Teruntuk gadisku yang tercipta dari buah imajinasi
Hari ini, resmilah sudah Kirana, setelah sekian lama aku mencoba menciptakanmu dalam imajinasiku sebelum malam menjemput kesadaran. Aku sempatkan membentuk tubuhmu sambil menatap lampu 10 watt yang terang benderang memberiku ide bahwa kulitmu akan putih, mulus dan bersih. Saat aku memejam, kubayangkan rambutmu lurus tergerai hingga ke pinggang. Aku menciptakanmu persis seperti wanita idamanku. Wajah bulat dengan dekikan di kedua sisi pipimu dan kutitikkan andeng-andeng di atas alis sebelah kananmu supaya kita punya kesamaan. Aku melihat kau tersenyum dan mengedipkan mata menggoda sehingga nyenyaklah aku dalam dekapan malam.
Kuberi kau nama Kirana. Alasannya sederhana, sebatas menghilangkan huruf 'y' dari kata 'kiranya'. Sesederhana harapku tentang keberadaanmu kiranya menjadi nyata. Bagaimana tidak, aku hanya bisa merangkulmu ketika aku memeluk bantal membayangkan itu dirimu. Kukecup bibirmu setelah membisikkan kata rindu sambil membayangkan desis kipas angin adalah desahanmu. Namun, jangan khawatir. Aku bukan pria yang suka terburu-buru. Aku tidak akan langsung mengajakmu bergelut di ranjangku dan menenggelamkan diriku pada cawan yang memabukkan. Aku menghargaimu. Sumpah! Membayangkanmu tak selalu bercampur nafsu.
Ini tahun 2023 Kirana. Zaman yang cukup gila menurutku. Zaman yang menunjukkan kemajuan peradaban tetapi merosot secara moral. Andai saja kau tahu, sekarang kedua ibu jari yang kita punya ini bisa melakukan hal-hal ajaib. Kau bisa menjadi rohaniawan, menjadi orang yang suka hura-hura atau menjadi orang yang kerasan dengan huru-hara. Kau bisa lakukan itu dengan sekejab dengan kedua jempol itu. Sekarang ada yang namanya media sosial tempat orang memperluas jejaring katanya. Tetapi, sedemikian cepatnya kabar dan berita menyebar, sedemikian cepatnya pulalah kehancuran menyerang. Aku sendiri, kadang-kadang menyembunyikan diriku di balik kutipan-kutipan motivasi yang kubagikan di sana.
Aku menetapkanmu tidak pada masa ini, Kirana. Aku menciptakanmu pada lini 25 tahun silam. Pada masa itulah aku tiba pada seperempat abad perjalanan hidupku. Kupikir saat itu adalah masa-masa paling romantis dibanding sekarang. Surat yang kutujukan padamu seperti ini akan selalu lebih berkesan dari pada sekedar menyatakan perasaan lewat media sosial atau aplikasi kencan online. Kalau dulu, tak apa surat-surat menjadi kucel, tiba berminggu-minggu kemudian, tetapi cinta dan rindu tersampaikan. Malah lebih terasa awet karena tibanya surat saja sudah menunjukkan sebuah perjuangan. Sekarang beda. Kau tak membalas pesan kekasihmu walau berselang semenit saja, rasa curiga langsung menyergap dan menghilangkan rasa percaya. Siap-siap kau dituduh mendua padahal bisa saja kau sedang sakit perut dan harus segera menuntaskan hajat.
Kirana, aku tahu surat ini tidak akan beranjak kemana-mana selain dari meja ke amplop atau dari amplop ke meja. Aku tidak akan menitipkan surat ini kepada siapa pun karena aku juga enggan memberikannya kepada tukang pos. Bisa-bisa aku dicap gila karena menuliskan alamatku sendiri. Kau tahu bukan? Hal yang tidak biasa lebih gampang dicibir daripada dipuji. Sama dengan kau yang kuciptakan dengan sempurna sebagai objek kecintaanku. Namun, aku tetap menanti keajaiban itu Kirana. Kau akan membalas suratku. Bukan melalui aplikasi obrolan atau aplikasi kencan, tetapi melalui sepucuk surat cinta yang digoreskan oleh mata pena. Aku ingin tahu bagaimana kehidupanmu di sana.
Untuk Sabda yang telah memulai kisah hidupku!
Aku bisa membayangkan keterkejutanmu saat membaca surat ini. Aku juga sama. Bagaimana mungkin seseorang mengirimiku surat dari tahun 2023?
Kendati demikian, aku jadi berterima kasih padamu. Aku sempat kebingungan. Aku terbangun di sebuah toko kelontong tanpa tahu apa-apa. Aku kelimpungan karena semua wajah yang ada di hadapanku begitu asing. Aku tidak mengenal mereka. Tiba-tiba saja seorang paruh baya memanggilku dan meminta aku membantunya. Kirana, tolong bantu ibu, katanya. Langsung saja aku memposisikan diri sebagai anak pemilik toko kelontong itu.
Sabda, waktu menerima suratmu. Aku langsung jatuh cinta. Mungkin karena aku ini buah dari kesempurnaan cinta yang kau rajut di tubuhku. Hampir setiap hari pengunjung toko memuji kecantikanku. Ayahku juga menganggap kecantikanku adalah pembawa keberuntungan untuk toko kami.
Aku penasaran dengan duniamu di masa depan. Aku ingin tahu aplikasi seperti apa yang justru membuatmu resah. Sepemahamanku alat bantu semacam itu harusnya memudahkan, mempererat hubungan dan harusnya memperindah jalinan asmara mereka-mereka yang sedang bercinta. Kenapa kau justru mengirimkan surat padaku? Masalah romantis atau tidak, bukankah itu relatif? Lagi pula kau 'kan pria. Kau pasti punya cara untuk membuat sesuatu yang romantis kalau kau cinta. Oh iya, bagiku kalau sepasang pria dan wanita sama-sama mencinta, harusnya setiap waktunya pasti akan terasa romantis.
Â
Baca juga: Pernikahan
Kirana, Kau hampir membunuhku. Aku terkejut, benar-benar terkejut. Bahkan saat menulis surat ini, jemariku bergetar tak karuan. Maaf, jika tulisanku berantakan. Aku hanya belum bisa menalar ini semua. Kau hanya gadis yang kucipta dalam aksara. Bagaimana bisa kau tiba-tiba menerima dan membalas suratku seperti ini?
Namun, bagaimanapun juga kau membuatku besar kepala dan melonjak kegirangan. Malah saat ini tumbuh niat untuk bertemu denganmu kalau bisa. Sayang, bagai upaya memeluk gunung, aku tidak akan bisa kembali ke masa lalu. Aku tidak punya mesin waktu seperti film-film fiksi ilmiah zaman sekarang. Paling masuk akal, ya, kau yang harus menyusulku sampai 2023. Masalahnya, aku tidak yakin kelak kita saling mengenali. Kita akan semakin menua dan bisa saja aku sudah mati duluan.
Tapi, aku bahagia, Kirana. Belum pernah sebahagia ini. Kau hidup dan aku serasa hidup kembali. Aku jadi ingin menulis surat yang panjang untukmu supaya kau bisa membalas dengan panjang pula. Ibarat kata sedang bercakap-cakap, aku sangat ingin menghabiskan waktu dengan dengan wanita yang kucintai.
Â
Untuk Sabda Gila.
Otakmu sepertinya sudah mulai bergeser ya, Sabda. Bagaimana bisa kau menggantungku seperti ini. Aku menunggu menunggu kabar darimu selama setahun dan kau hanya menuliskan seperempat halaman saja? Katamu kau ingin membicarakan banyak hal, tetapi... ah... aku geram, Sabda. Tidak habis pikir.
Aku hampir ikutan gila gara-gara kamu, Sabda. Sepertinya saat kau menciptakanku kau membuat sebuah kesalahan. Kulitku memang terang. Entah benar karena kau terinsipirasi dari lampu 10 watt-mu itu. Masalahnya, kalau kau melihat cahaya lampu yang terang itu, matamu akan menyipit. Mungkinkah gara-gara itu mataku kau buat sipit? Kalau iya, berarti aku harus mengutukmu, Sabda. Terlebih lagi karena kau menempatkan aku pada lini waktu ini.
Kalau kau menganggap dirimu sebagai tuhan sekarang, seharusnya kau bisa mencegah peristiwa itu. Menghukum pria-pria keparat itu sampai mereka menyerah untuk hidup. Kalau tidak, kau ambil saja nyawaku, Sabda. Aku sudah berulangkali mengakhiri hidupku sendiri. Tapi sepertinya kau lebih betah melihatku menderita.
Â
Kirana tenanglah!
Aku tidak memahami maksudmu. Aku membalas suratmu tak lama setelah kau berhasil mengejutkanku. Bahkan itu kali pertama aku sibuk di meja kerjaku pada pagi hari. Aku biasanya lebih suka menyendiri di malam hari dan fokus melakukan pekerjaanku.
Lalu apa yang kau permasalahkan dari proses penciptaanmu? Kalau masalah pria-pria yang tergoda karena mata sipitmu, bagiku itu hal yang wajar. Siapa yang tidak akan jatuh hati kepada wanita secantik dirimu, Kirana.
Lalu apa yang kamu maksud dengan mencoba mengakhiri hidupmu? Apa yang terjadi padamu, Kirana? Aku memang menciptakanmu, tetapi tak sedikitpun terbersit sebuah skenario untuk membuatmu menderita. Kau adalah Kiranaku. Tak mungkin aku sengaja menyakitimu. Tolong perjelas semua ini. Aku sangat bingung.
Untuk Sabda sialan yang bingung dan tidak peka  sama sekali!
Sabda, kalau kau ada di sini, aku akan mencekikmu sampai mati. Bisa-bisanya kau tak punya kepekaan sama sekali? Kau tak ingat aku menyebutkan laki-laki keparat itu? Apakah itu tak cukup untuk memberikan petunjuk atas penderitaan yang kumaksud?
Sabda, aku... diperkosa.... Ah, seharusnya kau cukup peka. Kau adalah tuhan. Penciptaku. Kau harusnya mengerti apa yang kurasakan. Aku, Kiranamu. Tidak sesempurna yang kau bayangkan lagi. Aku sudah kotor, aku tak berguna, dan mereka membuangku begitu saja.
Kirana yang malang,
Maaf, aku memaksamu untuk menyebutkan penderitaanmu. Sesuatu yang membuatmu jijik atas keberadaanmu. Sungguh! Aku tidak pernah mereka-reka skenario membuatmu mengalaminya. Aku geram. Aku menyesal. Aku juga benci pada diriku sendiri. Seperti katamu, harusnya aku bisa menciptakan garis hidup yang bahagia untukmu. Maafkan aku Kirana. Tolong, maafkan. Kau tetap Kiranaku. Tidak ada yang menjijikkan darimu. Kau tetap berharga bagiku. Tolong jangan pernah mencoba mengakhiri hidupmu. Kau ingat, kau masih punya aku.
Terkait perjalanan waktu, aku rasa ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya, tetapi situasi ini malah membuatku berpikir bahwa sebenarnya peluang itu ada. Katamu kau menunggu suratku selama setahun, kau serius akan hal itu? Jika demikian, seperempat hariku di sini sama dengan setahunmu di masamu. Per hari di mana kau menerima suratku ini berarti sudah tahun 2000. Alamat surat kita sama, jadi harusnya kau tak akan kesulitan. Oleh karena itu, mari kita terus berbalas surat setiap enam jam sekali. Sehari di masaku berarti empat tahun berlalu di masamu. Kau butuh 23 tahun lagi untuk bisa bertemu denganku. Kuharap kau bisa bertahan selama itu.
Â
Sabda kekasihku,
Kali ini aku menyebutmu 'kekasihku'. Terima kasih sudah khawatir karenaku. Kau mencintaiku dan aku juga merasakan hal yang sama terhadapmu. Namun, aku merasa cinta tak bisa menyembuhkan lukaku. Aku tak yakin bisa bertahan lagi.
Saat kau tak lagi menerima balasanku, itu artinya aku tak lagi hidup. Kau adalah tuhanku, Sabda. Kalau kau masih bisa membuatku hidup kembali, jangan lagi kau tempatkan aku pada masa-masa suram ini. Izinkan aku hidup di masamu yang sudah maju itu. Aku juga ingin bisa mengobrol denganmu dengan aplikasi yang kau sebutkan beberapa tahun yang lalu.
Selamat tinggal Sabda kekasihku. Semoga kita bertemu di kehidupan yang baru.
Baca juga: Mara dan TragediÂ
***
"Pak, ada yang mencari Anda," kataku.
Majikanku terlihat panik dan ketakutan. Ia memasukkan sesuatu ke laci meja kerjanya dengan buru-buru. Aku tahu itu adalah surat-surat yang akhir-akhir ini menyita banyak perhatiannya. Aku belum pernah membacanya karena aku menghormati majikanku ini. Kalau ia peduli dengan surat-surat itu, barang tentu itu berarti baginya.
"Sudah berapa kali kubilang. Kalau ada yang mencariku, bilang saja aku tidak ada di rumah." Wajah majikanku geram.
Aku menuruni tangga yang terhubung ke ruang tamu. Di sana telah menunggu dua orang pria berseragam kepolisian. Aku sempat berhenti dan memperhatikan gerak-gerik mereka. Mereka seperti sedang memindai seluruh sudut rumah seperti mencari sesuatu. Barulah sesaat kemudian, ketika kepala salah satu dari polisi itu mulai memutar ke arahku, aku berpura-pura berjalan biasa.
Apa yang sebenarnya mereka cari? batinku. Teh hangat kutawarkan pada mereka juga sepertinya tidak mereka sentuh sama sekali.
"Maaf, majikan saya ternyata sedang keluar. Saya belum diberitahu," kataku mengikuti perintah majikanku.
Mata mereka menatap lurus menembus bola mataku walau sebentar. Aku harus segera menguasai diri. Mungkin mereka sudah mencium aroma kebohongan dari mulutku atau melihatnya dari mataku.
"Boleh kami tahu, sudah berapa lama Anda bekerja di sini?"
Aku tak langsung menjawab. Pertanyaan ini sudah mengarah pada interogasi. Walau aku hanya pembantu bukan berarti aku buta soal beginian. "Ini sebenarnya ada apa ya? Apakah ada sesuatu yang perlu saya tahu terlebih dahulu terkait kedatangan bapak-bapak ke sini?"
Akhirnya polisi dengan tampang lebih muda itu meraih map yang tadi mereka letakkan di atas meja. Ia menyingkapkan isi map itu, sebuah surat dengan judul SURAT PERINTAH TUGAS lengkap dengan sebuah foto hitam putih terlampir di map itu. Dahiku mengerut. Wajah pada kertas foto itu tampak tak asing. Mirip dengan majikanku saat ini, hanya... lebih muda.
"Anda kenal orang yang ada di foto ini?" Polisi muda berbadan tegap itu menyodorkan foto itu supaya dapat kulihat lebih jelas.
Setelah mengamati foto itu lebih dekat. Aku yakin itu adalah majikanku. Aku mengembalikan pandanganku pada polisi muda tadi seraya menggeleng.
"Anda yakin dan bisa mempertanggungjawabkan jawaban Anda?" tanya polisi berperut buncit dengan tatapan menyelidik.
Aku mengangguk. Aku merasa keningku semakin dingin. Untung saja kedua polisi itu tidak melanjutkan pertanyaan yang akan menambah stok dosa kebohonganku. Apa yang mendorongku untuk melakukan itu? Aku tak tahu persis.
"Baiklah. Kami sudah mendapatkan informasi yang kami butuhkan. Kami mohon undur diri."
Aku baru saja ingin mengembuskan napas lega sebelum kedua polisi itu berbalik dan menuturkan sebuah informasi yang sontak memacu detak jantungku lebih cepat. "Sebaiknya Anda perlu hati-hati." Polisi buncit itu mengeluarkan foto dari map dan meletakkannya di meja, "Orang di foto ini adalah salah satu pelaku pemerkosaan massal tahun '98 silam. Kami akan terus berupaya supaya korban mendapat keadilan."
Aku terkesiap. Mataku membelalak menatap punggung kedua polisi itu hingga akhirnya menghilang setelah melewati mulut pintu. Aku menyambar foto hitam putih lalu menoleh ke atas tangga tempat kamar majikanku berada. Aku membalik foto itu. Di situ tertulis pula sebuah nama lengkap majikanku juga nama lainnya yang dihubungkan oleh tanda sama dengan.
Sabda = Sapta Hartanto
Umur 50 tahun
Sejak kedatangan kedua polisi itu, aku melancarkan penyelidikanku sendiri. Petunjuk pertama yang langsung melintas di pikiranku adalah surat-surat yang ia simpan di laci meja kerjanya.
Majikanku menyebut dirinya penulis. Namun, aku tidak pernah menemukan tulisan atas namanya. Tidak ada jejak tulisan lain selain surat-surat yang ia tumpuk di dalam laci. Aku tidak tahu sejak kapan beliau punya hobi menulis surat seperti itu.
Di atas tumpukan surat itu terdapat beberapa lembar surat dalam posisi berantakan. Aku jadi teringat saat ia mengomeliku waktu petugas kepolisian itu datang. Aku mengumpulkan surat-surat itu dan mencoba mengurutkannya. Total ada 8 delapan lembar. Surat-surat ini belum menunjukkan apa-apa, gumamku.
Tak puas dengan penemuan itu, aku memutuskan untuk mengeluarkan tumpukan surat-surat lainnya dari laci dan membacanya. Mataku bergerak cepat memindai setiap deretan huruf yang terjalin menjadi kalimat-kalimat pengakuan yang menyedihkan. Tumpukan kertas ini buka surat biasa, melainkan catatan harian sang majikan atas perbuatan kejinya 25 tahun silam. Aku akhirnya mengetahui gadis bernama Kirana. Gadis tionghoa bermarga Liem yang sempat menawan hatinya. Kerusuhan 98 menggelapkan matanya dan mengubahnya menjadi serigala yang menerkam dan mengoyak harga diri gadis malang itu bersama gerombolan serigala lainnya.
"Sedang apa kau Rin?" Suara berat majikanku menggetarkan tubuhku. Aku tertangkap basah. Suara polisi buncit mendadak terputar kembali dan terdengar jelas di telingaku. Sepertinya aku akan menjadi santapan lezat serigala ini.
Jangan lewatkan: Sepasang Mata di Kebun Karet
     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H