Mohon tunggu...
Fifi Febrianti
Fifi Febrianti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Psy stud

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dampak Psikologis yang Dialami Oleh Individu Akibat Gempa Bumi

29 Desember 2024   19:40 Diperbarui: 29 Desember 2024   19:30 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gempa Bumi Pasaman (Februari, 2022)

Sejumlah daerah di dunia mengalami peningkatan prevalensi terjadinya bencana. Menurut data Centre for Research on the Epidemiology of Disaster (2017), gempa bumi merupakan salah satu dari lima jenis bencana yang paling sering terjadi di dunia, dengan prevalensi mencapai 16% dari total kejadian bencana. Pada tahun 2017, gempa bumi secara global berdampak pada 95,6 juta jiwa dan menyebabkan 9.697 korban jiwa (Sangkala & Gerd, 2018). Indonesia berada di posisi rawan terjadinya bencana, salah satunya gempa bumi (Yuliani, 2021). Posisi Indonesia terletak di antara pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Laut Filipina. Interaksi antara keempat lempeng ini menyebabkan frekuensi gempa bumi di Indonesia tergolong tinggi (Sabtaji, 2020).

Gempa bumi memiliki berbagai dampak, baik terhadap lingkungan, fisik, sosial, maupun psikologis individu. Dampak terhadap lingkungan yang ditimbulkan yaitu perubahan pada permukaan bumi, topografi, dan kerusakan pada sarana dan prasarana lingkungan (Bahri, 2022). Tidak hanya berdampak pada lingkungan, gempa bumi juga berdampak pada individu. Individu yang selamat dari bencana atau bahaya yang mengancam keselamatan nyawa. Penyintas terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa, bahkan lansia. Para penyintas gempa bumi mengalami berbagai perubahan psikologis. Perubahan psikologis ini dapat menjadi suatu gangguan yang serius jika tidak ditangani dengan segera. Gangguan psikologis yang dapat terjadi yaitu gangguan kecemasan, depresi, dan insomnia pasca trauma. Kondisi ini yang dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya dalam jangka waktu yang lama (Cabella & Rasminto, 2022).

Penyintas Gempa Bumi Pasaman (Februari, 2022)
Penyintas Gempa Bumi Pasaman (Februari, 2022)

Beberapa penelitian menyatakan bahwa PTSD merupakan gangguan yang sering terjadi pada penyintas gempa bumi. Berdasarkan DSM V, PTSD termasuk pada Trauma and Stressor related disorder, dimana timbulnya gejala khas setelah individu mengalami peristiwa traumatis (APA, 2013). Menurut Sutan (2017), peristiwa traumatis seperti gempa bumi dapat memicu berbagai masalah kesehatan mental, termasuk PTSD. Penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara PTSD dengan sejumlah faktor, seperti usia, jenis kelamin, strategi coping dan efikasi diri. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi kerentanan individu terhadap PTSD. 

Kelompok rentan merupakan kelompok masyarakat yang berisiko tinggi terhadap ancaman karena kurangnya kemampuan untuk mempersiapkan diri (Siregar & Wibowo, 2019). Kelompok rentan ini mencakup anak-anak, wanita, ibu yang sedang mengandung atau menyusui, penyandang disabilitas, dan lansia. Anak-anak merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap gejala kecemasan hingga PTSD (Thoyibah et al., 2019). Selain itu, lansia juga merupakan kelompok rentan terhadap dampak psikologis gempa bumi. Lansia cenderung mengalami kecemasan, depresi, dan PTSD (Mutianingsih & Mustikasari, 2019). Penelitian oleh Rohmah et al. (2023) mengungkapkan bahwa mayoritas penyintas gempa bumi mengalami PTSD yang disertai dengan gangguan tidur, kecemasan, dan depresi. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan psikologis pasca gempa tidak hanya beragam tapi juga saling berhubungan dan dapat memperparah kondisi kesehatan mental secara keseluruhan. Kondisi ini menggambarkan dampak jangka panjang dari gempa bumi terhadap kesehatan mental bagi para penyintas.

Selain PTSD, banyak penyintas gempa bumi yang juga mengalami kecemasan atau anxiety. Kecemasan merupakan pengalaman subjektif yang dialami individu, berupa perasaan takut, kekhawatiran berlebihan, atau kesulitan menghadapi situasi, baik yang bersifat realistis maupun tidak realistis, yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan (APA, 2013). Penelitian oleh Gerstner et al. (2020) dan Pangaribuan et al. (2023) mengungkapkan bahwa penyintas gempa bumi yang rentan terhadap anxiety juga berisiko lebih tinggi untuk melakukan bunuh diri.

