BLURB
Seorang profesor sastra di Universitas Cambridge, Inggris, tewas ditabrak mobil saat sedang membaca buku.Â
Rekannya mendapati sebuah buku aneh dikirim ke alamatnya tanpa sempat ia terima: sebuah terjemahan berbahasa Spanyol dari karya Joseph Conrad yang dipenuhi serpihan-serpihan semen kering dan dikirim dengan cap pos Uruguay.Â
Penyelidikan tentang asal usul buku aneh itu membawanya (dan membawa pembaca) memasuki semesta para pecinta buku, dengan berbagai ragam keunikan dan kegilaannya!
"Kisah tak terlupakan tentang dunia sastra, perpustakaan, dan kecintaan akan buku. Sebuah novel untuk dibaca ulang berkali-kali." --- Critiques Libres.
"Buku tipis yang bisa menghantui pembaca jauh sesudah ditutup." --- New York Times
IDENTITAS BUKU
Judul buku: Rumah Kertas
Penulis: Carlos Mara Domnguez
Penerjemah: Ronny Agustinus
Penerbit: Marjin Kiri
Jumlah halaman: 76
Cetakan: Pertama (September, 2016)
Â
ULASAN BUKU
Ingin membaca buku yang tidak terlalu tebal namun sarat makna? Aku akan merekomendasikan salah satu buku, yaitu Rumah Kertas.Â
Bercerita tentang sosok "Aku" yang mendapati sebuah paket berisi buku yang dikirimkan ke alamat temannya, Bluma, seorang profesor yang meninggal akibat tertabrak saat sedang membaca buku.Â
Tokoh Aku adalah sosok yang menggantikan Bluma di Jurusan Sastra Amerika Latin, memakai ruang kantornya dan mengajarkan mata kuliahnya.Â
Suatu ketika ada sebuah paket untuk Bluma yang dikirim seseorang ke alamat kantornya tersebut, berisi sebuah novel dengan judul The Shadow-Line karya Joseph Conrad yang dipenuhi dengan semen yang sudah mengeras. Hal tersebut memancing rasa penasaran tokoh Aku dan dimulailah perjalanan untuk mencari tahu asal-usul buku tersebut.
Sementara tokoh lain, Carlos Brauer adalah seorang yang kenal dekat dengan Bluma. Pecinta buku yang gila sampai rumahnya dipenuhi oleh ribuan buku.
Buku juga memengaruhi kewarasannya, saat ia harus mengelompokkan buku berdasarkan kekerabatan. Dia juga tidak meletakkan secara bersebelahan buku yang penulisnya bermusuhan.
Rumah kertas adalah buku yang tepat bagi para pecinta buku, Domnguez juga menceritakan tentang tipe-tipe pecinta buku, diantaranya seorang kolektor buku (bibliofilia) yang mengagumi buku seperti suatu objek yang indah.Â
Para bibliofilia tidak jarang rela mengeluarkan uang untuk mengoleksi berbagai macam jenis buku dengan edisi terbatas dan langka.Â
Sedangkan lainnya, adalah para kutu buku tulen yang tidak hanya sekedar membeli dan dikoleksi, tetapi sanggup mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk buku yang menyita waktu mereka berjam-jam hanya untuk mempelajari dan memahaminya.
Lewat buku ini Domnguez juga menyampaikan kritik sosial, seperti gaya merendah yang sebenarnya hanya omong kosong, seperti pada kutipan:
"... kita pajang buku-buku kita ibarat otak kita sedang dikuak lebar-lebar untuk diteliti, sambil mengutarakan alasan-alasan omong kosong dan basa-basi sok merendah soal jumlah koleksi yang tak seberapa"
Penulis ingin menyampaikan bahwa kesombongan tidak selalu diungkapkan dengan hal-hal besar, tetapi dapat juga dengan mengecilkan hal-hal yang nyatanya memang besar. Khusus untuk dunia kepenulisan, Domnguez juga menyindir soal penerbit dan diskusi buku.Â
Buku yang diterbitkan dari penerbit indie cenderung memperlakukan naskah dengan sungguh-sungguh ketimbang penerbit mayor yang bukunya bersinar selama sebulan lantas menghilang setelah berjejer dengan buku-buku baru. Banyak juga penulis yang menerbitkan buku, tetapi hanya sedikit yang mendiskusikannya.
Rumah kertas bagaikan cermin bagi para pecinta sastra. Banyak hal yang begitu relate dengan kegiatan membaca kita.Â
Sama halnya seperti kebanyakan buku yang bercerita tentang "buku" pada umumnya, Rumah Kertas juga banyak menyajikan judul-judul buku yang mungkin masih asing bagi pembaca, namun di situlah letak keistimewaannya.Â
Kita jadi lebih banyak mengetahui buku-buku indah dari mancanegara. Selain itu, buku ini juga menghadirkan plot twist yang dapat mengejutkan pembaca.
Sungguh melalui sebuah buku dapat merubah kehidupan seseorang, seperti halnya Bluma dan Brauer, dan mungkin juga para pecinta buku lainnya.
Sebagai pembaca kita saling memata-matai perpustakaan kawan satu sama lain, sekalipun hanya di waktu senggang. Kadang kita berharap menjumpai buku yang ingin kita baca tapi tidak kita punya, atau mencari tahu apa yang sudah dilahap oleh kutu buku di seberang kita ini. Kita tinggalkan teman kita duduk di ruang tengah dan saat kembali, mendapatinya tengah berdiri di sana sambil mengendus buku-buku kita (hlm 10).
Kita lebih suka kehilangan cincin, arloji, payung ketimbang buku yang halaman-halamannya takkan pernah bisa kita baca lagi namun yang tetap terkenang, seperti bunyi judulnya, sebagai emosi yang jauh dan lama dirindu (hlm. 10)
Ada suatu momen tertentu saat kita sudah mengumpulkan begitu banyak buku sampai mereka menembus garis batas tak kasat mata. Yang dulunya menjadi sumber kebanggaan kini menjadi beban, karena sejak saat itu ruang akan senantiasa menjadi masalah (hlm. 11)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI