Mohon tunggu...
Rani elisa purba
Rani elisa purba Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru yang belajar dan mengajar

Sibuk untuk hidup atau sibuk untuk mati. Menulislah selagi hidup, karena hidup bukan soal durasi tapi kontribusi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ibu, Aku Berutang

21 November 2020   12:46 Diperbarui: 21 November 2020   12:48 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika padaku ditanyakan, nama seorang pahlawan? Maka, namamu ibu yang akan kusebut terlebih dahulu.

Sebait tulisan di atas adalah rangkaian kalimat  untuk menggambarkan peranan seorang ibu bagiku. Memiliki ibu bagi seorang anak adalah sebuah anugerah sama halnya anak bagi seorang ibu. Relasi ini adalah suatu relasi yang penuh misteri. Aku tak pernah bisa memilih akan lahir dari rahim siapa dan ibu juga tak pernah memilih bahwa akulah anak yang akan lahir dari rahimnya. Dalam relasi yang penuh misterius ini, ada ikatan cinta dan kasih.

Lewat cerita, aku mendengar bahwa betapa  bahagianya ibu ketika mendengar kehadiranku dalam wujud makhluk mungil diperutnya dan ia seketika merasa menjadi seorang wanita yang sempurna dan berguna bagi dunia seolah ia melahirkan harapan. Suatu relasi yang indah mulai terjalin sejak saat itu. Kehadiranku sejak awal, sesungguhnya mengganggu zona nyamnnya namun ibu terus mengusahakan yang ternyaman bagiku.

Sejak aku bertahta di gua pertapaan itu, ibu seringkali harus memilah-milah makanannya, mual dengan bau-bau tertentu, kesulitan mengatur posisi tidur dikarenakan kontraksi yang seringkali kumunculkan ke permukaan, kesulitan mencari pakaian yang akan digunakan saat ke pesta sebab kehadiranku mengubah penampakan fisiknya dan berbagai jenis gangguan lagi.

Namun, inilah relasi yang penuh misteri itu. Semakin aku menggelitik kenyamanannya semakin ia berusaha menciptakan hal yang nyaman bagiku. Sejak ia menyadari jantungku mulai berdetak, ia memperdengarkan musik bagiku dengan  harapan akan menolong pertumbuhan sel-sel otakku, mengajakku berbicara seolah ia mendengar sahutanku, mengelus-elus tubuhku yang mungil lewat dinding pemisah dunia kami. Ibu, aku sungguh ingin kau melihat betapa indahnya senyumku dengan semua perlakuanmu dan betapa nyamnnya di dalam gua itu.

Hari yang ditunggu itupun kini tiba, saat dua hati akan bertemu antara ibu dan aku. Air mata bahagia itu terjatuh dan ibu tak henti-hentiya menciumi pipiku yang masih memerah. Lalu ia memberiku doa berupa nama. Sejak saat itu ibu memanggilku Rani. Rani yang artinya ratu perempuan sebab di dalam hati ia berdoa kelak aku akan menjadi seorang wanita yang bijaksana dan mampu memimpin demi membawa perubahan dunia.

Disaat aku keluar dari gua pertapaan itu, bukanlah akhir dari perjuangan ibu melainkan menjadi awal yang baru. Semenjak kehadiranku, aku menjadi pusat beredarnya planet di alam semesta ibu. Ia tak peduli matahari terbit atau terbenam, melihat aku masih tersenyum itu cukup baginya untuk memastikan segala sesuatu baik-baik saja. Ibu, adalah sapaan pertama yang kutahu dan ia adalah pribadi yang akan selalu hadir setiap kali aku menyebutnya. Bagiku, kata “ibu” seolah sebagai mantera gaib sebab dengan menyebut kata itu maka bala pertolongan akan segera datang dan memberikan apa yang kuperlu.

Dunia ini bekerja sungguh teramat cepat, perlahan-perlahan ibu ingin melepaskan kebergantunganku dengannya dan ia tak ingin aku terus menerus menggunakan mantraku namun aku akan tetap menjadi pusat alam semestanya.

Perlahan, ibu memperkenalkanku pada dunia. Bagaimana dunia ini bekerja, siapa yang menopangnya, hitam-putih kehidupan dan semua hal yang terjadi. Ibu juga sosok yang memberitahuku bagaimana cara beperilaku. Ia memberikanku bahan bacaan untuk membuka wawasanku dan memperkenalkanku pada istilah “Buku adalah jendela dunia”. Ibu juga mengajakku berdiskusi dan bergurau sambil memasak di dapur dan jika jariku terluka saat mengupas bawang ia akan segera bergegas untuk memastikan kondisi jariku bahkan rela meninggalkan ikan yang sedang di goreng hahhaa.

Pada suatu kesempatan, ibu mengajakku berjalan keliling kota. Di sepanjang jalan, ia tak henti-hentinya mengajakku berpikir dan berdiskusi terkait realita yang ada disekeliling kami seperti gedung indah, hiruk-pikuk kota, rumah sakit, para narapidana yang sedang berbaris, anak-anak pengamen yang mengampiri kami saat makan bakso, para pemulung dengan pakaian kumuh sedang menggali tempat sampah di samping plaza layaknya mencari harta karun. Saat melintasi gedung-gedung pemerintahan yang megah, ia bercerita apa yang mereka kerjakan di dalam gedung itu, mengapa mereka bekerja disana dan bagaimana caranya agar bisa menjadi salah satu bagian dari mereka. Begitulah cara ibu memperkenalkan kehidupan kepadaku.

Diperjalanan pulang ke rumah, ia kembali mengingatkanku pada pemandangan pemulung dan pengamen di tempat bakso. “Kamu tau, apa yang mereka lakukan?” demikian pertanyaannya.

Saat itu aku menjawab, mereka bekerja sebab bagiku itu semua adalah profesi. Lalu ibupun memperkenalkanku tentang sulitnya bertahan hidup, tingginya persaingan bahkan ia bercerita betapa kotornya dunia kerja dibalik gedung yang megah itu. Pada saat tersebut ia memintaku untuk berjanji agar belajar dengan baik, bertumbuh jadi anak yang dewasa dan bijaksana agar kelak dapat menjadi manusia yang mandiri, berguna bahkan menjadi harapan atau jawaban bagi mereka yang kesulitan.

Ibu yang awalnya aku pikir menjadi jawaban segalanya bagiku, kini mulai terkikis sebab ia ingin aku bertumbuh menjadi rani yang sejati. Ibu selalu memastikan bahwa setiap anak tangga usia yang kunaiki dalam kondisi baik. Saat ini, aku telah menaiki anak tangga yang ke-23 dan aku kini semakin berjarak dengannya namun demikianpun aku sebagai pusat alam semestanya belum berubah. Ia tetap menjadi sosok ibu yang memperkenalkanku pada dunia, memberikan telinga yang selalu mendengar tanpa menghakimi dan juga ia selalu memberikan peluknya sebagai gua pertapaan bagiku disaat aku butuh waktu tenang.

Kau ibuku dan aku anakmu, Terimakasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun