Situasi emosional setelah kejadian gempa bumi ternyata mempengaruhi pola tidur seseorang. Menurut Khazaie et al. (2019) insomnia terjadi saat bencana karena dipengaruhi oleh stress dan kecemasan. Insomnia merupakan gangguan kesulitan tidur yang dapat dialami oleh korban pasca gempa bumi. Berdasarkan penelitian Rohmah et al. (2023) menunjukkan sebesar 20,4% masyarakat tidak mengalami insomnia, sementara 79,6% mengalami insomnia pada korban gempa bumi. Penelitian yang dilakukan oleh Khazaie et al. (2019) menunjukkan bahwa 4% sampel pada penelitian mengalami kualitas tidur yang sangat buruk atau insomnia yang tinggi, sehingga individu mengalami penurunan kualitas tidur dan adanya peningkatan insomnia setelah terjadinya gempa bumi.
Pada penyintas gempa bumi memiliki pikiran negatif secara terus-menerus terhadap kemungkinan yang akan terjadi kedepannya. Para penyintas merasakan kegelisahan secara berulang pada gempa yang mungkin dapat terjadi kembali atau gempa susulan (Sugiura et al., 2013). Hal ini akan menjadi pemicu munculnya insomnia pada individu. Insomnia juga dipengaruhi oleh tingkat stress, depresi, dan kecemasan yang tinggi (Rohmah et al., 2023).Â
Reaksi psikologis pasca bencana pada anak-anak dipengaruhi oleh usianya. Hal ini disebabkan karena usia menjadi faktor penting dalam menentukan sejauh mana anak memahami peristiwa bencana. (Thoyibah et al., 2019). Anak-anak yang menjadi penyintas gempa bumi sering menunjukkan gejala ketakutan tinggi, gejala somatik, masalah kognitif, perubahan perilaku, dan masalah sosial. Anak-anak juga mengalami gangguan tidur, seperti mimpi buruk, seperti mudah tersinggung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Thoyibah et al. (2019), anak-anak penyintas gempa bumi mengutarakan bahwa mereka takut untuk masuk ke dalam rumahnya setelah peristiwa gempa bumi.
Anak-anak yang menjadi korban gempa mengalami perubahan perilaku, seperti menjadi lebih sensitif, mudah menangis, cepat marah, dan yang sebelumnya ceria, setelah gempa menjadi lebih pendiam dan cenderung mengisolasi diri dari lingkungan sekitar (Thoyibah et al., 2019). Perilaku yang ditampilkan anak-anak penyintas gempa bumi bisa menjadi tidak konsisten, seperti mudah marah, tidak sopan, dan emosional yang lebih sensitif. Berdasarkan penelitian dari Gurwitch et al. (2015), anak-anak menjadi kurang tertarik dengan aktivitas sekolah akibat masalah somatik, seperti rasa sakit yang mempengaruhi kehadiran mereka di sekolah, sehingga anak penyintas gempa bumi mengalami penurunan dalam keterampilan dan prestasi akademik mereka.
Bencana alam gempa bumi sangat berdampak pada kondisi kesehatan mental individu. Para penyintas gempa bumi berpotensi mengalami Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), anxiety disorder, depresi, gangguan tidur, dan gangguan perilaku pada anak-anak. Faktor-faktor seperti kehilangan tempat tinggal dan pengalaman traumatis selama gempa berkontribusi pada peningkatan risiko gangguan mental ini. Dampak psikologis akibat bencana tidak hanya berlangsung dalam jangka pendek, tetapi dapat bertahan lama dan mempengaruhi kesejahteraan penyintas. Misalnya, individu yang mengalami PTSD cenderung mengisolasi diri dan menjauh dari lingkungan sosial. Isolasi diri ini dapat memperburuk tekanan emosional karena minimnya dukungan sosial yang diterima. Ketika individu menarik diri, mereka juga berisiko kehilangan minat terhadap aktivitas sehari-hari, sehingga dapat memicu depresi dan mengurangi tingkat produktivitas dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Dampak psikologis pada penyintas gempa bumi berdampak jangka panjang dan mengganggu kegiatan sehari-hari individu sehingga harus diatasi dengan baik dan cepat. Edukasi masyarakat mengenai kesiapsiagaan menghadapi gempa serta dukungan sosial dari berbagai pihak dapat membantu mengurangi risiko gangguan psikologis pada penyintas gempa bumi. Selain itu, pemerintah berperan penting dalam menyusun strategi mitigasi bencana yang jelas dan efektif, seperti pembangunan infrastruktur tahan gempa dan pengadaan sistem peringatan dini. Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat kebijakan yang berfokus pada intervensi yang lebih efektif bagi para penyintas gempa bumi, serta penyuluhan mengenai mitigasi bencana. Dengan adanya persiapan yang memadai, dampak psikologis dapat diminimalisir sehingga terjadi peningkatan pada kesejahteraan hidup penyintas.Â
Setelah melewati peristiwa traumatis seperti gempa bumi, penyintas disarankan untuk segera mencari dukungan dari keluarga, teman, maupun profesional kesehatan mental. Penting bagi individu untuk memahami bahwa dukungan dan kasih sayang dari orang lain merupakan bagian dari kebutuhan manusia. Bertukar pikiran, perasaan, dan pengalaman dapat membantu meringankan beban emosional. Jika berbicara dengan orang terdekat dirasa tidak cukup, penyintas bencana dapat mempertimbangkan untuk mengikuti sesi konseling atau terapi untuk mengelola stres dan kecemasan. Namun, jika akses ke sesi konseling atau terapi terbatas, penyintas dapat mencoba metode relaksasi seperti latihan pernapasan atau mendengarkan musik untuk menenangkan diri.
Sumber:
APA. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed) (DSM-5). American Psychiatric Publishing.
 Bahri, S. (2022). Pemenuhan Kebutuhan Bagi Korban Gempa Cianjur Dari Pemerintah , Lembaga Badan Swasta Dan Masyarakat Indonesia. Jurnal Ekonomi Dan Akuntansi 2, 2(2), 236-- 240.
 Cabella, T. P., & Rasminto. (2022). Efektivitas Metode Permainan Tradisional pada Trauma Healing Korban Pasca Bencana Gempa Bumi di Cianjur. Proceeding International Seminar on Islamic Education and Peace, 2, 194--202.