Mohon tunggu...
Rasha Amalia
Rasha Amalia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UPN Veteran Jawa Timur

Mahasiswa jurusan Hubungan Internasional yang tertarik dengan isu-isu internasional dan budaya luar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Strategi Hizbullah dalam Menghadapi Serangan Israel

25 November 2024   13:40 Diperbarui: 25 November 2024   13:46 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Konflik antara Hizbullah dan Israel adalah salah satu konflik yang paling menonjol di Timur Tengah, yang mencerminkan dinamika geopolitik yang kompleks serta ketegangan agama dan ideologi di kawasan ini. Hizbullah adalah kelompok militan Syiah yang berbasis di Lebanon dan didukung Iran, yang pertama kali muncul pada tahun 1982 sebagai respons terhadap pendudukan Israel di Lebanon selatan. Sejak itu, Hizbullah muncul sebagai kekuatan politik dan militer utama yang menantang hegemoni Israel di wilayah tersebut. Konflik tersebut memuncak pada Perang Lebanon tahun 2006, di mana Hizbullah dan Israel bertempur selama 34 hari, menyebabkan kerusakan signifikan pada infrastruktur Lebanon dan menewaskan ratusan orang di kedua sisi.

 Dalam konflik ini, taktik perang Hizbullah dan Israel sangat berbeda, mencerminkan perbedaan dalam kekuatan militer dan sumber daya yang tersedia. Hizbullah mengadopsi taktik perang asimetris dengan menggunakan strategi gerilya dan serangan rudal jarak jauh terhadap wilayah sipil Israel. Hizbullah juga menggunakan lingkungan perkotaan yang padat sebagai kedok serangan, sehingga memungkinkan mereka menyerang Israel dengan menggunakan taktik militer konvensional yang lebih terstruktur dengan kekuatan udara dominan dan kemampuan intelijen yang canggih. Israel memfokuskan serangan udaranya pada sasaran militer Hizbullah di Lebanon selatan, dengan tujuan menghancurkan infrastruktur militer Hizbullah dan melemahkan kemampuan tempurnya. Namun, terlepas dari keunggulan militer Israel yang jelas, Hizbullah mampu memanfaatkan medan perang yang sulit dan dukungan lokal untuk memperlambat operasi militer Israel, yang menunjukkan efektivitas taktik perang yang tidak teratur.

Dalam analisis keamanan internasional, konflik ini dapat dipahami melalui konsep Balance of Power dan Deterrence. Konsep BOP adalah teori yang menekankan pada pentingnya distribusi kekuatan yang merata di antara negara-negara atau aktor-aktor non-negara untuk mencegah dominasi satu pihak dan mendorong stabilitas. Dalam konteks konflik Hizbullah-Israel, upaya Hizbullah untuk menyeimbangkan kekuatan dengan Israel dilakukan dengan cara mengembangkan kapasitas militer yang didukung oleh negara asing seperti Iran. Meskipun Israel memiliki keunggulan teknologi dan sumber daya militer, Hizbullah menggunakan taktik asimetris dan aliansi strategis untuk mencapai keseimbangan kekuatan relatif di kawasan tersebut.

Selain itu, penggunaan konsep deterrence dalam menganalisis konflik ini juga melibatkan penggunaan ancaman kekuatan militer untuk mencegah tindakan agresif dari lawan. Israel, melalui kekuatan militernya yang masif, berusaha menerapkan deterrence terhadap Hizbullah dan negara-negara pendukungnya seperti Iran. Namun, Hizbullah juga memiliki bentuk deterrence sendiri, yaitu dengan kemampuannya meluncurkan roket dan melakukan serangan balasan yang mematikan terhadap wilayah Israel, yang mampu mempengaruhi perhitungan militer Israel.

 Operasi yang dilakukan Israel pada perang tahun 2006 melawan Hizbullah merupakan operasi berskala relatif besar karena melibatkan personel Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara dalam jumlah besar. Pengerahan pasukan dalam jumlah besar diimbangi dengan persenjataan militer Israel yang sangat mengesankan karena didukung oleh teknologi tinggi. Namun, bukan berarti Hizbullah takut menghadapi  serangan  pasukan Israel. Ideologi yang dianut oleh anggota Hizbullah menginspirasi semangat mereka untuk berperang melawan tentara Israel. Pejuang Hizbullah hanya menggunakan roket dan rudal terhadap tank Merkava Israel dan jet tempur F16i, yang membantu mengebom pangkalan Hizbullah di Lebanon selatan.

Hizbullah adalah aktor non-negara yang secara signifikan menantang dominasi militer Israel di Timur Tengah. Sebagai salah satu kelompok militan paling kuat dan terorganisir di dunia, Hizbullah telah menggunakan berbagai strategi untuk melawan serangan Israel, terutama dalam konteks Perang Lebanon Kedua pada tahun 2006. Untuk memahami strategi Hizbullah, analisisnya menggunakan konsep Balance of Power. Deterrence (keseimbangan kekuatan dan pencegahan pencegahan) adalah bagaimana kelompok ini mampu bertahan dan membangun kekuatan militernya meskipun menghadapi musuh dengan kekuatan militer yang jauh lebih besar. 

1.Strategi Balance of Power (BOP) 

Konsep BOP dalam politik internasional mengacu pada distribusi kekuatan militer atau politik yang mencegah salah satu aktor mendominasi yang lain. Hizbullah, meskipun bukan negara, menerapkan prinsip ini dalam menghadapi Israel yang secara militer jauh lebih kuat. Ada beberapa cara Hizbullah membangun keseimbangan kekuatan dalam konfliknya dengan Israel:

(1) Dukungan Iran dan Suriah

Hizbullah mendapatkan dukungan militer dan finansial yang signifikan dari Iran dan Suriah. Iran memberikan bantuan senjata canggih, pelatihan militer, serta bantuan finansial yang memungkinkan Hizbullah untuk memperkuat kapasitas militer dan mempertahankan keseimbangan kekuatan dengan Israel. Hal ini mencerminkan upaya Hizbullah untuk mengatasi ketidakseimbangan dengan mendapatkan aliansi strategis dengan negara-negara kuat di kawasan Timur Tengahb. Strategi Peperangan Asimetris Hizbullah secara efektif menggunakan peperangan asimetris untuk menghadapi keunggulan teknologi dan kekuatan militer Israel. Taktik ini termasuk penggunaan taktik gerilya, serangan roket jarak jauh, dan penyebaran pasukan di daerah yang sulit dijangkau, seperti kawasan perbukitan dan kota-kota yang padat penduduk. Dengan demikian, Hizbullah memanfaatkan medan tempur yang mendukung pertahanan mereka dan membuat pasukan Israel sulit melakukan serangan langsung tanpa menyebabkan korban sipil, yang berujung pada kritik internasional terhadap Israel

2.Deterrence 

Selain menerapkan balance of power, Hizbullah juga menggunakan konsep deterrence dalam strategi militernya. Deterrence adalah konsep yang merujuk pada pengguna ancaman kekuatan militer untuk mencegah tindakan agresif dari lawan. Dalam konteks Hizbullah, pencegahan ini dilakukan melalui ancaman balasan yang mematikan terhadap Israel jika negara tersebut melancarkan serangan.

(1) Kemampuan Balasan Simetris 

Hizbullah secara konsisten menunjukkan kemampuannya untuk melakukan serangan balasan yang proporsional terhadap Israel, yang mencegah Israel untuk melakukan serangan skala penuh. Misalnya, ketika Israel melakukan serangan udara ke Lebanon, Hizbullah sering kali merespons dengan meluncurkan roket ke wilayah Israel, terutama ke kota-kota besar seperti Haifa dan Nahariya. Ancaman serangan balasan ini mencegah Israel untuk sepenuhnya menghancurkan infrastruktur Hizbullah tanpa memperhitungkan kerugian yang mungkin ditimbulkan.

(2) Penciptaan Kian Taktis

Salah satu elemen penting dari strategi pencegahan Hizbullah adalah penciptaan ketidakpastian bagi Israel mengenai kemampuan dan lokasi Hizbullah. Hizbullah menyembunyikan infrastruktur militernya di daerah-daerah padat penduduk dan menggunakan jaringan terowongan bawah tanah untuk menyembunyikan pasokan senjata dan pasukannya. Dengan menciptakan ketidakpastian ini, Israel terpaksa menghadapi risiko besar setiap kali mencoba menyerang infrastruktur Hizbullah, karena serangan yang tidak tepat sasaran dapat mengakibatkan korban sipil yang signifikan dan menimbulkan kecaman internasional.

Konflik antara Hizbullah dan Israel mencerminkan hubungan kekuasaan yang kompleks dalam konteks peperangan asimetris dan geopolitik di Timur Tengah. Meskipun Hizbullah secara militer jauh lebih lemah dibandingkan Israel, sebuah strategi yang menggabungkan konsep keseimbangan kekuatan dan pencegahan telah memberikan Hizbullah kemampuan untuk tetap relevan dan tangguh dalam menghadapi serangan militer yang unggul. Hizbullah telah berhasil menyeimbangkan kekuatan relatifnya dengan Israel dengan menggunakan taktik gerilya dan teknologi militer modern untuk mendukung aliansi strategis dengan Iran dan Suriah. Strategi pencegahan yang didasarkan pada ancaman serangan balik dan penciptaan ketidakpastian taktis juga memainkan peran penting dalam mencegah Israel melancarkan serangan skala penuh terhadap kelompok tersebut.

 Selain keberhasilan militer, strategi Hizbullah juga mempunyai dampak besar terhadap masyarakat sipil di kedua belah pihak. Di Lebanon, kerusakan infrastruktur dan trauma psikologis merupakan dampak nyata dari konflik tersebut, sementara di Israel, ancaman serangan roket Hizbullah menciptakan rasa tidak aman yang terus-menerus. Oleh karena itu, konflik ini tidak hanya bersifat militeristik, tetapi juga memiliki dimensi sosial yang mendalam. Penutupan ini menunjukkan bahwa konflik Hizbullah-Israel masih menjadi bagian penting dalam dinamika politik Timur Tengah.

 Ketidakpastian mengenai keseimbangan kekuatan dan efektivitas pencegahan yang dilakukan oleh kedua belah pihak menunjukkan bahwa mencapai perdamaian yang berkelanjutan masih sulit dilakukan. Oleh karena itu, upaya lebih lanjut untuk memahami strategi aktor-aktor regional dan dampak sosial dari konflik sangat diperlukan untuk menemukan solusi yang lebih komprehensif dan damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun