Oleh : Ranto Sibarani
Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) atau Human Right Defender mau tidak mau akan berhadapan dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 9 Juli 2014 nanti. Seperti apakah Pilpres 2014 ini bagi pembela HAM? Apakah sama dengan Pilpres sebelumnya? Apakah keterlibatan pembela HAM diperlukan pada saat Pilpres?, atau haramkah pelanggaran HAM diungkit menjelang Pilpres?
Pertanyaan-pertanyaan diatas seringkali muncul kepada Pembela HAM, tidak sedikit pula orang yang menggugat dan menuduh pembela HAM hanya ribut soal HAM ketika menjelang Pilpres 2014. Pilpres 2014 kebetulan diikuti oleh Prabowo Subianto, Capres yang diduga terlibat dalam Tim Mawar yang dituduh melakukan penculikan mahasiswa tahun 1998. Pada Pemilu 2009 lalu, Prabowo merupakan pasangan Capres bersama Megawati, banyak pernyataan yang menyebutkan pada saat itu tidak banyak Pembela HAM yang menggugat pelanggaran HAM pasangan calon.
Kandidat Presiden lainnya adalah Joko Widodo yang dibelakangnya juga banyak didukung oleh tokoh militer yang diduga terkait dengan banyak pelanggaran HAM pada masa lalu, hal ini yang membuat perlu ada suatu pedoman bagi pembela HAM dalam menentukan sikap politiknya.
Sejak kapan HAM diributkan?
Hak Asasi Manusia telah menjadi hal penting yang diperhitungkan dalam Undang-Undang di Indonesia sejak diratifikasinya Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial/ICERD, yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999. Kerusuhan rasial dan kerusuhan massa yang melanda Indonesia pada bulan Mei 1998 mendorong pemerintah transisi untuk meratifikasi Konvensi tersebut.
Pembela HAM tidak berhenti sampai disitu saja, setelah rejim Soeharto tumbang pada Mei 1998 kran untuk membuka isu HAM dan demokrasi semakin terbuka. Pembela HAM selanjutnya menuntut Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi instrumen HAM Utama lainnya seperti Protokol Tambahan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik/ ICCPR-OP1, Protokol Tambahan Kedua Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, untuk Penghapusan Hukuman Mati/ICCPR-OP2, dan instrumen-intrumen lainnya. Hal ini membuktikan bahwa pembela HAM menggugat penegakan HAM bukan hanya pada momentum Pilpres saja, namun tetap senantiasa mendorong penegakan HAM paska terbukanya era kebebasan berpendapat setelah Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto dijatuhkan oleh massa rakyat yang di dominasi oleh mahasiswa.
Tuntutan selanjutnya setelah rejim Soeharto adalah ditegakkannya hukum terkait dengan dugaan korupsi dan pelanggaran HAM periode 1965-1998 yang dilakukan oleh pemimpin Orde Baru dan kroninya tersebut. Ironisnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terlebih dahulu melakukan pemeriksaan terhadap kasus korupsi Soeharto dibandingkan memeriksa pelanggaran HAM yang dilakukannya. Kasus korupsi yang disangkakan kepada Soeharto pun akhirnya mandul, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) atas nama HM Soeharto tanggal 11 Mei 2006. Soeharto dijadikan tersangka pada 31 Maret 2000, namun ia tidak pernah hadir di persidangan maupun dalam pemeriksaan lanjutan dengan alasan sakit. Siapapun yang mengerti hukum akan mengernyitkan dahi dengan dikeluarkannya SKP3 tersebut, bagaimana mungkin seorang tersangka kasus Korupsi yang tidak pernah hadir dipersidangan dapat diberikan SKP3.
Tuntutan Demonstran Pembela HAM sebelum dan setelah 1998
Tuntutan utama para demonstran dan pembela HAM pada saat rejim Soeharto berkuasa adalah Turunkan Soeharto, Ciptakan Pemerintahan yang bebas KKN, Cabut Dwi Fungsi ABRI, Cabut UU Politik, Bubarkan MPR/DPR dan lakukan Reformasi Total. Sebagian besar dari tuntutan itu telah berhasil dicapai, misalnya Soeharto mundur pada 21 Mei 1998, terjadi Perubahan pada sistem pemilu, Dwi Fungsi ABRI dicabut, Kuota kursi untuk Fraksi ABRI ditiadakan, Sentralisasi pemerintahan menjadi desentralisasi dan otonomi luas.
Setelah Soeharto turun, tuntutan dominan yang disuarakan oleh demonstran dan Pembela HAM adalah Pembubaran Partai Golkar, Pembersihan unsur Orde Baru di pemerintahan, Adili Soeharto dan kroninya, Usut tuntas penembakan di Trisakti, Semanggi I dan II, Peristiwa Priok, Penculikan oleh Tim Mawar dan banyak tindakan represif lainnya. Semua tuntutan tersebut paling sering muncul dalam setiap aksi massa ke gedung-gedung pemerintahan paska 1998. Kita akhirnya sadar bahwa KontraS melalui figur pembela HAMnya, Munir yang paling terdepan menyuarakan tuntutan tersebut. Munir Said Thalib akhirnya tewas karena diracun pada tanggal 7 September 2004 dalam perjalanan akan melanjutkan studi S2 bidang hukum humaniter di Universitas Utrecht, Belanda.
