Mohon tunggu...
BANYU BIRU
BANYU BIRU Mohon Tunggu... Guru - Guru | Pecandu Fiksi

Orang yang benar-benar bisa merendahkanmu adalah dirimu sendiri. Fokus pada apa yang kamu mulai. Jangan berhenti, selesaikan pertandinganmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tabungan Akhirat

17 Oktober 2022   13:52 Diperbarui: 17 Oktober 2022   14:13 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cahaya di mata Bonar semakin menyala, dengan penuh semangat.  Ia mulai mulai bercerita tentang seorang koruptor yang sempat jadi bahan perbincangan dunia. Koruptor yang berniat menyuap Tuhan dengan membawa uang di peti matinya.

"791 juta Ju! Nah, kau bayangkanlah itu. Cuma kepalanya aja yang nongol saking penuhnya petinya."

Kau memperhatikan penuturan Bonar tetapi kau tidak bereaksi apa-apa. Sekarang kau memandangi aspal yang terus ditimpa hujan. Kau juga memperhatikan uap-uap yang timbul karenanya.

Kau menarik napas. "Aku tak suka hujan," katamu memberitahu. Sekarang giliranmu yang bercerita. Hujan sekarang datang dan pergi seenaknya saja. Tanpa bermaksud menjadi peramal cuaca atau seorang pawang hujan, sekarang hujan sangat tidak terprediksi. Kau buru-buru mengklarifikasi bahwa tak suka nukan berarti membenci. Kau memberikan alasan yang berhubungan dengan keberadaan kalian saat ini, di gubuk kecil tempat berteduh kalian. Semua tidak berjalan sesuai dengan rencana.

"Tunggu! Tetapi sebenarnya kita tidak bisa menyalahkan hujan. Toh, hujan tidak memilih turun di mana dan kapan." Bonar mencoba menanggapi dengan serius. Walaupun itu bukan dirinya, ia tahu Anju ingin menyampaikan sesuatu.

"Seandainya, betul kita bisa menabung dan menyuap Tuhan di akhirat nanti. Mungkin kita bisa menyogok Tuhan dengan amal baik yang sudah pernah kita lakukan, yah, setidaknya untuk memberhentikan hujan ini sebentar."

Bonar terdiam. Kau juga. Kalian kembali menatap aspal yang terus ditimpa air hujan. Hujan semakin deras.

Demi mencairkan suasana yang mulai beku seiring dengan angin kencang yang membuat bulu-bulu di lengan tampak beridri, kau kembali membuka percakapan, menghilangkan kesan kaku dan melankolis di antara kalian berdua. Kau kembali menyinggung tentang perasaan melayang disaat jalan tergenang. Kau tahu Bonar tidak akan menanggapinya dengan serius. Kalian mulai bertanya jawab, berdebat, sesekali tertawa renyah karena pembicaraan semakin keluar jalur.

Hujan merasa terabaikan. Butir-butirnya mulai mengecil. Matahari sudah mulai menampakkan diri dari balik awan yang masih kelabu. Kau mengangkat tanganmu, hendak merasakan apakah langit sudah kering. Benar saja, tanganmu tak lagi basah.

Motor melaju dengan kecepatan sedang. Kau dan Bonar melanjutkan perjalanan. Semua orang tampaknya sudah mulai beraktivitas normal. Hiruk pikuk kota sudah mulai kembali terasa. Bukan Bonar namanya kalau mengendarai motor tidak dengan kecepatan tinggi. Ia menarik gas tiba-tiba sehingga refleksmu bekerja. Kau memegang jaket pada bagian pinggangnya. Menyadari hal itu, Bonar semakin tertantang. Pedal gas ditariknya dengan penuh, menyelip di antara kendaraan roda dua atau roda empat yang lain.

"Kau lihat? Bukan air hujan yang bikin terbang, tetapi aku," teriak Bonar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun