Majikanku menyebut dirinya penulis. Namun, aku tidak pernah menemukan tulisan atas namanya. Tidak ada jejak tulisan lain selain surat-surat yang ia tumpuk di dalam laci. Aku tidak tahu sejak kapan beliau punya hobi menulis surat seperti itu.
Di atas tumpukan surat itu terdapat beberapa lembar surat dalam posisi berantakan. Aku jadi teringat saat ia mengomeliku waktu petugas kepolisian itu datang. Aku mengumpulkan surat-surat itu dan mencoba mengurutkannya. Total ada 8 delapan lembar. Surat-surat ini belum menunjukkan apa-apa, gumamku.
Tak puas dengan penemuan itu, aku memutuskan untuk mengeluarkan tumpukan surat-surat lainnya dari laci dan membacanya. Mataku bergerak cepat memindai setiap deretan huruf yang terjalin menjadi kalimat-kalimat pengakuan yang menyedihkan. Tumpukan kertas ini buka surat biasa, melainkan catatan harian sang majikan atas perbuatan kejinya 25 tahun silam. Aku akhirnya mengetahui gadis bernama Kirana. Gadis tionghoa bermarga Liem yang sempat menawan hatinya. Kerusuhan 98 menggelapkan matanya dan mengubahnya menjadi serigala yang menerkam dan mengoyak harga diri gadis malang itu bersama gerombolan serigala lainnya.
"Sedang apa kau Rin?" Suara berat majikanku menggetarkan tubuhku. Aku tertangkap basah. Suara polisi buncit mendadak terputar kembali dan terdengar jelas di telingaku. Sepertinya aku akan menjadi santapan lezat serigala ini.
Jangan lewatkan: Sepasang Mata di Kebun Karet
     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H