Orang Batak, Adu domba dan Politik Jalan-jalan ala TPL
Adu domba masyarakat paska kerusuhan HKBP terus berlanjut, Ketua Tim Sosialisasi Pengoperasian PT TPL yang juga Menakertrans pada saat itu, Jacob Nuwa Wea di Jakarta, pada hari Selasa, 7/1/2003 menyebut bahwa PT TPL pantas beroperasi kembali karena mayoritas masyarakat Tobasa, yang jumlahnya lebih dari 300 ribu jiwa, menginginkannya, menurut Jacob yang menolak hanya 300an orang. Kalimat tersebut langsung disambut dengan banyaknya gerakan orang batak yang pro TPL, suatu gerakan yang sarat dengan mobilisasi dana, karena mulai saat itu banyak seminar “berbiaya tinggi” dilangsungkan hanya untuk menunjukkan bahwa TPL telah berubah paradigma. Bahkan TPL sejak saat itu melakukan pergantian komisaris dan direktur perusahaan yang kemudian di dominasi oleh orang batak, beberapa diantaranya bahkan merupakan mantan kepala daerah di Kawasan Danau Toba. Suatu politik adu domba yang sangat “baik”.
Beberapa orang batak di jajaran utama TPL diantaranya menjadi Komisaris adalah Drs. Sabam Leo Batubara dan Lundu Panjaitan, S.H., M.A. Beberapa diantaranya yang menjadi direktur adalah Juanda Panjaitan, S.E. dan Drs. Leonard Hutabarat. Orang-orang batak inilah yang kerap dikirim oleh perusahaan sebagai wakilnya dalam menghadapi setiap gerakan rakyat yang menolak kehadiran TPL di Tano Batak. Sebagaimana kita ketahui, struktur adat orang batak akan saling berkelindan antara marga yang satu dengan marga yang lain. Karena kuatnya unsur adat ini, tidak jarang sesama marga batak tidak akan melanjutkan perlawanan terhadap TPL karena ada rekan semarganya yang menjadi pejabat di perusahaan tersebut, cerdas bukan?. Orang Batak terpecah, TPL maju terus, dan tidak berhenti memecah belah orang batak.
Orang-orang batak ini sebenarnya dari awal sudah sadar bahwa kehadiran TPL hanya akan merusak alam di Tano Batak, lebih jauh bahkan merusak tatanan sosial yang sudah terbentuk selama ini. Perlawanan kerap berubah arah, demikianlah hakikat kehidupan diatas sistem kapitalisme ini. Kuatnya perlawanan rakyat terhadap TPL tentulah menjadi momen yang baik bagi oportunis yang selalu melihat peluang dari gerakan rakyat. Saat TPL dituntut rakyat untuk ditutup, muncul banyak Yayasan yang melakukan kampanye kepeduliannya terhadap danau toba. Teori Max Weber yang menyatakan kebangkitan semangat kapitalisme sangat dekat dengan etika protestan mendekati kebenarannya, (Etika Protestan dan semangat Kapitalisme, Max Weber, Pustaka Promothea 2001). Siapa yang tidak tahu kalau orang batak itu kebanyakan protestan yang tergabung dalam HKBP. Namun kapitalisme batak kali ini hanya memperkaya taipan Sukanto Tanoto pemilik TPL, dan merusak Tano Batak, merusak lingkungan di kawasan danau toba.
Dengan dalih kerusakan lingkungan tersebut, puluhan yayasan kemudian terbentuk dengan “semangat” menjaga kawasan lingkungan danau toba. Diantaranya Yayasan Perhimpunan Pencinta Danau Toba, Yayasan ini bahkan selanjutnya ditugasi untuk mengaudit PT IIU atau TPL. Hasil audit Yayasan inilah yang salahsatunya digunakan pemerintah untuk membuka kembali operasional TPL pada tahun 2000. Yayasan ini memang sangat baik dalam “mengemas” kepeduliannya terhadap danau toba, dari seluruh pernyataan Yayasan tersebut tentang kerusakan lingkungan danau toba, tidak satupun yang mengaitkannya dengan penebangan pohon yang dilakukan TPL. Salah seorang tokoh Yayasan tersebut adalah Aldentua Siringoringo, seorang pengacara kondang di Jakarta yang juga mencalonkan diri pada pemilu legislatif tahun 2014 untuk DPR RI, namun serupa Edwin Pamimpin, langkahnya tidak berhasil mendulang suara dari Tano Batak.
Momentum kemenangan Joko Widodo atau Jokowi sebagai Presiden yang meraih masyoritas suara orang batak kembali dijadikan momentum untuk menutup TPL. Orang batak kembali melakukan kampanye dan aksi demontrasi untuk mendesak Jokowi yang terkenal berpihak kepada rakyat dan peduli lingkungan untuk mengusir “vampire” TPL dari Tano Batak. Awal tahun 2015 orang-orang batak yang marah tersebut membangun suatu aliansi yang bernama Jalin d Toba yang berhasil mendesak DPRD Sumut untuk melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan memanggil perusahaan perusak lingkungan tersebut, akhirnya terselenggaralah RDP pada tanggal 7 Februari 2015.
Untuk menjadi juru bicara yang mewakili Jalin d Toba pada RDP tersebut ditunjuklah Togu Simorangkir, yang cukup dikenal giat menggalang pengadaan kapal belajar untuk anak-anak di kawasan danau toba melalui Yayasan Alusi Tao Toba. Togu bahkan membuat even berenang berbagi demi penggalangan dana untuk membeli kapal yang direncanakan tersebut. Aldentua Siringoringo tokoh Yayasan Pecinta Danau Toba tesebut, disebut-sebut telah menyumbangkan dana sekitar 800 juta rupiah untuk pengadaan kapal belajar tersebut.
Pada tanggal 29 Mei 2015, saat TPL menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham di gedung Uniland-Medan, masyarakat dan Jalin d Toba kembali melakukan aksi demonstrasi menolak kehadiran TPL di Tano Batak, Togu Simorangkir tidak terlihat ikut dalam aksi demonstrasi tersebut. Sejak ada informasi Aldentua memberikan sumbangan pengadaan kapal belajar, Togu Simorangkir sudah tidak pernah ikut dalam aksi menolak TPL, bahkan ia tidak menyatakan dukungan sedikitpun melalui media sosialnya sebagaimana yang dia lakukan sebelumnya untuk aksi-aksi Jalin d Toba. Padahal rekan dekat Togu yang banyak membantu persiapan even berenang berbagi tersebut, Sebastian Hutabarat masih terlihat dalam aksi demonstrasi menolak TPL pada tanggal 29 Mei 2015 tersebut, meskipun sebelumnya Sebastian ikut dalam kegiatan Yayasan Pecinta Danau Toba, ia tetap kritis dan menolak predator perusak lingkungan tersebut.
Tidak sampai disitu saja, melalui perpanjangan tangannya, TPL bahkan berhasil mengajak “jalan-jalan” hampir lebih dari 37 organisasi yang “mengaku” sebagai perwakilan serikat buruh di Sumatera Utara. Tidak tanggung-tanggung, mereka menyebut diri sebagai “Aliansi Pengusaha, Pekerja/Buruh Tertindas Sumatera Utara atau Apebdas-SU”. Perwakilan buruh yang berhasil diajak jalan-jalan ke TPL ini kemudian mengaku bahwa TPL sangat menjaga kelestarian lingkungan dan mereka melakukan aksi tandingan mendukung TPL saat masyarakat mendemo Rapat Pemegang Saham perusahaan tersebut pada 29 Mei 2015 di Uniland.
Diantara serikat buruh yang menandatangani pengakuan ini adalah K. SPSI Sumut, SBSI 1992 Sumut, K.SBSI Sumut, SBSI Sumut, DPP APINDO Sumut, DP KOT Apindo Medan, DP Kab Apindo Deli Serdang, DPN SPN Sumut, SP. Kep SPSI Medan, SP. Lem SPSI Medan, SP. KKAHUT SPSI Medan, SP. KEP SPSI Medan, SP. RTMM SPSI Medan, SPTI Kota Medan, SBSI 1992 Kota Medan, KBI, GSBI, SBPI, SBSI 1992 Deli Serdang, SBMI Mandiri, SBSU, SPSI KAHUT Deli Serdang, SBBI, SBSI Kamiparho Deli Serdang, SBSI Hukatan Deli Serdang, SBSI Deli Serdang, SPN Deli Serdang, SBSI 1992 Serdang Bedagai, GASPERMINDO dan SBMI Sumut.
Cukup mudah ditebak, gerakan tersebut ternyata bukanlah gerakan yang diketahui oleh anggota dan pengurus masing-masing organisasi. Dari 37 nama organisasi, hanya 8 orang penandatangan yang berani mencantumkan nama jelasnya di dokumen tersebut (dokumen ada pada penulis), diantaranya adalah Bambang Hermanto yang beberapa waktu lalu sempat mencalonkan diri menjadi Wakil Bupati Deli Serdang namun tidak terpilih, April Waruwu, Bahari, HM Yunan, Usaha Tarigan, Elfianti T, Roni Ramadani dan Baginda Harahap. Dokumen tersebut mengaku bahwa mereka merupakan aliansi pengusaha tertindas, menjadi pertanyaan selanjutnya, “siapakah yang menindas pengusaha ini?”