Happy Land mulai dikenal sebagai kawasan kumuh sejak beberapa dekade lalu saat banyak pendatang dari berbagai provinsi pergi ke Kota Manila untuk mencari pekerjaan di daerah pelabuhan serta industri sekitar. Seiring berjalannya waktu, wilayah ini dipadati oleh komunitas yang berjuang memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kebanyakan mereka mendirikan rumah dari bahan-bahan bekas seperti kayu dan seng. Kondisi ekonomi dan infrastruktur yang tidak mendukung menyebabkan kawasan ini tidak berkembang dan fasilitas yang sangat minim. Happy Land gambar nyata dari krisis kependudukan di Kota Manila, di mana ruang yang ada sangat terbatas tidak layak untuk tempat tinggal. Tidak ada data resmi yang menetapkan luas pasti dari Happy Land karena kawasan ini merupakan kawasan ilegal dan tidak memiliki izin yang berkembang dari waktu ke waktu.
Nama Happy Land sendiri berasal dari kata Hapilan, yang di dalam bahasa Tagalog memiliki arti tempat pembuangan sampah yang berbau busuk dan hal ini memang sesuai dengan kondisinya. Tetapi kemudian kata hapilan berganti menjadi Happy Land, kemungkinan besar kata perubahan ini berasal dari hasil percakapan Bahasa Inggris yang terputus-putus antara penduduk setempat dengan pengunjung yang berbahasa Inggris yang menanyakan nama tempat tersebut. Kemudian nama tersebut diterima oleh masyarakat untuk meredam ketidaknyamanan ketika mendengar nama asli tempat tersebut. Dengan demikian, kebahagian ironi nyata perjuangan manusia melawan keterbatasan ruang udara dan kehidupan dalam sebuah kawasan dengan komunitas yang terus bertahan meski pengapnya hari-hari mereka dan menguji batas kemanusian mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!