Mohon tunggu...
Rasawulan Sari Widuri
Rasawulan Sari Widuri Mohon Tunggu... Wiraswasta - Senang berbagi hal yang menarik dengan orang lain

Jakarta, I am really lovin it !

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Cerita Lebaran Tahun Ini: "Tong Uih Heula Nya" Alias Jangan Mudik Dulu

21 Mei 2020   22:51 Diperbarui: 21 Mei 2020   22:57 2018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai orang perantauan sejak 20 tahun yang lalu, mudik alias 'mau ke udik' alias pulang kampung setiap lebaran pastilah hal yang paling ditunggu. Banyak sekali cerita tentang mudik yang telah saya lakukan selama dua puluh tahun ini.

Menurut sejarahnya mudik lahir seiring dengan adanya gelombang urbanisasi besar-besaran pada tahun 70-an. Banyaknya orang desa yang merantau ke Jakarta, menyebabkan budaya pulang kampung saat lebaran menjadi sebuah tradisi.

Mudik sendiri bagi saya memberikan banyak cerita menarik. Dan semua kisah mudik saya pasti berkaitan dengan transportasi di saat mudik. Pertanyaan rutin kala mudik adalah memakai kendaraan apa, berapa lama perjalanan dan kondisi jalanan macet atau macet banget.

Ketiga pertanyaan tersebut secara rutin menjadi bagian dari cerita mudik setiap tahun. Tentu saja ketika kita masih bebas hilir mudik dari Jakarta ke kampung dan sebaliknya.

Dimulai dari pertanyaan pertama mengenai jenis transportasi yang digunakan pada saat mudik. Saya sudah mencoba hampir semua moda transportasi umum seperti bis, kereta ataupun mobil pribadi untuk mudik ke kampung. Pesawat tidak saya gunakan karena kampung saya di Kuningan tidak memiliki fasilitas bandara sampai saat ini.

Diantara semua moda transportasi umum, saya lebih menyarankan menggunakan kereta api dikarenakan jadwalnya lebih pasti. Memang di tahun 2000-an, masih banyak terdapat delay keberangkatan serta tidak tertibnya penumpang di musim mudik. Namun menurut saya jadwalnya masih masuk akal dibandingkan menggunakan moda transportasi yang lain.

Pernah suatu waktu saya mudik menggunakan bus yang dicarter oleh perusahaan tempat saya bekerja. Selama perjalanan tentunya asik karena dapat pulang bersama rekan kerja,  namun ternyata lama perjalanan menggunakan sukar diprediksi. Bahkan saking lamanya perjalanan, semua perbekalan makanan sampai habis dan akhirnya saya pasrah selama perjalanan mudik.

Kondisi yang pernah saya alami selama mudik menggunakan bus mungkin menjadi salah satu alasan saat ini terdapat bis antar kota yang memberikan kenyamanan bagi penumpangnya. Bis antarkota dapat menyediakan fasilitas tambahan seperti kursi yang nyaman untuk tidur, adanya internet, adanya toilet serta diberikannya minuman dan makanan dalam bis.

Yang paling menyenangkan tentunya mudik dengan menggunakan mobil pribadi. Hal ini dikarenakan kita dapat mengatur waktu keberangkatan dan waktu istirahat selama mudik.

Pertanyaan kedua adalah mengenai berapa lama perjalanan mudik. Jawabannya dipengaruhi oleh waktu keberangkatan. Jika berangkat pagi dari Jakarta, mungkin dengan sedikit keberuntungan lama perjalanan akan lebih singkat. Selain pagi hari, berangkat dini hari juga menjadi pilihan karena biasanya orang malas untuk berangkat pada malam hari.

Rata-rata lama perjalanan mudik saya ke kampung adalah sekitar 1,5 kali dari lama normal perjalanan dan rekor terlama adalah 2,5 kali dari lama normal perjalanan jika menggunakan mobil pribadi. Tapi mengingat mudik hanya dilakukan satu tahun satu kali, saya tidak terlalu masalah dengan hal ini. Saya lebih memilih menikmati perjalanan daripada berkeluh kesah selama mudik.

