"Maaf aku menyinggungmu, Miranda. Tetapi sungguh, aku hanya ingin kamu tetap di sini. Lagi pula aku masih punya 20 menit lagi, bukan?"
Buana menyindirku dengan peraturan. Sial.
"Baik. Karena saya karyawan yang profesional, maka saya akan menemani Anda, tetapi saya tidak segan-segan melaporkan Anda jika Anda macam-macam."
Buana membetulkan posisi duduknya. Ia menyenderkan tubuhnya ke sofa. Lagi-lagi ia mendesah.
"Kau semestinya mengingatku, Miranda. Kau pernah memberikan ini."
Buana mengeluarkan sebuah benda yang memang sepertinya tak asing bagiku. Sebuah gelang karet hitam yang tren pada masanya. Itu sudah lama sekali, kalau tidak salah semasa aku duduk di bangku kelas 1 SMP.
"Aku tidak tahu. Lagi pula bagaimana bisa kau mengait-ngaitkan mainan anak kecil seperti itu denganku?"
"Kau memberikan ini kepada anak laki-laki yang dirundung semasa SMP. Katamu ini adalah gelang keberuntungan. Kalau beruntung, kau akan bertemu lagi dengan laki-laki itu."
Otakku seperti bergerak cepat memanggil semua kenangan semasa SMP seperti yang dimaksud Buana. Dari sekian banyak anak laki-laki, memang ada satu anak laki-laki yang paling menonjol. Anak laki-laki kurus dan berbadan kecil. Sekujur tubuhnya ada bekas-bekas luka kudis yang mengeluarkan nanah bercampur darah. Ia menangis di dalam kerubungan anak-anak usil yang sedang menggodanya karena penyakitnya.
Mata pria ini memang sama dengan anak kecil waktu itu. Tapi apa mungkin? Perawakannya dan tampangnya jauh sekali berbeda. Lengannya yang berotot serta urat yang menjalar di sepanjang pergelangan tersebut jauh dari lengan anak kecil yang ringkih belasan tahun lalu.
"Ya, kau tidak salah. Aku adalah bocah itu," kata Buana seperti bisa membaca pikiranku.
 "Sejak saat itu aku selalu mengingat kamu."