Indonesia memiliki beragam cara pembayaran, memperoleh barang yang dikehendaki, sampai untuk memiliki penghasilan. Dalam memperoleh barang yang dikehendaki, ada beragam cara yang salah satunya adalah jual beli, yang tentunya telah diatur dalam hukum dan perundangan berlaku.
Dari sejarah adanya jual beli, beragam pendapat para ahli mengenai jual beli, dan hukum yang mendefinisikannya. Dapat disimpulkan bahwa, jual beli adalah suatu perjanjian antara dua pihak untuk memperoleh kesepakatan terkait benda dan harganya. Dua pihak yang terlibat dalam hal itu, tentulah penjual dan pembeli.
Dari sekian banyak pasal yang telah diatur, tentu telah melewati masa percobaan, penerapan, dan pertimbangan atas hukum yang perlu penyesuaian dengan pola hidup masyarakat Indonesia. Ketika melakukan jual beli, asas konsensual atau dapat diartikan sebagai anggapan bahwa jual beli telah dilakukan setelah ada kesepakatan.
Hal ini seperti yang telah diatur dalam kitab undang hukum perdata pasal 1458, yang memerlukan persetujuan kehendak kedua belah pihak dan barang yang tersedia berdasarkan pasal 1471 dan pasal 1472 kitab undang hukum perdata.
Dalam aktivitas jual beli, seorang penjual memiliki hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan, juga hak menerima perlindungan hukum atas tindakan pembeli yang buruk. Hal itu telah diatur dalam undang-undang perlindungan konsumen pasal 06. Namun, selain dari pada itu juga penjual memiliki kewajiban seperti:
- Mengikatkan diri dalam kesepakatan dengan pembeli (pasal 1473 KUHPdt)
- Menyerahkan benda sesuai dengan tempat penjualan atau lokasi yang telah dijanjikan (Pasal 1477 dan pasal 1480 KUHPdt)
- Mengembalikan harga benda dan ganti rugi jika terjadi wanprestasi atau barang yang rusak (Pasal 1448 KUHPdt)
- Menyerahkan benda, hal ini dapat berupa benda berwujud, benda tidak bergerak, dan benda tidak berwujud, termasuk segala proses pembayarannya (Pasal 584, pasal 612, pasal 1478, dan pasal 1482 KUHPdt)
- Menjamin bebasnya diri dari gangguan dan kerugian lain, hal ini dapat disesuaikan lagi berdasarkan kesepakatan yang dibuat sejak awal prosesnya (Pasal 1492, pasal 1494, dan pasal 1516 KUHPdt)
- Menjamin barang terbebas dari cacat, hal ini termasuk opsi pilihan dari pembeli terkait benda tersebut (Pasal 1505, pasal 1507, pasal 1508, pasal 1509, dan pasal 1510 KUHPdt)
Setelah penjabaran yang cukup singkat tadi, cukup mengingatkan saya selaku penulis artikel ini terhadap kasus perdata terkait hukum perikatan dalam jual beli yang terjadi pada tahun 2011 di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Saat itu atau tepatnya pada 17 November 2011, Pengadilan negeri (PN) Sleman mengakhiri perkara antara J dengan S terkait sengketa tanah seluas 997 meter persegi.
Dalam kasus ini dinyatakan bahwa, J telah menerima pembayaran tunai seharga Rp.335.000.000 untuk tanah yang hendak dimiliki oleh S. Namun, setelah berjalannya beberapa waktu, J terus menolek untuk menandatangani akta jual beli tanah yang seharusnya dilakukan demi terlaksananya hukum.
S menuntut J ke pengadilan negeri untuk pengembalian dana dan ganti rugi, atau setidaknya ada itikad baik dari pihak J untuk memperjelas akta tanah yang telah dibayarnya secara tunai. Namun, pihak J mengajukan tuntutan balik kepada S atas kasus penipuan dan pemalsuan dokumen.
Dan, PN Sleman pun mengeluarkan putusan untuk mengeksekusi tanah milik J menjadi atas nama S, dengan menghadirkan truk untuk membawa barang pemilik rumah sekaligus alat berat untuk menghancurkan bangunan yang ada.
Jika dilihat berdasarkan pandanngan hukum perdata, maka perilaku J sesuai dengan kitab undang hukum perdata pasal 1366, yang berbunyi: “Setiap orang bertanggung jawab yang tidak saja untuk kerugian karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan oleh kelalaian atau kurang hati-hatinya.”
Saran dari saya atas kasus tersebut adalah, alangkah lebih baiknya setiap penjual dapat segera melaksanakan kewajibannya dengan itikad baik usai menerima atau terpenuhi haknya.
Juga, dalam hal jual beli tentunya diperlukan kesepakatan dan perjanjian yang jelas untuk mencegah adanya hal yang tidak diinginkan di kemudian hari, karena dalam permasalahan tersebut tentu sudah jelas bahwa pihak J telah melakukan wanpretasi atau ingkar janji yang sudah tercantum jelas dalam pasal 1366 KUHPdt.
Sedangkan opini dari saya adalah, pihak J mungkin saja lupa akan kesepakatan atau perjanjian yang telah disetujui saat awal pembelian tanah tersebut.
Sedangkan, pihak S juga mungkin saja ketika mengajak untuk proses tanda tangan akta tanah, tidak menyertai surat kesepakatan yang telah dibuat guna mengingatkan pihak J akan kesilapannya. Namun, semua kembali pada keputusan PN saat itu, yang telah menangguhkan nama dari pihak J atas kepemilikan tanah tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H