Seperti setan yang kesurupan, ia kembali maju menyerangku. Mengayun-ayunkan pisau di tangannya ke kiri dan ke kanan tak henti-henti. Keinginannya hendak melukaiku tiba-tiba berubah menjadi hendak menghilangkan nyawaku.
Aku tidak tahu persis bagaimana kejadiannya. Tiba-tiba saja ia terjerembab dan bersimbah darah. Sebilah pisau yang ia ayun-ayunkan tadi telah berpindah pula ke genggamanku. Aku seperti telah menikamkan pisau itu ke jantungnya. Peristiwa itu begitu cepat terjadi. Tak sedetik pun sempat kucerna dengan alam sadarku. Seperti terjadi di alam mimpi saja!
Tak berapa lama kemudian, aku digelandang ke kantor polisi di ibukota kabupaten. Setelah melewati ladang demi ladang yang sejengkal pun aku tak mengenalinya, aku dimasukkan ke dalam tahanan. Dan beberapa bulan kemudian, aku diadili.
Aku diganjar hukuman delapan tahun penjara. Meski aku tak pernah membaca kitab undang-undang kejahatan, dan tidak mengerti sedikit pun soal hukum dan hukuman bagi seorang pembunuh, menurutku, ada hal yang tidak wajar dan tidak berkesesuaian waktu itu. Kalau memang aku benar telah membunuh lelaki itu, kenapa hukumanku tidak sekalian ditembak mati saja? Atau paling tidak dipenjarakan seumur hidup! Kenapa hanya delapan tahun?
Tetapi aku tidak protes. Sebab kukira itu tidak ada gunanya. Sekuat apa pun aku berteriak, mereka tidak akan berubah pikiran. Sebab kata mereka, itulah hukum. Maka kumaui saja masuk ke dalam bui, bersihadap dengan tembok kokoh yang penuh coretan-coretan, penggalan-penggalan puisi, juga kata-kata makian yang ditulis tanpa aturan.
"Kau membunuh siapa?" Seorang lelaki bertubuh besar menyambutku di hari pertama. "Kucingkah? Tikuskah? Beruangkah? Koruptorkah? Atau pelacur?" tanya lelaki itu memelototi wajahku. Matanya seperti dua bilah pedang tajam.
"Aku tidak membunuh siapa-siapa, Bang." jawabku.
"Bah! Bodok kali kau! Kau tak membunuh siapa-siapa, tetapi mau saja kau dijebloskan ke dalam penjara ini! Itu tidak masuk akal!"
"Bukankah di negeri ini banyak hal yang tidak masuk akal, Bang?
"Pintar juga, kau. Benar itu!" kata lelaki itu. Ia berbalik, lalu duduk di kasur yang sudah menipis. Sudah seperti karpet kumal. Empat lelaki lainnya yang ada di sel itu tampak seperti tikus yang sedang melihat seekor kucing kelaparan tengah bersiap hendak mencabik-cabik tubuh seekor tikus baru, yaitu aku. Mareka tampak sangat ketakutan, seperti tak tega melihatku akan dicabik-cabik oleh si kucing lapar itu.
*