Setiap individu memiliki tingkat kecemasan yang berbeda karena berbagai faktor. Tingkat kecemasan dipengaruhi oleh faktor usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pengalaman ketika gempa bumi terjadi. Dibandingkan laki-laki, perempuan cenderung lebih rentan terhadap kecemasan karena perempuan cenderung lebih sensitif, sedangkan laki-laki cenderung lebih aktif dan gemar bereksplorasi (Thoyibah et al., 2020). Penelitian Dwidiyanti (2018) juga mendukung temuan ini, dengan menyebutkan bahwa perempuan cenderung lebih sering memikirkan tentang bencana dan memiliki keterikatan emosional yang lebih kuat dibandingkan laki-laki.

Kecemasan yang dialami para penyintas dapat disebabkan oleh pengalaman tidak menyenangkan saat terjadinya gempa, seperti kehilangan rumah atau cedera. Pengalaman traumatis dan ketidakmampuan untuk sepenuhnya memahami atau mengatasi kejadian tersebut membuat individu menjadi lebih rentan terhadap gangguan kecemasan yang berkelanjutan.  Tingkat keparahan gangguan kecemasan dapat bervariasi dari ringan hingga sedang, dan dapat bertahan bahkan beberapa bulan setelah kejadian gempa bumi. Kecemasan juga akan berpotensi lebih parah pada kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia.

 Depresi merupakan salah satu dampak psikologis yang dialami oleh korban gempa bumi (Mutianingsih & Mustikasari, 2019). Depresi merupakan permasalahan mental yang ditandai dengan hilangnya ketertarikan pada aktivitas yang biasanya dilakukan dan merasakan kesedihan secara terus-menerus (APA, 2013). Penelitian Sharma et al. (2021) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat paparan gempa bumi dengan prevalensi gejala depresi yang mencapai 43,2% di kalangan pemuda setelah empat tahun pasca gempa bumi. Hal ini sejalan dengan penelitian Demirchyan (2022) yang mengemukakan bahwa tingginya prevalensi depresi di antara korban pasca gempa selama dua dekade setelah gempa bumi terjadi.

Salah satu faktor penyebab depresi ini adalah kurangnya tingkat pengetahuan individu. Kurangnya tingkat pengetahuan individu terkait sikap dalam menghadapi bencana gempa bumi yang terjadi secara mendadak menyebabkan individu rentan mengalami depresi. Faktor penyebab depresi ini juga mempengaruhi kerentanan individu. Pada penelitian oleh Gao et al. (2019), penyintas bencana gempa bumi dengan rentang usia 18 tahun masih mengalami depresi karena pengalaman gempa bumi yang mengguncangnya. Gejala depresi lebih tinggi pada lansia penyintas gempa bumi karena lansia merupakan kelompok rentan (Liang, 2016).

Situasi emosional setelah kejadian gempa bumi ternyata mempengaruhi pola tidur seseorang. Menurut Khazaie et al. (2019) insomnia terjadi saat bencana karena dipengaruhi oleh stress dan kecemasan. Insomnia merupakan gangguan kesulitan tidur yang dapat dialami oleh korban pasca gempa bumi. Berdasarkan penelitian Rohmah et al. (2023) menunjukkan sebesar 20,4% masyarakat tidak mengalami insomnia, sementara 79,6% mengalami insomnia pada korban gempa bumi. Penelitian yang dilakukan oleh Khazaie et al. (2019) menunjukkan bahwa 4% sampel pada penelitian mengalami kualitas tidur yang sangat buruk atau insomnia yang tinggi, sehingga individu mengalami penurunan kualitas tidur dan adanya peningkatan insomnia setelah terjadinya gempa bumi.

Pada penyintas gempa bumi memiliki pikiran negatif secara terus-menerus terhadap kemungkinan yang akan terjadi kedepannya. Para penyintas merasakan kegelisahan secara berulang pada gempa yang mungkin dapat terjadi kembali atau gempa susulan (Sugiura et al., 2013). Hal ini akan menjadi pemicu munculnya insomnia pada individu. Insomnia juga dipengaruhi oleh tingkat stress, depresi, dan kecemasan yang tinggi (Rohmah et al., 2023). 

Reaksi psikologis pasca bencana pada anak-anak dipengaruhi oleh usianya. Hal ini disebabkan karena usia menjadi faktor penting dalam menentukan sejauh mana anak memahami peristiwa bencana. (Thoyibah et al., 2019). Anak-anak yang menjadi penyintas gempa bumi sering menunjukkan gejala ketakutan tinggi, gejala somatik, masalah kognitif, perubahan perilaku, dan masalah sosial. Anak-anak juga mengalami gangguan tidur, seperti mimpi buruk, seperti mudah tersinggung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Thoyibah et al. (2019), anak-anak penyintas gempa bumi mengutarakan bahwa mereka takut untuk masuk ke dalam rumahnya setelah peristiwa gempa bumi.

