Baca juga: Mara dan TragediÂ
***
"Pak, ada yang mencari Anda," kataku.
Majikanku terlihat panik dan ketakutan. Ia memasukkan sesuatu ke laci meja kerjanya dengan buru-buru. Aku tahu itu adalah surat-surat yang akhir-akhir ini menyita banyak perhatiannya. Aku belum pernah membacanya karena aku menghormati majikanku ini. Kalau ia peduli dengan surat-surat itu, barang tentu itu berarti baginya.
"Sudah berapa kali kubilang. Kalau ada yang mencariku, bilang saja aku tidak ada di rumah." Wajah majikanku geram.
Aku menuruni tangga yang terhubung ke ruang tamu. Di sana telah menunggu dua orang pria berseragam kepolisian. Aku sempat berhenti dan memperhatikan gerak-gerik mereka. Mereka seperti sedang memindai seluruh sudut rumah seperti mencari sesuatu. Barulah sesaat kemudian, ketika kepala salah satu dari polisi itu mulai memutar ke arahku, aku berpura-pura berjalan biasa.
Apa yang sebenarnya mereka cari? batinku. Teh hangat kutawarkan pada mereka juga sepertinya tidak mereka sentuh sama sekali.
"Maaf, majikan saya ternyata sedang keluar. Saya belum diberitahu," kataku mengikuti perintah majikanku.
Mata mereka menatap lurus menembus bola mataku walau sebentar. Aku harus segera menguasai diri. Mungkin mereka sudah mencium aroma kebohongan dari mulutku atau melihatnya dari mataku.
"Boleh kami tahu, sudah berapa lama Anda bekerja di sini?"
Aku tak langsung menjawab. Pertanyaan ini sudah mengarah pada interogasi. Walau aku hanya pembantu bukan berarti aku buta soal beginian. "Ini sebenarnya ada apa ya? Apakah ada sesuatu yang perlu saya tahu terlebih dahulu terkait kedatangan bapak-bapak ke sini?"