SUDAH hampir dua minggu ini hujan turun saban hari. Waktunya tidak selalu sama. Kadang pagi hari, kadang pada siang hari. Lebih seringnya di malam hari. Jika ia turun menjelang senja, angin akan bertiup amat lirih. Seperti lirihnya rintihan ladang kubis yang tertimbun abu Gunung Sinabung beberapa tahun silam. Kadangkala ia terdengar seperti andung nandeku, menyayat dan memilukan.
Di hari-hari lalu, ia pernah datang merayap lamat-lamat. Melintasi kaki bukit, berputar-putar, lalu rebah di tanah, tanah tempatmu membenihkan cerita ini. Tanah tempatku berdiri menunggumu.
Aku memang tidak tahu pasti, apakah kau tertarik atau tidak membaca cerita. Betapa pun, aku harus menceritakannya. Bukan maksudku hendak membela diri. Bukan! Sebab kukira tidak berguna. Semuanya sudah berlalu.
Andai kau membaca cerita ini, entah kapan pun itu, aku ingin kau mengerti ihwal peristiwa itu. Cukup mengerti saja. Tidak lebih dari itu. Tidak perlu membelaku. Karena aku merasa, aku tidak perlu dibela. Jangan juga memaafkanku. Sebab menurutku, orang yang perlu dimaafkan itu adalah orang yang bersalah. Aku tidak bersalah. Kejadian itu berlangsung tanpa kuduga sedikit pun. Demi langit dan bumi, bukan aku yang memulainya.
Sore itu, lelaki itu tiba-tiba saja muncul dari semak belukar. "Hei! Lawes kam dari sini!" teriaknya sembari menghunuskan sebilah pisau. Kedua bola matanya memerah. Ia penuh amarah.
Ia menyerangku. Aku berusaha mengelak agar ia tidak dapat melukaiku. Hingga beberapa kali ia menyerangku, tidak terjadi sesuatu apa pun. Pada kali ke sekian, entah oleh apa --mungkin karena ia kehilangan keseimbangan-- ia jatuh terjerembab. Tetapi ia segera bangkit, lalu bergegas untuk menyerangku lagi. Ia tampak sangat berhasrat untuk melukaiku.
"Kalau kau tidak pergi juga, akan kuhabisi kau di ladang ini!"
"Apa salahku, Bang?" tanyaku penuh rasa cemas.
"Kau tidak pantas lagi menunggunya!"
"Menunggu siapa?"
"Pokoknya, pergilah! Jangan buat aku semakin marah...!" ia menghunuskan pisau tadi persis ke ulu hatiku.