Anak-anak yang menjadi korban gempa mengalami perubahan perilaku, seperti menjadi lebih sensitif, mudah menangis, cepat marah, dan yang sebelumnya ceria, setelah gempa menjadi lebih pendiam dan cenderung mengisolasi diri dari lingkungan sekitar (Thoyibah et al., 2019). Perilaku yang ditampilkan anak-anak penyintas gempa bumi bisa menjadi tidak konsisten, seperti mudah marah, tidak sopan, dan emosional yang lebih sensitif. Berdasarkan penelitian dari Gurwitch et al. (2015), anak-anak menjadi kurang tertarik dengan aktivitas sekolah akibat masalah somatik, seperti rasa sakit yang mempengaruhi kehadiran mereka di sekolah, sehingga anak penyintas gempa bumi mengalami penurunan dalam keterampilan dan prestasi akademik mereka.

Bencana alam gempa bumi sangat berdampak pada kondisi kesehatan mental individu. Para penyintas gempa bumi berpotensi mengalami Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), anxiety disorder, depresi, gangguan tidur, dan gangguan perilaku pada anak-anak. Faktor-faktor seperti kehilangan tempat tinggal dan pengalaman traumatis selama gempa berkontribusi pada peningkatan risiko gangguan mental ini. Dampak psikologis akibat bencana tidak hanya berlangsung dalam jangka pendek, tetapi dapat bertahan lama dan mempengaruhi kesejahteraan penyintas. Misalnya, individu yang mengalami PTSD cenderung mengisolasi diri dan menjauh dari lingkungan sosial. Isolasi diri ini dapat memperburuk tekanan emosional karena minimnya dukungan sosial yang diterima. Ketika individu menarik diri, mereka juga berisiko kehilangan minat terhadap aktivitas sehari-hari, sehingga dapat memicu depresi dan mengurangi tingkat produktivitas dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Dampak psikologis pada penyintas gempa bumi berdampak jangka panjang dan mengganggu kegiatan sehari-hari individu sehingga harus diatasi dengan baik dan cepat. Edukasi masyarakat mengenai kesiapsiagaan menghadapi gempa serta dukungan sosial dari berbagai pihak dapat membantu mengurangi risiko gangguan psikologis pada penyintas gempa bumi. Selain itu, pemerintah berperan penting dalam menyusun strategi mitigasi bencana yang jelas dan efektif, seperti pembangunan infrastruktur tahan gempa dan pengadaan sistem peringatan dini. Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat kebijakan yang berfokus pada intervensi yang lebih efektif bagi para penyintas gempa bumi, serta penyuluhan mengenai mitigasi bencana. Dengan adanya persiapan yang memadai, dampak psikologis dapat diminimalisir sehingga terjadi peningkatan pada kesejahteraan hidup penyintas. 

Setelah melewati peristiwa traumatis seperti gempa bumi, penyintas disarankan untuk segera mencari dukungan dari keluarga, teman, maupun profesional kesehatan mental. Penting bagi individu untuk memahami bahwa dukungan dan kasih sayang dari orang lain merupakan bagian dari kebutuhan manusia. Bertukar pikiran, perasaan, dan pengalaman dapat membantu meringankan beban emosional. Jika berbicara dengan orang terdekat dirasa tidak cukup, penyintas bencana dapat mempertimbangkan untuk mengikuti sesi konseling atau terapi untuk mengelola stres dan kecemasan. Namun, jika akses ke sesi konseling atau terapi terbatas, penyintas dapat mencoba metode relaksasi seperti latihan pernapasan atau mendengarkan musik untuk menenangkan diri.

Sumber:

APA. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed) (DSM-5). American Psychiatric Publishing.

 Bahri, S. (2022). Pemenuhan Kebutuhan Bagi Korban Gempa Cianjur Dari Pemerintah , Lembaga Badan Swasta Dan Masyarakat Indonesia. Jurnal Ekonomi Dan Akuntansi 2, 2(2), 236-- 240.

 Cabella, T. P., & Rasminto. (2022). Efektivitas Metode Permainan Tradisional pada Trauma Healing Korban Pasca Bencana Gempa Bumi di Cianjur. Proceeding International Seminar on Islamic Education and Peace, 2, 194--202.

 Center for Research on the epidemiology of Disaster. (2017). Natural disaster 2017. USAID.

 Demirchyan, A. (2022). Depression among survivors of 1988 Spitak earthquake in Armenia: a prospective cohort study. European Journal of Public Health, 32. h ps://doi.org/10.1093/eurpub/ckac1 30.179

 Dwidiyanti, M., Hadi, I., Wiguna, R.I., & Ningsih, H.E. W. (2018). Gambaran resiko gangguan jiwa pada korban pasca bencana alam di Lombok Nusa Tenggara Barat. Journal of Holistic Noursing and Health Science, 1(2), 1-5.

 Gerstner, R. M., Lara-Lara, F., Vasconez, E., Viscor, G., Jarrin, J. D., & Ortiz-Prado, E. (2020). Earthquake-related stressors associated with suicidality, depression, anxiety and post-traumatic stress in adolescents from Muisne after the earthquake 2016 in Ecuador. BMC psychiatry, 20, 1-9.

Gurwitch, R., Messer, E.P., Masse, J., Olfason, E., Boat, B.W., Putnam, F.W. (2015). Child-adult relationship enhancement (CARE): An evidence-informed program for children with a history trauma and other behavioral challenges. Child Abuse & Neglect, 1-8. 10.1016/j.chiabu.2015.10.016

Khazaie, H., Najafi, F., Zakiei, A., & Komasi, S. (2019). Partitioning the sleep quality and insomnia severity among earthquake victims in the west of iran: Cluster prediction based on personality and psychological factors. Journal of Research in Health Sciences, 19(4).

Mutianingsih, dan Mustikasari. (2019). Dampak psikologis gempa bumi terhadap kelompok rentan: Lansia. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 15(1), 18-23.

 Pangaribuan, S. M., Siregar, H. K., Widiastuti, S. H., Silalahi, M., Siringoringo, L., & Purborini, N. (2023). Respon Trauma Pada Pengungsi Gempa Bumi Cianjur Jawa Barat. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 6(1).

Rohmah, U. N., Harahap, S.G., Yari, Y., Ramba, H.L., Ludovikus, L., Sabarina, R., Mailintina, Y., & Pipin, A. (2023). Gambaran post traumatic stress disorder, gangguan tidur, kecemasan, dan gejala depresi korban gempa bumi di Cianjur. Journal of Nursing and Midwifery Sciences, 2, 36-45. h ps://doi.org/10.54771/jnms.v2i1.817

 Sabtaji, A. (2020). Statistik Kejadian Gempa Bumi Tektonik Tiap Provinsi di Wilayah Indonesia Selama 11 Tahun Pengamatan (2009-2019). Buletin Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. 1 (7). 31-46.

 Sangkala, Moh.S., Gerd , M.F. (2018). Disaster preparedness and learning needs among community health nurse coordinators in south sulawesi indonesia. australas. Emerg. Care 21, 23--30. h ps://doi.org/10.1016/j.auec.2017.11.002

Siregar, J. S., & Wibowo, A. (2019). Upaya pengurangan risiko bencana pada kelompok rentan. Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana, 10(1), 30-38.

Sugiura, H., Akahane, M., Ohkusa, Y., Okabe, N., Sano, T., Jojima, N., ... & Imamura, T. (2013). Prevalence of insomnia among residents of Tokyo and osaka after the great East Japan earthquake: a prospective study. Interactive journal of medical research, 2(1), e2485.

 Sutan, R. (2017). Post-traumatic stress disorder among the adolescents reside in Padang's prone earthquake area in West Sumatera, Indonesia. Health, 9(9), 1301-1312. h ps://doi.org/10.4236/health.2017.99094

Thoyibah, Z., Dwidiyanti, M., Mulianingsih, M., Nurmayani, W., & Wiguna, R.I. (2019). Gambaran dampak kecemasan dan gejala psikologis pada anak korban bencana gempa bumi di Lombok. Journal of Holistic Nursing and Health Science, 2(1), 31-38. h ps://doi.org/10.14710/hnhs.2.1.2019.31-38 

Thoyibah, Z., Purqoti, D.N.S., & Oktaviana, E. (2020). Gambaran tingkat kecemasan korban gempa bumi Lombok. Jurnal Persatuan Perawat Nasional Indonesia. 4(3). h p://dx.doi.org/10.32419/jppni.v4i3.190

 Yuliani, E., Supyati, S., & Sriwulan, A. (2021). Gambaran Trauma Psikologi pada Anak Pasca Bencana Gempa Menggunakan Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ). J-HEST Journal of Health, Education, Economics, Science, and Technology, 4(1), 15-21.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun