Paska 1998, pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh rejim Orde Baru Soeharto terus dituntut oleh Pembela HAM untuk diungkap? Kasus-kasus pelanggaran HAM berikut ini seluruhnya terjadi pada masa Soeharto, Pembantaian massal 1965-1970, Penembakan Misterius “petrus” 1982-1985, Kasus di Timor Timur Pra Referendum 1974-1999, Kasus DOM di Aceh 1976-1998, Kasus Papua 1966-1998, Peristiwa Tanjung Priok 1984, Kasus Talangsari Lampung 1989, Kasus 27 Juli 1996 penyerbuan kantor PDI, Penculikan aktivis 1998, Penembakan Mahasiswa Trisakti 1998 dan kerusuhan sosial pada bulan Mei 1998. Terbukti bahwa Kasus pelanggaran HAM tersebut kembali bergaung paska lengsernya Soeharto, bukan karena menjelang Pilpres 2009 dan 2014 saja.
Pembela HAM di simpang jalan Pilpres 2014?
Pada Pilpres 2014 ini, seakan-akan pembela HAM berada di persimpangan jalan, banyak analisis menyebutkan bahwa kedua kubu telah dipenuhi oleh sosok-sosok yang diduga kuat terkait dengan pelanggaran HAM yang telah disebutkan diatas. Benarkah demikian? Pertanyaan tersebut dapat dengan mudah kita jawab. Mungkin saja orang-orang yang kita duga terkait pelanggaran HAM pada masa Soeharto dan aktor pembunuhan Munir bersembunyi dibalik kedua Pasangan Calon Presiden, ada Muchdi dan Hendropriyono juga di kubu Jokowi, namun apakah pembela HAM tidak bisa menentukan sikap atas kenyataan tersebut?
Bisa, pertama, pembela HAM pasti menyadari bahwa selama ini tuntutan untuk mengungkapkan pelanggaran HAM terbentur pada kemauan Presiden, Political Will Presiden sebagai Pimpinan negara menentukan kelanjutan proses penyelidikan terhadap terduga pelanggar HAM. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana seorang Jenderal Militer menolak untuk menghadiri panggilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tanpa ada sikap atau desakan dari Presiden sebagai Panglima Tertinggi Militer.
Dengan pendapat tersebut diatas, Presiden akan menjadi kunci utama bagi penyelidikan lanjutan pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia. Siapapun terduga pelanggaran HAM, Komnas HAM dan Institusi negara lainnya akan lebih mudah untuk melakukan penyelidikan jika Presiden yang akan datang bebas dari dugaan pelanggar HAM. Sebagai Panglima Tertinggi Negara, Presiden selanjutnya yang memiliki kemauan tinggi untuk mengabdi kepada massa rakyat luas tentu harus memiliki kemauan politik mengungkap segala Pelanggaran HAM yang pernah terjadi sejak tahun 1965, Presiden bahkan memiliki kekuasaan untuk membentuk Pengadilan HAM. Jika calon presiden sudah tidak menyukai Pengadilan HAM dan menganggapnya sebagai suatu hal yang berlebihan, maka itu adalah suatu isyarat yang harus dibaca secara kritis oleh para pembela HAM.
Dengan demikian, Pembela HAM sebenarnya tidak berada di persimpangan jalan. Pembela HAM tidak akan pernah lupa, bahwa tanpa perintah Panglima Tertinggi, siapapun terduga pelanggar HAM tidak akan pernah menghormati lembaga negara termasuk Komnas HAM. Peranan pembela HAM dalam Pilpres 2014 tentulah mendorong orang-orang yang memiliki kemauan untuk mengungkapkan segala pelanggaran HAM menjadi Panglima Militer Tertinggi di negeri ini.
Dengan demikian, perjuangan para pembela HAM ke depan akan menjadi lebih mudah, mereka tinggal memberikan data-data hasil investigasi selama ini, untuk kemudian direkomendasikan kepada Presiden terpilih. Presiden selanjutnya akan membentuk dan memperkuat institusi yang ada untuk mengusut pelanggaran HAM tersebut. Peluang tersebut hanya mungkin dilakukan oleh seseorang yang tidak terbelit dengan persoalan HAM dalam hidup dan karirnya.
Sebagai penutup, para Pembela HAM yang sudah berhasil mendorong dibentuknya Komnas HAM untuk mengungkapkan segala pelanggaran HAM sudah menyadari ancaman dan berbagai tindakan represif dalam memperjuangkan hal tersebut sejak 1998. Pada Pilpres 2014 Pembela HAM tentu harus bergerak maju untuk menentukan masa depan terungkapnya kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum dilakukan proses peradilan tersebut. Seorang presiden yang punya kemauan politik untuk mengungkapkan pelanggaran HAM tersebut tidak menutup kemungkinan untuk memberikan akses bagi institusi terkait HAM dalam memeriksa siapapun orang yang di duga terlibat, meskipun orang tersebut sekarang berlindung dibalik kekuasaannya, sepanjang Presidennya tidak terkait dengan pelanggaran HAM itu sendiri.
*Tulisan ini juga disebarkan pada Aksi Bersama Mahasiswa Sumut Menolak Lupa Pelanggaran HAM Pada 20 Juni 2014 di Pelataran Kampus UNIMED
Ranto Sibarani
Sekretaris Badan Pengurus Kontras Sumatera Utara.
Koordinator FORSDEM (Forum Organisasi Non Pemerintah Sumatera Utara Untuk Demokrasi).