Mohon tunggu...
Ranto Sibarani
Ranto Sibarani Mohon Tunggu... Advokat/Pengacara -

Ranto Sibarani adalah seorang Advokat/Pengacara. Saat ini sedang menyelesaikan study Pascasarjana Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara. Selain aktif sebagai Konsultan Hukum, juga aktif sebagai Tenaga Ahli di Komisi A DPRD Provinsi Sumatera Utara.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

“Kisah Vampire, Salib, dan Adu Domba di Tano Batak”

5 Juli 2015   14:58 Diperbarui: 5 Juli 2015   14:58 4711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Vampire adalah makhluk imajiner, yang diciptakan manusia yang memiliki daya khayal luar biasa. Bahkan khayalan itu dibuat menjadi nyata, lihatlah betapa banyak sosok vampire yang hadir dalam film-film, baik itu film murahan sampai film Holywood yang berbiaya sangat tinggi. Mereka menghadirkan vampire dalam banyak cerita, sehingga kita benar-benar lupa bahwa sosok penghisap darah itu tidak pernah ada sebelumnya. Bahkan salah satu film Holywood “vampire hunter” menggambarkan bahwa Abraham Lincoln, Presiden ke 16 Amerika Serikat adalah seorang pemburu vampire, dia menyelamatkan negaranya dari vampire penghisap darah.

Vampire penghisap darah itu kini benar-benar nyata di Tano Batak. Dia tidak lagi berwujud vampire sebagaimana yang sering ditampilkan dalam cerita film dan novel, dia juga tidak berupa “begu ganjang” hantu yang panjang yang dulu diyakini orang batak sebagai suruhan orang yang memiliki ilmu hitam untuk membuat orang lain sakit bahkan sampai mati. Kini “begu ganjang” sudah dilupakan, karena tidak pernah terlihat dan tidak pernah terbukti membuat penyakit dan membunuh orang.

Adalah sebuah perusahaan bubur kertas yang dulunya bernama Inti Indorayon Utama dan sekarang berganti nama menjadi PT. Toba Pulp Lestari sekarang dianggap sebagai “vampire” di Tano Batak. Perusahaan ini menghisap “darah” orang batak dengan menebangi pohon alam bahkan pohon kemenyan yang terkenal itu, orang batak menyebutnya haminjon, pohon yang konon mengundang para penjajah untuk menguasai nusantara pada jaman dahulu. Kemenyan inilah yang dahulu kala dipersembahkan oleh orang Majus kepada bayi Yesus yang terkenal karena berita kelahirannya ditunggu-tunggu oleh banyak orang.

Vampire TPL terbukti ”menghisap” darah rakyat, selain menebangi pohon yang menghidupi manusia di kawasan danau toba tersebut, banyak nyawa juga telah melayang karena konflik TPL dan masyarakat. Pada Oktober 1987 sebanyak 15 orang penduduk tewas karena longsor di Desa Natumingka, Kecamatan Habinsaran, inilah yang diyakini korban jiwa yang pertama dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh TPL. Selain kekerasan kepada ibu-ibu dan petani yang mempertahankan tanahnya dari rampasan TPL, seorang Hermanto Sitorus, siswa kelas 3 STM tertembak timah panas aparat yang “membela” perusahaan pada tanggal 21 Juni 2000.

Salib dan Prasasti Terimakasih TPL dari HKBP

Sebenarnya orang batak sudah cukup lama mengetahui bahwa perusahaan ini melakukan praktek adu domba terhadap sesama orang batak, dan mereka mencari tahu apa yang bisa membuat perusahaan ini angkat kaki. Sebagaimana vampire yang selalu digambarkan sangat takut dengan “Salib”. TPL juga sangat takut dengan salib yang berwujud gereja orang batak terbesar di Asia yaitu Huria Kristen Batak Protestant atau HKBP yang beranggotakan lebih dari 4,5 juta orang. Namun bukan TPL namanya kalau tidak ahli menghadapi lawannya. Dengan cerdik mereka membuat HKBP tercerai berai sejak tahun 1993, TPL yang saat itu bernama Indorayon disebut-sebut berperan dalam menimbulkan perpecahan umat HKBP dan kerusakan tatanan sosial di Tanah Batak. (Sumber: Buku Orang-orang yang dipaksa kalah, Yayasan Obor Indonesia 2010, Halaman 139-140).

Sejak saat itu HKBP tidak pernah lagi bersuara lantang menentang TPL, bahkan pada tahun 2012 HKBP malah membangun suatu prasasti ucapan terimakasih untuk TPL karena membantu biaya pembangunan kantor HKBP di Pearaja-Tarutung. Pembangunan prasasti ini adalah simbol bahwa lambang salib di HKBP telah takluk ditangan TPL, orang batak tentulah marah, ratusan massa dari empat kabupaten (Taput, Tobasa, Humbang Hasundutan dan Samosir) yang menamakan dirinya “Aliansi Rakyat Korban PT TPL (Toba Pulp Lestari) Tbk” unjukrasa ke Kantor Pusat HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) pada hari Selasa 24/4/2012), prasasti itu sendiri ditandatangani oleh ephorus pada tanggal 12 Februaru 2012. Mereka memprotes keberadaan prasasti tersebut, yel-yel yang digunakan saat itu sangatlah dekat dengan tuduhan bahwa TPL adalah Vampire.

“Kembalikan uang setan, jangan sampai gereja menerima uang setan dan menjadikan setan sebagai kawan” adalah teriakan demonstran yang tekenal kepada HKBP yang saat itu dibawah kepemimpinan ephorus Pdt DR Bonar Napitupulu dan Sekjen WTP. Simarmata. Harus juga diketahui, pembangunan kantor HKBP ini adalah “keberhasilan” Ketua Umum Panitia Jubileum Edwin Pamimpin Situmorang SH MH yang saat itu “dipilih” untuk merayakan ulangtahun HKBP ke 150 tahun, dia berhasil membuat TPL dekat dan mendanai pembangunan kantor HKBP. Pada tahun 2014 Edwin Pamimpin mencalonkan diri menjadi anggota DPR RI dari wilayah Tano Batak, namun Edwin Pamimpin gagal duduk di senayan karena suara yang tidak cukup dari Tano Batak.

Orang Batak Membunuhnya, tapi  “Vampire” hidup lagi

Kemarahan orang batak terhadap TPL pernah berhasil menghentikan urat nadi perusahaan bubur kertas tersebut. Aksi demonstrasi yang terus menerus dan gerakan rakyat sistematis menghalangi kegiatan perusahaan membuat Presiden B.J. Habibie menghentikan operasional TPL pada tanggal 19 Maret 1999. Rakyat menang, orang batak menang, TPL tutup, bau busuk pabrik berganti dengan udara segar yang kembali berhembus di wilayah Danau Toba. Produk pertanian rakyat yang sempat  menurun karena limbah dan zat asam pabrik TPL, perlahan mulai naik. Saat itu rakyat menganggap TPL sudah “mati”.

Namun, apa yang dikhayalkan manusia bahwa vampire tidak pernah mati ternyata terjadi juga untuk TPL. Pada tahun 2000, adalah sebuah sidang wakil rakyat atau sidang kabinet yang dipimpin langsung oleh Megawati pada tanggal 10 Mei 2000 membangkitkan kembali mayat TPL. Vampire yang sempat mati ini kembali hidup, rakyat kembali bergerak melawan, namun kekuatan vampire ini terus menerjang, meskipun rakyat menghalang-halanginya, namun dengan kekerasan, intimidasi dan adu domba perusahaan ini berhasil kembali beroperasi menebangi pohon untuk produksi pulp sekitar tahun 2002.

Orang Batak, Adu domba dan Politik Jalan-jalan ala TPL

Adu domba masyarakat paska kerusuhan HKBP terus berlanjut, Ketua Tim Sosialisasi Pengoperasian PT TPL yang juga Menakertrans pada saat itu, Jacob Nuwa Wea di Jakarta, pada hari Selasa, 7/1/2003 menyebut bahwa  PT TPL pantas beroperasi kembali karena mayoritas masyarakat Tobasa, yang jumlahnya lebih dari 300 ribu jiwa, menginginkannya, menurut Jacob yang menolak hanya 300an orang. Kalimat tersebut langsung disambut dengan banyaknya gerakan orang batak yang pro TPL, suatu gerakan yang sarat dengan mobilisasi dana, karena mulai saat itu banyak seminar “berbiaya tinggi” dilangsungkan hanya untuk menunjukkan bahwa TPL telah berubah paradigma. Bahkan TPL sejak saat itu melakukan pergantian komisaris dan direktur perusahaan yang kemudian di dominasi oleh orang batak, beberapa diantaranya bahkan merupakan mantan kepala daerah di Kawasan Danau Toba. Suatu politik adu domba yang sangat “baik”.

Beberapa orang batak di jajaran utama TPL diantaranya menjadi Komisaris adalah  Drs. Sabam Leo Batubara dan Lundu Panjaitan, S.H., M.A. Beberapa diantaranya yang menjadi direktur adalah  Juanda Panjaitan, S.E. dan  Drs. Leonard Hutabarat.  Orang-orang batak inilah yang kerap dikirim oleh perusahaan sebagai wakilnya dalam menghadapi setiap gerakan rakyat yang menolak kehadiran TPL di Tano Batak. Sebagaimana kita ketahui, struktur adat orang batak akan saling berkelindan antara marga yang satu dengan marga yang lain. Karena kuatnya unsur adat ini, tidak jarang sesama marga batak tidak akan melanjutkan perlawanan terhadap TPL karena ada rekan semarganya yang menjadi pejabat di perusahaan tersebut, cerdas bukan?. Orang Batak terpecah, TPL maju terus, dan tidak berhenti memecah belah orang batak.

Orang-orang batak ini sebenarnya dari awal sudah sadar bahwa kehadiran TPL hanya akan merusak alam di Tano Batak, lebih jauh bahkan merusak tatanan sosial yang sudah terbentuk selama ini. Perlawanan kerap berubah arah, demikianlah hakikat kehidupan diatas sistem kapitalisme ini. Kuatnya perlawanan rakyat terhadap TPL tentulah menjadi momen yang baik bagi oportunis yang selalu melihat peluang dari gerakan rakyat. Saat TPL dituntut rakyat untuk ditutup, muncul banyak Yayasan yang melakukan kampanye kepeduliannya terhadap danau toba. Teori Max Weber yang menyatakan kebangkitan semangat kapitalisme sangat dekat dengan etika protestan mendekati kebenarannya, (Etika Protestan dan semangat Kapitalisme, Max Weber, Pustaka Promothea 2001). Siapa yang tidak tahu kalau orang batak itu kebanyakan protestan yang tergabung dalam HKBP. Namun kapitalisme batak kali ini hanya memperkaya taipan Sukanto Tanoto pemilik TPL, dan merusak Tano Batak, merusak lingkungan di kawasan danau toba.

Dengan dalih kerusakan lingkungan tersebut, puluhan yayasan kemudian terbentuk dengan “semangat” menjaga kawasan lingkungan danau toba. Diantaranya Yayasan Perhimpunan Pencinta Danau Toba, Yayasan ini bahkan selanjutnya ditugasi untuk mengaudit PT IIU atau TPL. Hasil audit Yayasan inilah yang salahsatunya digunakan pemerintah untuk membuka kembali operasional TPL pada tahun 2000. Yayasan ini memang sangat baik dalam “mengemas” kepeduliannya terhadap danau toba, dari seluruh pernyataan Yayasan tersebut tentang kerusakan lingkungan danau toba, tidak satupun yang mengaitkannya dengan penebangan pohon yang dilakukan TPL. Salah seorang tokoh Yayasan tersebut adalah Aldentua Siringoringo, seorang pengacara kondang di Jakarta yang juga mencalonkan diri pada pemilu legislatif tahun 2014 untuk DPR RI, namun serupa Edwin Pamimpin, langkahnya tidak berhasil mendulang suara dari Tano Batak.

Momentum kemenangan Joko Widodo atau Jokowi sebagai Presiden yang meraih masyoritas suara orang batak kembali dijadikan momentum untuk menutup TPL. Orang batak kembali melakukan kampanye dan aksi demontrasi untuk mendesak Jokowi yang terkenal berpihak kepada rakyat dan peduli lingkungan untuk mengusir “vampire” TPL dari Tano Batak. Awal tahun 2015 orang-orang batak yang marah tersebut membangun suatu aliansi yang bernama Jalin d Toba yang berhasil mendesak DPRD Sumut untuk melakukan Rapat Dengar Pendapat  (RDP) dengan memanggil perusahaan perusak lingkungan tersebut, akhirnya terselenggaralah RDP pada tanggal 7 Februari 2015.

