Sepertinya mereka sudah dicuci otaknya oleh si tikus sok kaya itu, karena sampai menyebut Bapak Tikus Yang Terhormat? Astaga. Kami kembali mengelus dada mencoba meredam emosi.
"Ayo kita bermalam di rumah mewah ini!" teriak anak-anak sambil menyeret kami untuk masuk ke rumah mewah yang besarnya hampir tiga kali lipat dari rumah yang biasa kami tinggali.
Kami menelan ludah, mencoba menuruti anak-anak kami. Kami yakin rumah itu bisa saja adalah tipu daya semata. Kami tak mau mudah tergiur kenikmatan dan kemewahan karena kami tidak benar-benar membutuhkan itu. Kami masih hidup bahagia bahkan beranak pinak di tempat tinggal kami, apa lagi yang harus kami cari?
"Nah, ini kamar Bapak Tikus Yang Terhormat!" teriak anak-anak kami sambil memasuki sebuah kamar besar yang luasnya sepertiga dari rumah yang kami tinggali. Kami menangkap sosok si tikus sok kaya sedang mendengkur di atas kasur mewah yang spreinya terlihat begitu lembut dan hangat. Tikus itu pun terbangun mendengar anak-anak kami yang berisik.
"Wah ada tamu rupanya! Selamat datang para tikus udik yang sok suci. Hahaha."
Kami tak menggubris, justru menatapnya dengan mata yang kini lebih tajam dari mata kucing dan harimau.
"Kalian datang untuk membantuku memakan sesuatu yang lezat bukan?"
Anak-anak bersorak riang. Kami para tikus tua hanya bergeming, tidak tertarik.
"Ayo ikut!" Si tikus sok kaya beranjak dari kasur dan menuju ke lemari besar yang sudah berlubang di sudut kanan bawahnya.
"Lewat sini!" teriak si tikus sok kaya sambil masuk ke lubang. Anak-anak kami berloncatan riang mengikutinya. Sedangkan kami dengan malas terpaksa mengikutinya karena takut anak-anak kami celaka.
"Jangan kaget ya kalian!" teriak tikus sok kaya lagi di depan segepok uang tunai berwarna merah terang. Meski cahaya minim di dalam lemari itu, tetapi warna uang itu cukup terlihat dan membuat kami terbelalak.