Ada dua konsep utama dalam teori kultivasi yang perlu dipahami. Konsep pertama dalam teori kultivasi adalah mainstreaming, yang mengacu pada proses di mana media menciptakan pandangan umum atau standar tertentu. Dalam hal ini, media memiliki kekuatan untuk menyebarkan nilai-nilai, pandangan, atau norma tertentu yang secara perlahan mengubah cara pandang audiens. Melalui paparan yang terus-menerus, pandangan yang disampaikan oleh media akan mulai diterima sebagai standar sosial yang sah, seolah-olah itu adalah kebenaran yang berlaku secara umum.
      Proses mainstreaming ini sangat kuat karena media massa memiliki akses luas untuk menjangkau banyak orang, mempengaruhi cara mereka berpikir, dan menyelaraskan perspektif mereka. Akibatnya, audiens yang terpapar secara terus-menerus dengan pesan media tersebut cenderung menginternalisasi nilai-nilai yang disampaikan, bahkan tanpa disadari. Hal ini menciptakan keseragaman pandangan dalam masyarakat, yang sering kali membentuk opini atau sikap umum yang dianggap sebagai norma dalam kehidupan sosial.
      Konsep kedua dalam teori kultivasi adalah resonansi, yang terjadi ketika pengalaman individu selaras dengan pesan yang disampaikan oleh media. Ketika individu melihat kesamaan antara apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari dan apa yang digambarkan oleh media, pesan yang disampaikan oleh media akan terasa lebih relevan dan nyata. Hal ini membuat pengaruh media terhadap audiens menjadi lebih kuat, karena pengalaman pribadi mereka memperkuat pesan yang diterima dari media.
      Resonansi ini meningkatkan peran media dalam membentuk cara individu memandang dunia dan dirinya sendiri. Ketika pesan yang digambarkan oleh media sesuai dengan kenyataan yang dialami, audiens akan lebih mudah mengidentifikasi diri mereka dengan pesan tersebut, yang pada gilirannya memperdalam dampaknya. Dengan resonansi, media tidak hanya menginformasikan, tetapi juga membentuk persepsi individu secara lebih mendalam, menjadikannya lebih berpengaruh dalam kehidupan mereka.
      Dalam konteks modern, teori kultivasi tidak hanya relevan untuk media tradisional seperti televisi, tetapi juga berlaku pada media digital dan media sosial. Platform seperti Instagram, YouTube, dan TikTok, yang dipenuhi oleh influencer, kini memainkan peran besar dalam menyebarkan pesan dan membentuk persepsi publik. Influencer yang memiliki jutaan pengikut dapat memengaruhi pandangan mereka tentang berbagai topik, mulai dari gaya hidup, produk kecantikan, hingga isu sosial, menciptakan pandangan umum yang serupa dalam audiens mereka.
      Konten Tasya Farasya dapat dianalisis melalui teori kultivasi dalam membahas bagaimana ia memengaruhi persepsi audiens tentang kecantikan dan gaya hidup. Salah satu cara yang paling jelas adalah dalam membentuk standar kecantikan ideal. Melalui konten yang berfokus pada makeup, skincare, dan estetika, Tasya menampilkan gambaran kecantikan yang sempurna dengan kulit mulus dan riasan tanpa cela. Audiens yang terus-menerus terpapar pada visual tersebut cenderung menginternalisasi pandangan ini sebagai standar kecantikan yang normal, yang sesuai dengan konsep mainstreaming dalam teori kultivasi.
      Selain itu, konten Tasya juga memengaruhi pola konsumsi audiensnya. Melalui berbagai review dan rekomendasi produk kecantikan, Tasya mendorong pengikutnya untuk mencoba produk-produk yang ia tampilkan, baik lokal maupun internasional. Dengan menampilkan hasil positif dari produk-produk tersebut, Tasya secara tidak langsung mengultivasi perilaku konsumtif di kalangan pengikutnya, yang merasa bahwa produk yang ia rekomendasikan dapat membantu mereka mencapai kecantikan ideal.
      Konsep resonansi juga relevan dalam analisis konten Tasya. Banyak pengikutnya yang memiliki ketertarikan atau aspirasi yang selaras dengan gaya hidup dan kecantikan yang ia tampilkan. Ketika pengalaman atau impian audiens berhubungan dengan pesan yang disampaikan Tasya, resonansi terjadi, yang membuat pengaruh media menjadi lebih kuat. Audiens merasa bahwa dengan mengikuti rekomendasi dan tips dari Tasya, mereka dapat mencapai hasil yang serupa dalam kecantikan dan gaya hidup.
      Terakhir, Tasya juga memengaruhi persepsi audiens tentang gaya hidup. Selain kecantikan, ia sering menampilkan gaya hidup mewah yang glamor, yang mengaitkan kesuksesan dengan konsumsi barang-barang mewah dan penampilan sempurna. Dalam konteks teori kultivasi, hal ini dapat memotivasi pengikutnya untuk mengejar gaya hidup serupa, dengan harapan mencapai kesuksesan dan kebahagiaan yang ia gambarkan. Gaya hidup yang ditampilkan Tasya semakin memperkuat pengaruhnya dalam membentuk norma sosial dan aspirasi audiens.
      Melalui teori kultivasi, kita bisa melihat bagaimana konten Tasya Farasya berperan dalam membentuk persepsi audiens tentang kecantikan dan gaya hidup. Dengan paparan yang terus-menerus terhadap standar kecantikan yang sempurna, seperti kulit mulus dan riasan tanpa cela, serta gaya hidup mewah yang sering ia tampilkan, audiens mulai menginternalisasi pandangan ini sebagai sesuatu yang ideal dan diinginkan. Hal ini sejalan dengan konsep mainstreaming dalam teori kultivasi, di mana pesan yang disampaikan secara berulang-ulang menciptakan standar yang diterima secara umum. Tasya, sebagai influencer yang memiliki pengaruh besar, turut membentuk tren kecantikan yang banyak diikuti, memengaruhi pola konsumsi audiensnya, serta memperkenalkan gaya hidup tertentu sebagai simbol kesuksesan. Dalam konteks ini, media sosial berfungsi sebagai platform yang memperkuat pengaruh tersebut, menunjukkan bagaimana media digital kini berperan besar dalam membentuk norma sosial dan perilaku masyarakat.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI