Semua orang tahu kalau aku sudah berteman dengan hitam sejak ke luar dari rahim Mama. Bahkan keluarga besarku masih ingat raungan Mama yang katanya sampai menembus dinding ruang persalinan saat tahu aku buta. Ia mungkin tidak paham bahwa tangisan pertamaku bukan karena harus keluar dari kenyamanan di dalam sana, melainkan karena dunia ini sama gelapnya dengan rahimnya.
Dulu aku sudah berdamai dengan gelap itu sendiri. Seluruh indraku lebih peka dan sangat bisa diandalkan, kecuali mata tentunya. Kalau orang bertanya, apa aku menyesal dengan keadaanku? Jawabku tidak. Toh, aku tidak bisa membandingkan. Aku sudah nyaman dan kuyakin semua orang di dunia ini berusaha mencari kenyamanan mereka. Tak heran jika mereka mau melakukan apa pun untuk itu. Jadi pikirku, merekalah yang sedang tidak nyaman sehingga terus mempertanyakan keadaanku. Kata Mama, kebanyakan orang malah memilih menutup mata dari masalah yang bukan urusan mereka. Itu pasti supaya kenyamanan mereka tidak terusik, bukan?
Namun sekarang, sepertinya aku harus berpikir ulang sejak mimpi buruk bulan lalu. Tiba-tiba area mataku terasa sangat gatal dan perih. Aku terus mengucek-ngucek mataku untuk meredakannya, tetapi makin menjadi-jadi setelah aku merasa ada sesuatu yang bergerak, merayap di kedua bola mata itu. Ingin rasanya aku mencungkil kedua bola mata yang tak berguna itu. Aku meronta-ronta, limbung dan mulai menabrak benda-benda yang ada di kamarku. Mama dan Papa berusaha menenangkan tetapi perih di mataku ini benar-benar membuatku belingsatan. Aku mendengar Papa berlari ke luar kamar, menelepon rumah sakit atas perintah Mama.
Paginya, sesuatu yang tak biasa masuk ke dalam mataku. Masuk menembus jendela kamar. Cahayakah?
Aku mengerjap-ngerjap. Awalnya terlihat samar lalu kemudian aku melihat sesuatu yang membuatku melambung. Inikah yang mereka sebut warna? Indah sekali. Aku tak percaya dengan apa yang kulihat, aku kegirangan dan berteriak memanggil Mama dan Papa.
"Aku bisa melihat. Aku bisa melihat. Ma, Pa, aku bisa melihat." Aku mengulang kata-kata itu.â €
Dua orang paruh baya segera menghambur ke arahku. Mereka juga sama terkejutnya denganku. Mama memelukku dan menciumi kepalaku. Kulihat mata Papa berkaca-kaca, kemudian bergabung bersama kami. Bagi kami ini adalah keajaiban. Mama langsung mengenalkan warna-warna yang ada di kamarku. Katanya, aku harus tahu sebab warna bisa jadi identitas sesuatu.
Setelah aku bisa melihat, aku makin sering bermimpi. Mimpi yang jauh berbeda. Seperti menonton film, aku bisa melihat warna dan bentuk benda-benda yang ada di depan mataku, termasuk...tepat di depanku, seorang perempuan lusuh menatapku tajam. Merah. Merah di tubuhnya adalah darah. Kata Mama merah seperti itu mengerikan. Tidak sedikit yang takut dengan merah itu, nyatanya aku salah satunya.
Matanya membelalak lalu kemudian mukanya memelas. Wajahnya basah entah karena keringat atau air matanya. Ia meminta tolong. Tolong, temukan aku, katanya. Dengan tangannya yang bersimbah merah darah, ia mencoba meraihku. Aku begitu takut sampai-sampai tubuhku menjadi kaku. Aku tak bisa bergerak, bahkan ketika ada sosok yang mendekati perempuan itu dengan kapak di tangannya. Kapak itu meneteskan cairan yang tampaknya masih segar. Kapak itu menerjang tubuh perempuan berulang kali hingga erangan perempuan itu perlahan berganti menjadi desis. Desisan itu membentuk sebuah kalimat yang terucap dengan lambat. Temukan aku. Mata itu akan menuntunmu.
Tubuhku mengejang hebat dan mimpi itu berlalu begitu saja. Masalahnya, semenjak itu sesuatu yang aneh telah terjadi. Mata ini tidak sepenuhnya milikku. Sesuatu telah mengendalikannya, memaksaku untuk melihat sesuatu yang tidak dilihat orang lain. Pembunuh itu.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!