Untuk menjadi juru bicara yang mewakili  Jalin d Toba pada RDP tersebut ditunjuklah Togu Simorangkir, yang cukup dikenal giat menggalang pengadaan kapal belajar untuk anak-anak di kawasan danau toba melalui Yayasan Alusi Tao Toba. Togu bahkan membuat even berenang berbagi demi penggalangan dana untuk membeli kapal yang direncanakan tersebut. Aldentua Siringoringo tokoh Yayasan Pecinta Danau Toba tesebut,  disebut-sebut telah menyumbangkan dana sekitar 800 juta rupiah untuk pengadaan kapal belajar tersebut.

Pada tanggal 29 Mei 2015, saat TPL menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham di gedung Uniland-Medan, masyarakat dan Jalin d Toba kembali melakukan aksi demonstrasi menolak kehadiran TPL di Tano Batak, Togu Simorangkir tidak terlihat ikut dalam aksi demonstrasi tersebut. Sejak ada informasi Aldentua memberikan sumbangan pengadaan kapal belajar, Togu Simorangkir sudah tidak pernah ikut dalam aksi menolak TPL, bahkan ia tidak menyatakan dukungan sedikitpun melalui media sosialnya sebagaimana yang dia lakukan sebelumnya untuk aksi-aksi Jalin d Toba. Padahal rekan dekat Togu yang banyak membantu persiapan even berenang berbagi tersebut, Sebastian Hutabarat masih terlihat dalam aksi demonstrasi menolak TPL pada tanggal 29 Mei 2015 tersebut, meskipun sebelumnya Sebastian ikut dalam kegiatan Yayasan Pecinta Danau Toba, ia tetap kritis dan menolak predator perusak lingkungan tersebut.

Tidak sampai disitu saja, melalui perpanjangan tangannya, TPL bahkan berhasil mengajak “jalan-jalan” hampir lebih dari 37 organisasi yang “mengaku” sebagai perwakilan serikat buruh di Sumatera Utara. Tidak tanggung-tanggung, mereka menyebut diri sebagai “Aliansi Pengusaha, Pekerja/Buruh Tertindas Sumatera Utara atau Apebdas-SU”. Perwakilan buruh yang berhasil diajak jalan-jalan ke TPL ini kemudian mengaku bahwa TPL sangat menjaga kelestarian lingkungan dan mereka melakukan aksi tandingan mendukung TPL saat masyarakat mendemo Rapat Pemegang Saham perusahaan tersebut pada 29 Mei 2015 di Uniland.

Diantara serikat buruh yang menandatangani pengakuan ini adalah K. SPSI Sumut, SBSI 1992 Sumut, K.SBSI Sumut, SBSI Sumut, DPP APINDO Sumut, DP KOT Apindo Medan, DP Kab Apindo Deli Serdang, DPN SPN Sumut, SP. Kep SPSI Medan, SP. Lem SPSI Medan, SP. KKAHUT SPSI Medan, SP. KEP SPSI Medan, SP. RTMM SPSI Medan, SPTI Kota Medan, SBSI 1992 Kota Medan, KBI, GSBI, SBPI, SBSI 1992 Deli Serdang, SBMI Mandiri, SBSU, SPSI KAHUT Deli Serdang, SBBI, SBSI Kamiparho Deli Serdang, SBSI Hukatan Deli Serdang, SBSI Deli Serdang, SPN Deli Serdang, SBSI 1992 Serdang Bedagai, GASPERMINDO dan SBMI Sumut.

Cukup mudah ditebak, gerakan tersebut ternyata bukanlah gerakan yang diketahui oleh anggota dan pengurus masing-masing organisasi. Dari 37 nama organisasi, hanya 8 orang penandatangan yang  berani mencantumkan nama jelasnya di dokumen tersebut (dokumen ada pada penulis), diantaranya adalah Bambang Hermanto yang beberapa waktu lalu sempat mencalonkan diri menjadi Wakil Bupati Deli Serdang namun tidak terpilih, April Waruwu, Bahari, HM Yunan, Usaha Tarigan, Elfianti T, Roni Ramadani dan Baginda Harahap.  Dokumen tersebut mengaku bahwa mereka merupakan aliansi pengusaha tertindas, menjadi pertanyaan selanjutnya, “siapakah yang menindas pengusaha ini?”

Organisasi yang ikut aksi mendukung TPL ini dikemas dengan tuntutan harga gas dan penolakan mereka terhadap rencana pembentukan Pansus DPRD untuk Danau Toba dan kebanyakan organisasi tersebut dari Kabupaten Deli Serdang, mudah ditebak, organiser aksi tersebut tentulah orang-orang yang berdomisili di sekitar kabupaten tersebut. Lagipula, apa korelasinya harga gas dengan kawasan danau toba. Beberapa organisasi yang namanya dicatut dalam dokumen tersebut kemudian melakukan konfirmasi tidak ikut dalam aksi dukung TPL tersebut, diantaranya GSBI melalui Ahmad Syah dan SBMI melalui Rintang Berutu.

Gerakan adu domba tidak berhenti sampai disitu, TPL kemudian berhasil mengajak Nahason Gea dari PMKRI Medan dan Ruben Panggabean yang saat itu masih menjabat Ketua Cabang GMKI Medan mengunjungi perusahaan tersebut bersama dengan rekan-rekannya yang kebanyakan perempuan. Padahal aktivis GMKI Medan pada saat yang sama sedang membangun Toba Youth, organisasi yang sangat menolak keberadaan TPL, GDS, Aquafarm, Allegrindo, MIL dan Japfa. Toba Youth dibangun oleh Swangro Lumban Batu, James Ambarita, Lundu Sinurat,  Ruben Panggabean, dll. Tidak lama setelah kunjungan Ruben, muncullah berita bahwa GMKI Medan menilai TPL tidak merusak lingkungan pada tanggal 1 Juni 2015, berita ini kemudian dianulir oleh Ruben setelah terjadi dinamika di internal GMKI Medan yang sempat memberhentikan sementara Ruben sebagai ketua karena pernyataannya yang melukai hati masyarakat tersebut, padahal banyak yang masih ingat GMKI melalui kongresnya tahun 2004 memutuskan untuk berpihak kepada rakyat dalam konflik TPL.

TPL tidak berhenti sampai disitu, beberapa kalangan jurnalis juga diundang untuk mengunjungi pabrik bubur kertas tersebut. Hal yang sama kemudian terjadi, paska kunjungan, media cetak dan elektronik di Sumatera Utara dipenuhi dengan pemberitaan bahwa TPL tidak merusak lingkungan yang dinyatakan oleh jurnalis yang jalan-jalan ke TPL tersebut. Politik jalan-jalan ini menyebar dengan cepat, mungkin saja berhubungan dengan anjloknya harga saham TPL sehingga membuat TPL panik. Tidak lama kemudian, beberapa orang yang mengaku perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa atau BEM Sumatera Utara juga berhasil diajak TPL untuk jalan-jalan ke pabrik yang baunya sudah terasa puluhan kilometer dari pabriknya tersebut. Muhammad Iqbal dan Fajar Aritonang kemudian ramai diberitakan di media sosial mengaku sebagai perwakilan BEM dan menyatakan bahwa TPL tidak merusak lingkungan, berita ini kemudian diklarifikasi oleh keduanya melalui media elektronik setelah keduanya mendapat kecaman di media sosial.

Tidak hanya dikalangan buruh dan mahasiswa saja, ternyata politik adu domba TPL juga masuk dalam ranah legislatif. Anggota DPRD Sumut Mustofawiyah Sitompul yang berasal dari partai Demokrat terlibat perseteruan dengan rekan separtainya, yang disebut-sebut berkaitan dengan rencana pembentukan Pansus DPRD terkait pencemaran danau toba. Ibarat Vampire, perusahaan ini menjadikan siapa saja yang bersentuhan dengannya menjadi rekannnya. Penulis menjadi teringat dengan kalimat karyawan salah satu perusahaan perusak lingkungan di kawasan danau toba yang pernah berkata  bahwa bagi mereka tidak ada lawan, namun mereka menganggap bahwa semua yang menolak mereka adalah kawan yang tertunda. Mungkin maksud dia adalah siapapun yang berhasil diajak jalan-jalan akan menjadi kawan. Sebagaimana vampire, siapapun yang berhasil “digigit” akan menjadi vampire juga, dan akan menggigit yang lainnya, berhati-hatilah, yakinkan diri, menebang pohon terus menerus itu adalah merusak lingkungan.

#ransibar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun