sosio politik, egalitarianisme yang mengandung makna persamaan, menunjukkan arti berlaku moderat dan berimbang pada wilayah politik, ekonomi, sipil dan sosial, yang berlaku dalam hubungan intern antar warga, antar bangsa-bangsa dan Negara; antar etnis dan masyarakat luas. Muhammad Imarah secara rinci menegaskan tentang konsep persamaan yang realistis adalah persamaan manusia di depan hukum, dengan menghilangkan perbedaan tempat kelahiran, warna kulit, keturunan, etnis dan keyakinan agama. Selanjutnya adalah persamaan dalam memberi kesempatan bagi semua warga, semua bangsa dan Negara dalam kerangka sosial.Â
Partikel kunci dari definisi ini, yang terkait dengan prinsip egalitarianisme, adalah kontrol masyarakat dan kesetaraan politis. Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa demokrasi bisa diterapkan pada setiap kolektifitas, dan tidak membatasi demokrasi pada wilayah politik yang didefinisikan secara sempit. Kolektifitas di sini bisa berupa sebuah Negara, sebuah komunitas lokal, sebuah organisasi, sebuah keluarga, dan sebagainya. Dengan demikian, demokrasi dapat diterapkan pada semua aspek kehidupan kolektif, Negara, sosial, ekonomi dan lain-lain. Dari sini dapat ditegaskan bahwa politik egalitarianisme adalah membangun komitmen kebersamaan dalam kehidupan politik dengan keharusan mengesampingkan unsur-unsur primordialisme yang menyelimuti manusia. Membangun politik egalitarianisme secara nalar dapat dipahami sebagai meneladani kepemimpinan politik Nabi yang berpredikat uswatun hasanah yaitu kepemimpinan moral yang sarat akan nilai-nilai kemanusiaan universal seperti persamaan, keadilan, kemerdekaan.
Membangun masyarakat egaliter menjadi agenda transformasi sosial kaum aktivis reformis, yang sangat dipengaruhi dan dibentuk oleh etos emansipasi sosial. Perjuangan mengusung pembelaan terhadap kaum tertindas, egalitarianisme, keadilan sosial, demokratisasi ekonomi dan politik.Â
Masing-masing pribadi manusia memiliki nilai kemanusiaan universal. Dokumen pendukung pandangan ini adalah penegasan al-Qur'an bahwa kejahatan kepada seorang pribadi adalah sama dengan kejahatan kepada manusia sejagad, dan kebaikan kepada seorang pribadi adalah sama dengan kebaikan kepada manusia sejagad. Inilah dasar yang amat tegas dan tandas bagi pandangan kewajiban manusia untuk menghormati sesamanya dengan hak-hak asasinya yang sah.Â
Konstruksi pembangunan politik yang berkarakter egalitarian adalah rekruitmen pemimpin politik, pemerintahan, penyelenggara Negara dan lain sebagainya secara proporsional, profesional, dan berkeadilan. Kepemimpinan yang distruktif, justru menghancurkan kepercayaan rakyat dan sekaligus menghancurkan Negara yaitu, salah satu indikatornya, kepemimpinan yang hepokrit, yaitu tidak adanya kesatupaduan antara perkataan dan perbuatan. Sumpah dan janji ketika kampanye tidak menjadi kenyataan setelah ia berkuasa. Maka dari itu, salah satu faktor utama keberhasilan pemerintahan adalah konsep keteladanan yang konsisten pada nilai kemanusiaan, yang mengejewantah pada kerja-kerja kemanusiaan hal ini menjadi keniscayaan yang harus dilaksanakan oleh para pemimpin. Â
Prinsip egalitarianiseme dapat berdiri kokoh jika dibangun di atas pondasi keadilan. Pentingnya penegakan keadilan ini menjadi aikon perjuangan para aktivis, karena keadilan merupakan sesuatu yang harus senantiasa diperjuangkan dan ditegakkan dalam masyarakat. Keadilan merupakan prinsip keseimbangan dalam kehidupan manusia.Â
Prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip persamaan (egalitarian) antara sesama manusia. Tidak adanya perbedaan dalam bernegara karna dimata hukum semua warga negara itu sama, penghapusan kelas dalam negara indonesia adalah misi yang fundamental. Karena itu, tidak ada seorang pun yang berhak memperoleh perlakuan khusus di depan hukum.Â
Sikap pemerintah yang diskriminatif dalam menegakkan hukum, di mana rakyat jelata diberi hukuman yang seberat-beratnya, lalu membiarkan para konglomerat dan elit penguasa yang melakukan pelanggaran hukum. Hal ini merupakan awal dari kehancuran suatu bangsa.
Bentangan narasi perlawanan akan penghapusan kelas sosial pada masyarakat akan terus menjadi perbincangan hangat bagi kaum revolusioner, nilai demoktrasi begitupun egalitarianiseme akan menjadi nilai finis untuk melahirkan tatanan masyarakat yang harmonis dan nantinya akan mengejewantah pada peradaban yang berkemajuan. Hal ini sebenrnya sudah diperbincangkan dan sudah di ramalakan oleh Marx, ramalan Marx yaitu sistem kapitalis hancur bukan disebabkan oleh faktor-faktor lain, melainkan karena keberhasilannya sendiri. Sistem kapitalis yang diterapkan dinilai Marx mewarisi daya self destruction, suatu daya dari dalam yang akan membawa kehancuran bagi sistem perekonomian liberal itu sendiri.Â
Marx mengatakan sistem kapitalis suatu sistem yang "sudah busuk dari dalam" dan tidak mungkin diperbaiki. Untuk membawa masyarakat pada kehidupan yang lebih baik, tidak ada jalan lain, sistem liberal atau kapitalis tersebut harus dihancurkan dan diganti dengan sistem yang lain yang lebih manusiawi, yaitu menerapkan sistem nlai-nilai kemanusiaan.Â
Lebih tajam lagi adageium Marx, sejarah segala masyarakat yang ada hingga sekarang pada hakikatnya adalah sejarah pertentangan kelas. Di zaman kuno ada kaum bangsawan yang bebas dan budak yang terikat. Di zaman pertengahan ada tuan tanah sebagai pemilik dan hamba sahaya yang menggarap tanah bukan kepunyaannya. Bahkan di zaman modern ini juga ada majikan yang memiliki alat-alat produksi dan buruh yang hanya punya tenaga kerja untuk dijual kepada majikan.Â
Bermasyarakat dalam alur kehidupan dibedakan atas dua kelas yaitu ada masyarakat kelas kaya (the haves) dan kelas masyarakat tak berpunya (the haves not). Semua kelas-kelas masyarakat ini dianggap Marx timbul sebagai hasil dari kehidupan ekonomi masyarakat. Menurut pengamatan Marx, di seluruh dunia ini di sepanjang sejarah, kelas yang lebih bawah selalu berusaha untuk membebaskan dan meningkatkan status kesejahteraan mereka. Sekarangpun (maksudnya di masa Marx) tak terkecuali, tetap ada perjuangan kelas.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H