Kau semai sebaris kata, tepat di tengah mataku, "Semoga mereka tumbuh subur, berakar di hati, meriap jalari pembuluh, berbuah rimbun di ranting-ranting pikirmu."
Kusentuh mataku, kemudian menatapmu dengan tatapan setengah geli setengah ragu, "Aku khawatir, mereka akan kering sebelum bertunas."
Lalu, ujung telunjukmu menyentuh pelupukkku, mengatupkannya, "DalaÂm pejammu, mereka akan beranak pinak, menyemak, merebak hingga kebak dada, sesak mendesak kepala. Keheningan, kesenyapan, dan kejernihan, akan menumbuh-suburkan mereka dalam dirimu."
Kupejamkan mata, berputar mencari, berharap memetik buah seketika. Tapi, tak sehelai pucuk tunas pun kutemukan di dadaku atau kepalaku, "Tidak satu pun kata muncul di sana."
Kau tertawa, menggelengkan kepala, melihat ketidaksabaranku.
Itu beberapa minggu yang lalu.
Kau tahu, Man?
Sepertinya, kata-kata yang kau semai di tengah mataku itu,
sekarang telah tumbuh, meriap
Semalam, seseorang membisikkan sebuah puisi
tepat di telingaku.
Serupa kidung, setiap kata bersenandung
Lalu, mereka memenuhi ruang
dalam kepalaku
: sebuah sajak menari-nari riang
Tapi, aku rasa mereka belum berbuah penuh
Baru putik-putik yang bertumbuh
menunggu waktu, untuk matang sepenuh sungguh
Dan aku akan sabar menunggu,
hingga tiba waktunya mereka bernyanyi
di atas bentangan sayap kupu-kupu biru
: buku jari
Palembang |130614|