Paska 1998, pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh rejim Orde Baru Soeharto terus dituntut oleh Pembela HAM untuk diungkap? Kasus-kasus pelanggaran HAM berikut ini seluruhnya terjadi pada masa Soeharto, Pembantaian massal 1965-1970, Penembakan Misterius “petrus” 1982-1985, Kasus di Timor Timur Pra Referendum 1974-1999, Kasus DOM di Aceh 1976-1998, Kasus Papua 1966-1998, Peristiwa Tanjung Priok 1984, Kasus Talangsari Lampung 1989, Kasus 27 Juli 1996 penyerbuan kantor PDI, Penculikan aktivis 1998, Penembakan Mahasiswa Trisakti 1998 dan kerusuhan sosial pada bulan Mei 1998. Terbukti bahwa Kasus pelanggaran HAM tersebut kembali bergaung paska lengsernya Soeharto, bukan karena menjelang Pilpres 2009 dan 2014 saja.
Pembela HAM di simpang jalan Pilpres 2014?
Pada Pilpres 2014 ini, seakan-akan pembela HAM berada di persimpangan jalan, banyak analisis menyebutkan bahwa kedua kubu telah dipenuhi oleh sosok-sosok yang diduga kuat terkait dengan pelanggaran HAM yang telah disebutkan diatas. Benarkah demikian? Pertanyaan tersebut dapat dengan mudah kita jawab. Mungkin saja orang-orang yang kita duga terkait pelanggaran HAM pada masa Soeharto dan aktor pembunuhan Munir bersembunyi dibalik kedua Pasangan Calon Presiden, ada Muchdi dan Hendropriyono juga di kubu Jokowi, namun apakah pembela HAM tidak bisa menentukan sikap atas kenyataan tersebut?
Bisa, pertama, pembela HAM pasti menyadari bahwa selama ini tuntutan untuk mengungkapkan pelanggaran HAM terbentur pada kemauan Presiden, Political Will Presiden sebagai Pimpinan negara menentukan kelanjutan proses penyelidikan terhadap terduga pelanggar HAM. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana seorang Jenderal Militer menolak untuk menghadiri panggilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tanpa ada sikap atau desakan dari Presiden sebagai Panglima Tertinggi Militer.
Dengan pendapat tersebut diatas, Presiden akan menjadi kunci utama bagi penyelidikan lanjutan pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia. Siapapun terduga pelanggaran HAM, Komnas HAM dan Institusi negara lainnya akan lebih mudah untuk melakukan penyelidikan jika Presiden yang akan datang bebas dari dugaan pelanggar HAM. Sebagai Panglima Tertinggi Negara, Presiden selanjutnya yang memiliki kemauan tinggi untuk mengabdi kepada massa rakyat luas tentu harus memiliki kemauan politik mengungkap segala Pelanggaran HAM yang pernah terjadi sejak tahun 1965, Presiden bahkan memiliki kekuasaan untuk membentuk Pengadilan HAM. Jika calon presiden sudah tidak menyukai Pengadilan HAM dan menganggapnya sebagai suatu hal yang berlebihan, maka itu adalah suatu isyarat yang harus dibaca secara kritis oleh para pembela HAM.
Dengan demikian, Pembela HAM sebenarnya tidak berada di persimpangan jalan. Pembela HAM tidak akan pernah lupa, bahwa tanpa perintah Panglima Tertinggi, siapapun terduga pelanggar HAM tidak akan pernah menghormati lembaga negara termasuk Komnas HAM. Peranan pembela HAM dalam Pilpres 2014 tentulah mendorong orang-orang yang memiliki kemauan untuk mengungkapkan segala pelanggaran HAM menjadi Panglima Militer Tertinggi di negeri ini.
Dengan demikian, perjuangan para pembela HAM ke depan akan menjadi lebih mudah, mereka tinggal memberikan data-data hasil investigasi selama ini, untuk kemudian direkomendasikan kepada Presiden terpilih. Presiden selanjutnya akan membentuk dan memperkuat institusi yang ada untuk mengusut pelanggaran HAM tersebut. Peluang tersebut hanya mungkin dilakukan oleh seseorang yang tidak terbelit dengan persoalan HAM dalam hidup dan karirnya.
Sebagai penutup, para Pembela HAM yang sudah berhasil mendorong dibentuknya Komnas HAM untuk mengungkapkan segala pelanggaran HAM sudah menyadari ancaman dan berbagai tindakan represif dalam memperjuangkan hal tersebut sejak 1998. Pada Pilpres 2014 Pembela HAM tentu harus bergerak maju untuk menentukan masa depan terungkapnya kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum dilakukan proses peradilan tersebut. Seorang presiden yang punya kemauan politik untuk mengungkapkan pelanggaran HAM tersebut tidak menutup kemungkinan untuk memberikan akses bagi institusi terkait HAM dalam memeriksa siapapun orang yang di duga terlibat, meskipun orang tersebut sekarang berlindung dibalik kekuasaannya, sepanjang Presidennya tidak terkait dengan pelanggaran HAM itu sendiri.
*Tulisan ini juga disebarkan pada Aksi Bersama Mahasiswa Sumut Menolak Lupa Pelanggaran HAM Pada 20 Juni 2014 di Pelataran Kampus UNIMED
Ranto Sibarani
Sekretaris Badan Pengurus Kontras Sumatera Utara.
Koordinator FORSDEM (Forum Organisasi Non Pemerintah Sumatera Utara Untuk Demokrasi).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H