Lama saya tidak menulis di Kompasiana. Sibuknya perkuliahan dan memikirkan pemasukan menjadi beberapa alasan saya sempat mogok menulis. Namun, hari ini hasrat saya untuk menulis muncul setelah saya menonton salah satu karya terbaru sutradara beken, Joko Anwar, yaitu Siksa Kubur. Ulasan ini saya dedikasikan sebagai bentuk benci dan cinta saya terhadap film yang secara berani mengangkat isu agama tanpa mempermainkan unsur dari agama itu sendiri.
Projek dari Siksa Kubur sendiri sudah sempat mencuri perhatian saya saat Joko Anwar pada beberapa tahun silam mengumumkan draft terakhir dari film ini. Saya ingat betul saat itu momen pengumuman naskah Siksa Kubur ternyata bersamaan dengan pengumuman film Siksa Neraka. Tentu saya cukup bersemangat dengan perkembangan kedua film ini. Namun, setelah saya dikecewakan dengan film Siksa Neraka yang tidak begitu memuaskan maka ekspektasi saya terhadap film Siksa Kubur tidak begitu tinggi. "Toh, keduanya mengangkat unsur siksaan dikehidupan pasca kematian" begitu pikir saya. Rupanya, film Siksa Kubur menjadi salah satu film yang wajib untuk dinikmati setidak sekali apabila Anda merasa jenuh dengan beberapa film horor yang terasa membosankan. Sebagai film kedua dari production house baru, Come and See Pictures, Siksa Kubur sukses menjadi film yang saya benci, tetapi saya juga cintai pada waktu yang sama.
Sinopsis Film Siksa KuburÂ
Siksa Kubur sendiri menceritakan tenta Sita dan Adil yang harus menjadi yatim piatu karena insiden bom bunuh diri yang menewaskan kedua orang tuanya. Rupanya pelaku bom bunuh diri tersebut adalah seseorang yang memiliki rekaman suara dari siksa kubur yang memicu dirinya untuk mati secara jihad. Sita yang marah mulai mempertanyakan kebenaran dari adanya siksa kubur dan berkeyakinan bahwa agama hanya menjadi alat yang menakuti manusia saja. Dimulai lah perjalanan Sita dan Adil, dua kaka beradik, untuk mencari satu orang paling berdosa yang akan segera meninggal dan membuktikan bahwa siksa kubur tidaklah nyata bahkan bagi orang paling berdosa pun.
Perjalanan terbagi setidaknya menjadi 3 babak yang menarik untuk dibedah secara terpisah. Babak pertama adalah awal mula seluruh rangkaian cerita dari film ini. Pada babak ini kita diperlihatkan bagaimana Joko Anwar menggambarkan sebuah potret dari keluarga sederhana yang memiliki sisi harmonis di tengah kesulitan ekonomi yang dihadapinya. Kita juga diperkenalkan dengan sosok Sita, anak perempuan yang vokal, tegas, dan justru menjadi lebih superior dibandingkan kakaknya, Adil. Memasuki akhir babak satu, kita diperlihatkan bagaimana Sita dan Adil harus mencari cara pergi dari panti asuhan yang Sita anggap sebagai tempat pengurungan dia dan dendamnya terhadap pelaku bom bunuh diri tersebut. Babak ini juga menjadi babak fundamental yang memberikan rasa trauma terhadap Adil selama berjalannya cerita.
Memasuki babak kedua, latar film ini berubah ke saat-saat Adil dan Sita memasuki usia dewasa. Setelah keduanya berhasil kabur dari panti asuhan, mereka memutuskan bekerja di salah satu panti jompo. Sita bekerja sebagai salah satu suster di panti jompo tersebut dan dengan cepat menjadi suster paling disukai oleh penghuni di sana. Di sisi lainnya, Adil menjadi pemandi jenazah yang bekerja sama dengan panti jompo itu. Babak kedua ini mulai memunculkan aksi dan tindakan dari Sita dan Adil dalam mencari orang paling berdosa menurut mereka. Konflik semakin berkembang ketika Sita justru merasakan kejadian aneh dan tidak masuk akal setelah membukti kebenaran dari siksa kubur yang ia cari selama ini.
Dalam babak ketiga, kita benar-benar ditunjukan tentang Sita dan masa lalunya yang harus berdamai. Kita juga diperlihatkan bagaimana Adil adalah korban trauma dari masa lalunya. Serta, Sita yang mulai merasa bahwa keyakinannya tentang Siksa Kubur selama ini telah salah. Babak ketiga ini dipenuhi dengan definisi sebenarnya dari siksa kubur itu sendiri.
Sebenarnya dari sinopsis cerita Siksa Kubur sendiri kita harusnya sudah paham bahwa Joko Anwar bukan ingin memperlihatkan bagaimana Siksa Kubur itu terjadi. Namun, Joko Anwar terasa ingin memperlihatkan tentang perjalanan spiritual seseorang yang paling tidak mempercayai agama dalam menemukan jawaban yang dicarinya selama ini. Sudut pandang berbeda inilah yang membuat saya merasa bahwa Siksa Kubur bukan horor lokal yang hanya mempermainkan unsur agama sebagai objek ketakutan. Lebih dari itu, Siksa Kubur menunjukan bahwa agama adalah salah satu hal yang pada akhirnya perlu untuk dipercayai. Setidaknya untuk mayoritas masyarakat.
Saya Mencintai Sekaligus Benci Terhadap Film Ini
Itulah pendapat saya apabila ditanya mengenai film ini. Siksa Kubur tidak bisa diragukan lagi adalah horor Indonesia yang revolusioner dengan sudut pandang berbeda tentang konsep agama. Alih-alih memberikan rasa takut saja tanpa konklusi jelas, layaknya film horor kebanyakan, Siksa Kubur justru secara tidak langsung menjadi film yang mendakwahi penontonnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila gimik "ingin tobat" pada film ini benar-benar sesuai dan berhasil. Penceritaan yang baik setidaknya membuat saya sanggup untuk duduk lebih lama di bioskop.
Joko Anwar memang tidak perlu diragukan lagi dalam aspek-aspek seperti scoring, cinematography, dan casting. Joko Anwar berhasil menggandeng orang-orang hebat yang mampu memberikan hasil terbaik dalam segala aspek. Cinematography yang dihadirkan dalam film ini berhasil memberikan efek 'gelap' tanpa mengurangi pencahayaan dalam setiap adegannya. Intensitas yang dibangun pada film ini bahkan tanpa sosok hantu sekalipun sangat berhasil memberikan efek tegang selama saya menonton filmnya. Scoring musik film ini patut diapresiasi karena berhasil membangun ketegangan tanpa harus membuat telinga saya sakit dengan suara volume tinggi. Dari sisi casting, saya berani mengatakan bahwa seluruh cast dalam film ini berhasil memerankan peran mereka masing-masing. Christine Hakim sukses mencuri atensi saya dengan perannya yang begitu mendramatisir momen patah hati dengan sangat baik. Bahkan dalam adegan klimaksnya pun membuat saya sempat tercengang beberapa detik berkat aktingnya yang luar biasa.
Pemeran utama dalam film ini, Faradina Mufti dan Reza Rahadian, sukses memerankan tokoh masing-masing hingga mampu mencuri simpati penonton. Faradina Mufti berhasil memeran tokoh Sita sebagai penggambaran terhadap kelompok masyarakat yang menolak dan meragukan konsep dosa, akhirat, dan agama secara keseluruhan. Menjadi semakin relevan dengan lingkungan pertemanan saya pribadi setelah melihat latar belakang Sita yang sempat menempuh pendidikan di pesantren, tetapi menjadi orang paling menolak agama saat dewasa. Â Di sisi lain, Reza Rahadian tidak perlu diragukan lagi secara akting. Keluhan bahwa Reza Rahadian selalu menjadi tokoh sentral dalam perfilman Indonesia seakan ditampar habis-habisan pada film ini. Bahkan hanya lewat gestur tubuhnya saja, Reza Rahadian secara spektakuler menunjukan bagaimana trauma pada masa kecil akan terus digendong bebannya oleh korban hingga dewasa sekalipun.
Satu hal lagi yang saya kagumi dan saya cintai dari film ini adalah Joko Anwar yang melepaskan dan membiarkan penonton untuk terus berfantasi liar dalam pikiran mereka tentang film yang baru saja mereka tonton. Joko Anwar benar-benar memberikan kebebasan untuk penonton menentukan sendiri bagaimana kisah ini berjalan dan diinterpretasikan. Pembangunan suasana dan dunia dalam film ini berhasil membuat penonton mau tidak mau harus mengenal dunia filmnya dengan sangat baik. Bahkan semua dialog yang keluar pada film ini dapat menjadi call back penting untuk membedah adegan-adegan setelahnya. Maka tidak heran setelah Anda keluar dari bioskop diskusi pada film ini akan terus terjadi dan bahkan memerlukan waktu berhari-hari hingga Anda puas dengan jawaban yang Anda inginkan. Itulah yang membuat saya begitu mencintai film ini. Siksa Kubur tidak hanya film yang dinikmati saat berada di dalam teater, tetapi daya magisnya seperti memaksa saya untuk terus berfantasi menghasilkan teori liar yang saya bisa.
Meskipun demikian, seperti yang sudah saya singgung sebelumnya bahwa saya juga benci pada film ini. Tidak secara keseluruhan, tetapi ada beberapa aspek yang membuat saya cukup ilfeel. Salah satu yang begitu membuat saya sempat terheran-heran dan tertawa adalah ketika adegan semua orang di Indonesia mulai mempercayai dan ketakutan akan siksa kubur. Penggambaran distopia yang terjadi terasa seperti dipaksakan untuk menunjukan false believe yang diyakini Sita adalah salah. Pada adegan lain, nuansa horor religi yang dibangun sejak awal seakan hancur karena beberapa adegan justru terasa seperti film atau video game bergenre zombie. Beberapa set up yang dibangun untuk jumpscare pun terasa terlalu lama dan membuat saya di beberapa adegan justru merasa lelah. Scene Sita yang melihat langsung Siksa Kubur dan memohon pertobatan agak membuat saya bingung dengan munculnya subtitle doa tobat di layar. Saya cukup bertanya-tanya tentang keputusan Joko Anwar untuk tidak menggunakan subtitle sejak awal. Mengingat ada beberapa dialog dalam bahasa arab yang membuat saya harus menajamkan pendengaran.
Pada akhirnya saya pribadi merasa Siksa Kubur adalah salah satu film horor yang wajib untuk ditonton setidaknya sekali seumur hidup. Pesan religi dan dakwah islam yang diusung berhasil setidaknya untuk membuat penonton memikirkan dosa-dosa yang pernah dilakukan. Jika pun tidak, film ini masih sangat dinikmati bahkan setelah keluar bioskop dengan teori-teori yang memang sejak awal sudah sebarkan seperti kepingan puzzle oleh Joko Anwar. Film ini layak dikatakan sebagai film terbaik secara experience yang saya rasakan. Apabila perlu saya berikan nilai maka film ini sangat pantas mendapatkan nilai 9/10.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H