Nasi pindah patin, menjadi salah satu menu favorit saya ketika santap siang. Semangkok pindang bagian kepala, sambal mantah, lalapan dan satu porsi nasi tambahan. Bagi teman-teman yang butuh menjaga penampilan tentu akan tercengang dengan porsi makan siang saya ini. Tapi tidak dengan saya, tentunya.Â
Yups, kalau dengan lauk pindang ikan patin, rasanya tidak cukup dengan satu porsi nasi. Harus ada nasi tambahan, karena saya akan makan dengan lahap. Ditambah dengan lalapan yang terdiri dari timun, daun kemangi dan terong, nafsu makan jadi poll. Hasilnya, sehabis makan ikat pinggang pun dikendorkan, sementara keringat bercucuran.Â
Harga satu porsi nasi ikan patin seperti ini, sangat beragam. Mulai dari Rp 15.000,- sampai Rp 50.000,- ada. Namun, seperti ungkapan ada rupa ada harga, pindang yang bertarif tinggi lebih gurih tentunya. Alasan itulah saya tidak makan pindang patin setiap hari, bisa jebol juga kantong. Coba kita hitung kalau diambil harga tertinggi Rp 50.000,- setiap hari kerja makan nasi pindah pating.Â
Setiap bulan saya bekerja sebanyak 24 hari. Artinya kalau setiap hari makan siang dengan menu nasi pindang patin bisa menghabiskan Rp 1.200.000,- per bulan. Belum ditambah uang bahan bakar untuk kendaraan, jajan cemilan dan kopi. Duh bisa tekor ya, apalagi dalam kondisi yang penuh dengan ketidakpastian akibat pandemi covid 19 ini.Â
Sejak 16 Maret lalu saya mengambil tindakan yang sangat tegas. Tidak makan nasi pindang patin di warung lagangganan lagi. Semua kebiasaan makan diluar distop. Makan siang beralih ke rumah. Â
Berat juga, karena diluar kebiasaan. Namun dalam kondisi seperti sekarang ini saya harus #cerdasberprilaku. Kebetulan, kerjaan juga sebagian dialihkan ke rumah sehingga cukup mendukung kebijakan stop makan di warung. Untuk mensiasati menjaga #stabilitassistemkeuangan, aaya mulai dari diri saya sendiri. Selanjutnya baru saya terapkan dalam rumah tangga, guna mendukung #makroprudensialamanterjaga.
Satu lagi, dari kemarin biasanya pakai R4, sekarang lebih banyak pakai R2. Kebetulan R2 yang biasa dipakai istri antar jemput anak sekolah, karena sekolah diliburkan jadi nganggur.Â
Konsumsi bahan bakar jadi hemat banget. Biasanya untuk pos pengeluaran ini harus menghabiskan kisaran Rp 600.000 - Rp 800.000 per bulan, sekarang cukup Rp 50.000 saja. Saya saja hampir tidak percaya, sejak 16 Maret lalu R4 lebih banyak berteduh digarasi. Dengan pengurangan hari kerja, guna menghindari penyebaran corona, penggunaan kendaraan semakin sedikit.Â
Setelah melakukan penghematan secara pribadi, saya juga melakukan penghematan dirumah tangga. Agenda rutin setiap tanggal muda ditiadakan. Biasanya, menghibur anak-anak saya suka mengajak mereka makan ke resto, berenang atau main ke arena permainan di pusat-pusat perbelanjaan. Tentunya yang sesuai dengan budget.
Tujuannya bukan untuk memanjakan anak-anak atau membuat mereka terbiasa dengan pesta pora. Namun lebih ke edukasi, agar mereka mempunyai semangat dalam belajar. Ya, seperti penghargaan bagi anak-anak yang sudah rajin belajar dan ibadah. Juga sebagai rekreasi untuk menghilangkan kejenuhan setelah enam hari sekolah.Â
Totaly, semua agenda yang bersifat kesenangan fisik itu ditiadakan. Tetap ada program penggantinya, namun cost yang dikeluarkan tidak terlalu banyak. Yakni, kuota internet. Anak-anak belajar dari rumah. Untuk itu dibutuhkan sambungan internet yang unlimited. Biasanya selesai belajar anak-anak main game atau browsing.Â
Satu lagi, langkah yang saya lakukan yaitu mewanti-wanti istri untuk tidak menggunakan gajinya untuk keperluan yang tidak mendesak. Agak sadis mungkin. Tapi saya tidak memaksa, hanya memberikan saran, karena kondisi perekonomian negara sedang tidak sehat sementara imbasnya, bisa ke semua rakyat jelatah. Untungnya istri memaklumi.Â
Pengeluaran uang lewat satu pintu saja. Yaitu hanya menggunakan uang gaji saya. Sebelumnya, istri sangat inisiatif dalam berbelanja. Apa yang dimau langsung saja dibeli, tanpa kompromi dulu dengan menggunakan uang gajinya. Sebagai seorang kepala keluarga, saya tentunya tidak bisa melarang karena yang dipergunakan adalah penghasilann sendiri.Â
Selanjutnya, tidak membeli barang-barang yang memang belum terlalu dibutuhkan. Seperti baju baru untuk keperluan lebaran, toples baru, sendok baru atau karpet baru. Masih ada hari esok untuk berbelanja, dan akan tetap ada produk baru dihari esok yang lebih pantas dibeli. Tahan saja dulu.
Terima kasih Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H