Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat yang mempunyai peranan dan pengaruh yang besar terhadap perkembangan sosial dan kepribadian setiap anggota keluarga. Ketegangan antara suami istri atau antara orang tua dan anak merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga, namun akan menjadi tidak wajar jika diselesaikan dengan kekerasan. Perilaku seperti itu bisa dianggap sebagai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, terang-terangan atau terselubung, menyerang atau bertahan, disertai dengan penggunaan kekerasan terhadap orang lain. UU no. 23 Tahun 2004, mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Yang ada dalam rumah tangga yang dimaksud adalah suami-istri, anak-anak, dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, menyusui, orang tua, wali, orang-orang yang tinggal dalam rumah tangga itu, serta para pekerja, pembantu rumah tangga, dan kegiatan-kegiatan rumah tangga.
Tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga dapat memberikan dampak negatif bagi korbannya. Dampak tersebut antara lain rasa takut, cemas, kelelahan, kesusahan, stres pasca trauma, serta gangguan makan dan tidur sebagai reaksi jangka panjang terhadap tindakan kekerasan. Pola asuh orang tua dalam keluarga dapat berkontribusi terhadap kekerasan. Menurut penelitian pola asuh yang paling kondusif terhadap kekerasan dalam rumah tangga mendatang adalah pola asuh otoriter. Padahal, pola asuh otoriter merupakan salah satu jenis pola asuh yang keras, mengedepankan disiplin yang tinggi, memaksakan keinginan orang tua kepada anak, dan selalu memberikan hukuman atas kesalahan yang dilakukan. Hal ini cenderung membuat anak menjadi murung, tidak bahagia, tidak punya tujuan, penuh rasa takut, mudah stres, menarik diri, dan tidak percaya pada orang lain. Banyak orang tua yang percaya bahwa pola asuh otoriter adalah cara normal untuk mendisiplinkan anak. Padahal, anak yang diperlakukan kasar dan dididik tanpa kasih sayang akan menimbulkan kerusakan mental pada dirinya. Kurangnya kontrol orang tua juga membuat anak lebih rentan menjadi korban kekerasan. Misalnya, memberikan pengasuhan tanpa pengawasan kepada pengurus rumah tangga atau orang lain sering kali merugikan anak. Setiap orang tua mempunyai cara masing-masing dalam mengasuh anaknya. Penting untuk memastikan pola asuh yang baik sejak dini untuk membantu anak menjadi orang baik dan bukan menjadi pelaku atau korban kekerasan dalam rumah tangga saat dewasa.
Pendidikan keluarga memegang peranan penting dalam menyikapi masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah serius yang menimpa banyak keluarga di Indonesia. Oleh karena itu, penting bagi keluarga untuk memahami apa itu kekerasan dalam rumah tangga, jenis-jenis kekerasan, dan tanda-tanda yang mungkin muncul. Dengan pemahaman ini, mereka dapat mengenali situasi yang berpotensi membahayakan dan mengambil tindakan untuk mencegahnya. Keluarga perlu memahami pentingnya kesetaraan gender, komunikasi yang sehat, resolusi konflik tanpa kekerasan, dan pengambilan keputusan bersama. Ini melibatkan pembelajaran empati, pengendalian diri, dan rasa hormat terhadap perbedaan. Pendidikan keluarga dapat memberikan keterampilan dan strategi untuk mengelola konflik secara aman dan konstruktif. Pendidikan keluarga juga dapat memberikan informasi tentang sumber daya dan layanan yang tersedia bagi korban kekerasan dalam rumah tangga, seperti pusat krisis atau lembaga bantuan hukum. Oleh karena itu, pendidikan keluarga dapat membantu mencegah kekerasan dalam rumah tangga dan mendukung korban yang berisiko mengalami kekerasan.
Beberapa upaya pendidikan keluarga yang dapat dilakukan untuk mengatasi pola asuh otoriter dan mencegah kekerasan dalam rumah tangga:
1. Meningkatkan kesadaran
Pendidikan keluarga harus dimulai dengan meningkatkan kesadaran tentang dampak negatif pola asuh otoriter dan risiko yang terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga. Keluarga perlu memahami bahwa pola asuh otoriter dapat menimbulkan ketegangan, konflik dan kekerasan dalam hubungan keluarga. Dengan meningkatkan kesadaran ini, keluarga dapat lebih terbuka pada perubahan praktik pengasuhan anak yang tidak sehat.
2. Berkomunikasi secara efisien
Pendidikan keluarga hendaknya mengajarkan pentingnya komunikasi yang efektif antar anggota keluarga. Keluarga harus belajar mendengarkan dengan empati, mengungkapkan perasaan dengan jujur, dan menyelesaikan konflik secara konstruktif. Dengan komunikasi yang baik, keluarga dapat mengurangi stres dan frustasi yang dapat menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga.
3. Memahami kesetaraan gender
Pendidikan keluarga harus mengajarkan nilai-nilai kesetaraan gender dan menghilangkan sikap dominan yang mungkin ada dalam pola asuh otoriter. Keluarga harus memahami bahwa seluruh anggota keluarga mempunyai hak dan martabat yang sama, tanpa memandang gender. Dengan mendorong kesetaraan gender, keluarga dapat mencegah kekerasan dalam rumah tangga yang dapat timbul akibat ketidakadilan dan ketidakseimbangan kekuasaan.
4. Mengembangkan keterampilan mengasuh anak yang positif
Pendidikan keluarga harus membekali orang tua dengan keterampilan dan strategi pengasuhan yang positif. Hal ini melibatkan pembelajaran bagaimana menjadi orang tua dengan cara yang responsif, penuh kasih sayang, dan mendukung perkembangan anak. Orang tua perlu belajar bagaimana menetapkan batasan yang sehat, memuji dan memberi penghargaan kepada anak-anak mereka, dan mengajari mereka cara memecahkan masalah. Melalui pola asuh yang positif, keluarga dapat menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga.
5. Akses terhadap sumber daya dan dukungan
Pendidikan keluarga harus memberikan informasi tentang sumber daya dan dukungan  bagi keluarga yang menghadapi pola asuh otoriter dan risiko kekerasan dalam rumah tangga. Ini termasuk pusat krisis, lembaga bantuan hukum dan layanan dukungan psikologis. Dengan mengakses sumber daya ini, keluarga bisa mendapatkan bantuan yang mereka perlukan untuk mengatasi pola asuh otoriter dan mencegah kekerasan dalam rumah tangga.
Singkatnya, pendidikan keluarga berperan penting dalam menyikapi pola asuh otoriter yang cenderung menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga. Melalui peningkatan kesadaran, komunikasi yang efektif, pemahaman tentang kesetaraan gender, pengembangan keterampilan mengasuh anak yang positif dan akses terhadap sumber daya dan dukungan, keluarga dapat mencegah kekerasan dalam rumah tangga dan menciptakan lingkungan yang aman dan harmonis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H