Selain menerapkan balance of power, Hizbullah juga menggunakan konsep deterrence dalam strategi militernya. Deterrence adalah konsep yang merujuk pada pengguna ancaman kekuatan militer untuk mencegah tindakan agresif dari lawan. Dalam konteks Hizbullah, pencegahan ini dilakukan melalui ancaman balasan yang mematikan terhadap Israel jika negara tersebut melancarkan serangan.
(1) Kemampuan Balasan SimetrisÂ
Hizbullah secara konsisten menunjukkan kemampuannya untuk melakukan serangan balasan yang proporsional terhadap Israel, yang mencegah Israel untuk melakukan serangan skala penuh. Misalnya, ketika Israel melakukan serangan udara ke Lebanon, Hizbullah sering kali merespons dengan meluncurkan roket ke wilayah Israel, terutama ke kota-kota besar seperti Haifa dan Nahariya. Ancaman serangan balasan ini mencegah Israel untuk sepenuhnya menghancurkan infrastruktur Hizbullah tanpa memperhitungkan kerugian yang mungkin ditimbulkan.
(2) Penciptaan Kian Taktis
Salah satu elemen penting dari strategi pencegahan Hizbullah adalah penciptaan ketidakpastian bagi Israel mengenai kemampuan dan lokasi Hizbullah. Hizbullah menyembunyikan infrastruktur militernya di daerah-daerah padat penduduk dan menggunakan jaringan terowongan bawah tanah untuk menyembunyikan pasokan senjata dan pasukannya. Dengan menciptakan ketidakpastian ini, Israel terpaksa menghadapi risiko besar setiap kali mencoba menyerang infrastruktur Hizbullah, karena serangan yang tidak tepat sasaran dapat mengakibatkan korban sipil yang signifikan dan menimbulkan kecaman internasional.
Konflik antara Hizbullah dan Israel mencerminkan hubungan kekuasaan yang kompleks dalam konteks peperangan asimetris dan geopolitik di Timur Tengah. Meskipun Hizbullah secara militer jauh lebih lemah dibandingkan Israel, sebuah strategi yang menggabungkan konsep keseimbangan kekuatan dan pencegahan telah memberikan Hizbullah kemampuan untuk tetap relevan dan tangguh dalam menghadapi serangan militer yang unggul. Hizbullah telah berhasil menyeimbangkan kekuatan relatifnya dengan Israel dengan menggunakan taktik gerilya dan teknologi militer modern untuk mendukung aliansi strategis dengan Iran dan Suriah. Strategi pencegahan yang didasarkan pada ancaman serangan balik dan penciptaan ketidakpastian taktis juga memainkan peran penting dalam mencegah Israel melancarkan serangan skala penuh terhadap kelompok tersebut.
 Selain keberhasilan militer, strategi Hizbullah juga mempunyai dampak besar terhadap masyarakat sipil di kedua belah pihak. Di Lebanon, kerusakan infrastruktur dan trauma psikologis merupakan dampak nyata dari konflik tersebut, sementara di Israel, ancaman serangan roket Hizbullah menciptakan rasa tidak aman yang terus-menerus. Oleh karena itu, konflik ini tidak hanya bersifat militeristik, tetapi juga memiliki dimensi sosial yang mendalam. Penutupan ini menunjukkan bahwa konflik Hizbullah-Israel masih menjadi bagian penting dalam dinamika politik Timur Tengah.
 Ketidakpastian mengenai keseimbangan kekuatan dan efektivitas pencegahan yang dilakukan oleh kedua belah pihak menunjukkan bahwa mencapai perdamaian yang berkelanjutan masih sulit dilakukan. Oleh karena itu, upaya lebih lanjut untuk memahami strategi aktor-aktor regional dan dampak sosial dari konflik sangat diperlukan untuk menemukan solusi yang lebih komprehensif dan damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H