Manila, Filipina, yang memiliki makna kontras dengan kehidupan di dalamnya. Happy Land yang secara harfiah berarti tanah bahagia justru menyajikan ironi besar sebuah kenyataan hidup yang sangat jauh dari kata kebahagiaan. Happy Land, Potret buram yang dibingkai dalam sempitnya ruangan dengan para penghuni yang seolah hidup bertumpuh dan terhimpit di lingkungan yang seakan menolak kenyamanan dan kesehatan. Di tempat ini kesulitan hidup bukan hanya bagian dari kehidupan sehari-hari, namun telah menjadi nafas yang mereka hirup dalam setiap ruang pengap yang mereka huni.
Happy Land, kawasan kumuh padat penduduk yang berada di KotaTondo, yang merupakan tempat dimana Happy Land berdiri, bukan hanya distrik terbesar di Kota Manila, tetapi juga merupakan tempat kumuh terbesar dan terburuk di Kota Manila, yang menjadi rumah bagi sekitar 631.000 jiwa yang sebagian besar dari mereka tinggal di jalanan atau gubuk kecil yang tampak kumuh. Happy Land memiliki tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi dimana di setiap sudut tempat ini penuh sesak dengan bangunan darurat yang dibangun berdekatan tanpa ruang terbuka atau ventilasi yang memadai. Jalanan yang sempit hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki atau sepeda motor yang menjadi akses utamanya yang diapit oleh sampah dan sisa makanan yang sering menumpuk di jalanan karena kurangnya sistem pengelolaan sampah. Lingkungan yang kumuh ini memperparah kualitas hidup di mana aroma tidak sedap, polusi hingga kebisingan menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Begitu buruknya kawasan ini bahkan jalan setapaknya sudah berubah menjadi tumpukan di sini di jalanan menjadi tidak terlihat karena telah ditutupi oleh kantong-kantong plastik tua, kemasan kosong dan jenis sampah lainnya yang membentuk jalan yang dilalui sehari-hari.
Sebagian besar keluarga di Happy Land tidak memiliki rumah dengan kamar yang terpisah-terpisah atau ruang privasi. Tempat tinggal mereka adalah ruangan kecil yang rata-rata berukuran 9m. Dan di ruangan inilah sekitar 10 hingga 15 orang harus berbagi atap dinding serta lantai di ruangan ini berfungsi sebagai tempat tidur, dapur dan ruang makan dan kadang kala menjadi tempat bekerja serta bersosialisasi. Ketika malam, lantai yang dipenuhi alas tidur tipis menjadi satu-satunya tempat beristirahat setelah bertahan hidup di luar. Karena tinggal di ruangan sempit, ketika tidur setiap anggota keluarga terpaksa harus bergantian posisi tidur, seperti jika ada yang merasa sudah kesempitan, maka posisi tidut harus bergantian dengan anggota keluarga lain. Ketika melakukan pergantian posisi tidur, harus dilakukan dengan sangat hati-hati, agar tidak mengganggu tidur orang lain. Bahkan penggunaan bantal dan kain sarung digunakan secara bergantian.
Setiap inchi di dalam ruangan memiliki arti nilai yang berharga bagi mereka. Tempat tinggal yang sempit ini diperparah dengan konstruksi bangunan yang tidak stabil yang terbuat dari bahan-bahan bekas seperti papan kayu, seng, dan plastik. Tumpukan barang-barang yang tidak memiliki tempat penyimpanan, ventilasi yang buruk dan dan pengap dan penuh sesak dan tentu saja sangat jauh dari kata standar layak umumnya. Bahkan udara segar sulit masuk dan hingga diperparah dengan aroma yang tidak sedap dari tumpukan sampah dan pengap, juga bercampur dengan bau makanan yang dimasak di dalam ruang yang sama. Dan hal ini diperparah dengan suhu Kota Manila yang panas dan lembab di malam hari menambah tekanan membuat mereka yang tinggal di dalamnya terbangun berkeringat dan merasa tercekik di dalam rumah mereka sendiri. Bagi anak-anak dan lansia, ini adalah pukulan berat bagi mereka. Anak-anak sulit untuk belajar dan bermain, terkurung dalam ruang sempit dan tanpa kebebasan untuk bergerak. Walaupun demikian, itu bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapi di Happy Land.Â
Keterbatasan ruang bukan hanya menjadi masalah di dalam rumah, di luar jalanan yang sempit yang hanya cukup dilalui satu orang serta penuh sesak dengan rumah-rumah yang berdempetan membuat akses ke toilet umum dan sumber air bersih menjadi perjuangan sehari-hari. Dan toilet umum ini digunakan berbagi dengan banyak keluarga lainnya. Kadang-kadang antrian panjang menjadi pemandangan biasa di mana setiap orang harus menunggu giliran untuk kebutuhan dasar ini. Di sisi lain, air bersih menjadi kebutuhan yang sangat langka, di mana banyak penduduk yang kesulitan membeli air minum kemasan atau memasang pipa air bersih. Untuk atau mencuci, mereka sering kali bergantung pada air sungai atau parit yang tercemar berat yang mengalir lambat diantara limbah rumah tangga dan industri.
Akibat dari kemiskinan ekstrim yang terjadi di kawasan ini, munculah solusi bertahan hidup dari kelaparan, yaitu Pagpag. Pagpag merupakan "Makanan Daur Ulang" yang diakibatkan tingginya biaya hidup di Kota Manila, sehingga masyarakat yang berada dalam jeratan kemiskinanan tidak memiliki pilihan lain selain memakan Pag Pag. Pagpag terbuat dari kumpulan sisa makanan yang didapat dari sisa restoran cepat saji seperti ayam goreng yang tidak laku atau kedaluwarsa, kemudian dicuci kembali dan dimasak kembali dan disantap.