Sedankan untuk pertanyaan terakhir mengenai kondisi jalan yang macet atau macet banget sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik jalan dan durasi libur lebaran. Jika menggunakan mobil pribadi, kedua hal ini harus dipantau terus menerus. Pada saat mudik tahun kemarin, dengan adanya pembangunan LRT dan Jalan Tol Cikampek, membuat jalanan lebih macet dari mudik sebelumnya.

Jika durasi libur lebaran lebih panjang, maka dapat dipastikan kondisi jalanan akan lebih lancar. Hal ini mengingat banyaknya pilihan waktu untuk mudik. Saya sangat menyukai kondisi seperti ini.

Tahun 2020 mempunyai cerita mudik tersendiri yaitu anjuran untuk tidak mudik atau "jangan mudik dulu".

Saya masih ingat pembicaraan dengan salah satu kakak di Kuningan dengan menggunakan bahasa Sunda.

"Taun ieu bisa balik teu nya?"(1)

Kakak saya menjawab, "Nanaonan maneh. Tong adigung. Tong uih heula kadieu. Tungguan bae sampe corona ngaleungit heula. Karek engke balik ka dieu."(2)       

Saya menjawab lagi, "Ikhlas ridho teu uih ka ditu? Moal nanaon?" (3)   

Dengan bijak kakak saya menjawab, "Teu kunanaon. Nu penting kita salamat. Kan masih tiasa tatalipunan sambil menta hampura. Teu kudu uih kadieu." (4)   

Itulah sepenggal percakapan saya dengan kakak di Kampung. Intinya adalah kakak saya memaklumi untuk tidak mudik dan mengerti bahwa bermaaf-maafan masih bisa dilakukan tanpa harus mudik.

Sebenarnya secara tidak langsung banyak hikmah yang kita dapatkan dengan tidak mudik ke kampung. Yang pertama adalah usaha untuk menghentikan rantai penyakit. Kita tidak pernah tahu bisa saja kita menjadi pembawa penyakit bagi orang di kampung. Wallahu Alam.

Yang kedua adalah merasakan suasana berlebaran di rumah sendiri. Jika mudik, biasanya suasana lebaran berada di rumah orang tua ataupun rumah kakak seperti saya. Tapi tahun ini, saya bisa merasakan bagaimana repotnya menyiapkan lebaran untuk keluarga sendiri.

Yang terakhir adalah tidak adanya biaya mudik sehingga dapat saya alokasikan untuk hal lain yang bermanfaat misalnya bersedekah. Bahkan biaya mudik ini dapat saya tambahkan pula untuk uang lebaran keponakan saya. Saya yakin mereka pasti akan senang menerimanya.

Sebagai manusia yang mempunyai akal sehat, seharusnya anjuran tidak mudik tahun ini dapat kita lakukan dengan penuh kesadaran. Bukan hanya jargon. Kita sadar bahwa dengan menahan keinginan mudik berarti telah menyelamatkan kehidupan kita sendiri dan juga kehidupan orang yang kita sayangi.

Dengan menahan keinginan mudik tahun ini, kita berharap pandemi bisa diatasi dan tradisi mudik bisa kembali pada lebaran tahun depan. Kehilangan kesempatan mudik tahun ini dapat mengajarkan kita tentang begitu besarnya makna untuk tetap menjaga silaturahmi yang kadang kala sering kita abaikan.

Jika memang tidak bisa mudik pada lebaran tahun ini, bukankah masih ada kesempatan mudik di luar waktu lebaran? Tentu saja pada saat pandemi corona berakhir.

Makna lebaran Idul Fitri bukan terletak pada kita pergi mudik atau tidak. Namun niat kita untuk kembali menjadi insan suci pada tanggal 1 Syawal dengan saling memaafkan antar sesama. Jadi cerita mudik tahun ini adalah "Tong uih heula nya." (5)

Catatan Kaki :

(1) Tahun ini bisa pulang tidak ya ?

(2) Apa-apaan kamu. Jangan merasa sombong. Tunggu saja sampai corona hilang. Sesudah itu baru kamu pulang ke sini.

(3) Ikhlas ridho tidak pulang kesana? Tidak apa-apa?   

(4) Tidak apa-apa. Yang penting kita semua sehat. Kita kan masih bisa menelpon untuk saling meminta maaf. Tidak harus pulang ke sini.

(5) Jangan pulang kampung dulu.

-RSW/DPK/21052020-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun