Hai...
Seperti inilah desa tempat kelahiran saya. Suasananya tentram, jauh dari hiruk pikuk deru mesin pabrik, kendaraan seperti di kota. Rumah-rumah merupakan rumah panggung beratapkan genteng atau seng. Bagian bawah rumah dimanfaatkan untuk gudang atau sangkar hewan ternak, seperti ayam, sapi dan kambing.
Letak desa tempat tinggal saya memang jauh dari kota kabupaten. Yakni, Desa Lontar Kecamatan Muara Jaya, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Sumatera Selatan. Sekitar dua jam perjalanan darat dari kota Baturaja, OKU. Melewati jalur lintas selatan.Â
Begitu turun dari bus, masih harus berjalan kaki dan melewati dua jembatan gantung. Bagi yang takut dengan ketinggian, dijamin berteriak histeris. Jembatan gantung cukup panjang, dibawahnya aliran air cukup deras.
Keriuhan biasanya dari sekelompok anak yang bermain petak umpet, loncat tali, bola kasti atau sepak bola. Selain itu, keramaian terlihat pada jam-jam istirahat. Warga yang tidak pergi ke ladang atau sawah akan duduk di tempat kongkow, biasanya di warung sembari menikmati cemilan atau rokok. Atau memang sedang ada warga yang menyelenggarakan hajatan, seperti pesta pernikahan, selamatan rumah baru dan sedang ada anggota keluarga yang meninggal.Â
Suasana adem, keramahan penduduk dan tradisi-tradisi yang masih terjaga membuat orang-orang di rantau seperti saya akan merindukan kampung kelahiran. Misalnya tradisi gotong royong yang hingga saat ini masih terus dilakukan. Gotong royong dilaksanakan dalam berbagai kegiatan. Baik itu untuk kepentingan bersama maupun kepentingan pribadi salah seorang warga.Â
Misalnya ketika ada warga yang ingin menyelenggarakan resepsi pernikahan putra atau putrinya. Warga akan bergotong royong mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan agar acara tersebut sukses. Mulai dari menyiapkan tenda, pelaminan dan pengisi acara. Semua dilakukan warga tanpa pamrih.Â
Disini usaha catering tidak laku. Karena ketika ada hajatan menu untuk makan disiapkan sendiri oleh warga. Pemilik hajatan cukup menyiapkan bahan-bahan untuk dimasak. Biasanya warga juga urunan. Ada yang membantu ayam, beras, dan bahan-bahan lain yang akan digunakan untuk keperluan terkait hajatan.
Â
Warga bahu membahu menurunkan genteng dari atas bangunan mushollah. Sebagian warga naik ke atas mushollah dan sebagian lagi dibawah. Satu persatu genteng diturunkan secara estapet. Genteng-genteng yang masih bagus akan dipakai kembali. Untuk itu, genteng harus dijaga keselamatannya.
Setelah semua genteng diturunkan, warga mengganti kayu ring untuk menahan genteng yang sudah lapuk. Kemudian genteng dipasang kembali. Genteng yang sudah pecah dan lapuk dimakan usia diganti dengan yang baru.Â
Makanan yang disajikan untuk konsumsi warga yang bergotong royong kadang merupakan sumbangan warga. Makanan dimasak dirumah masing-masing, kemudian dibawa ke lokasi gotong royong. Saya paling suka dengan bagian ini. Makanan yang disajikan akan berpariasi. Ada yang membawa ubi goreng, pepes pisang, bubur kacang hijau, lemper, kue apem dan masih banyak lagi makanan tradisional lainnya. Jangan berharap ada kue kekinian.Â
Beginilah warga kampung saya menjaga tradisi gotong royong. Sejak beberapa abad lalu dan entah berapa generasi, gotong royong terus terjaga. Setiap ada hajatan warga lakukan dengan bergotong royong.
#salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H