Wanita itu menari di tengah hujan, di antara makam-makam. Ia membiarkan dirinya basah bersama seluruh air matanya. Gaun selutut berwarna kuning cerah melekat di tubuhnya. Sebagian besar gaun itu berubah warna menjadi merah kehitaman, terutama di bagian punggung. Di bagian pinggangnya, terdapat renda yang dilengkapi jahitan dari benang berwarna emas bertuliskan "Rosemary".
**
"Kamu yakin nggak mau kerja di perusahaan ibu saja? Aku ada posisi kosong untukmu."
Aku menggeleng dan tersenyum. "Jangankan kerja di perusahaan ibu, Kak. Tinggal bersama ibu saja aku tidak mau. Aku pasti bisa tetap hidup dengan pekerjaan serabutanku yang sekarang. Yang penting mental dan hatiku aman dari caci maki ibu."
Kak Sella diam, menatapku tajam. Raut mukanya yang garang dengan alis tebal pasti akan memberi kesan galak bagi orang yang belum mengenalnya. Namun nada bicaranya setiap berhadapan denganku penuh kelembutan dan kasih sayang. Dia tidak seperti saudara tiri yang dibicarakan di film dan buku cerita. Dia sudah seperti kakak kandungku sendiri. Umur kami yang hanya terpaut satu tahun membuat kami begitu akrab.Â
Sepeninggal ayah kandungku karena sakit, aku memutuskan tinggal terpisah dengan keluarga tiriku demi menjaga kewarasanku. Ibu tiriku layaknya tokoh ibu di film Cinderella ataupun di cerita rakyat Bawang Merah Bawang Putih yang ditayangkan di televisi. Untungnya, hubunganku dengan Kak Sella lebih dari baik. Hanya saja, hubungan kami merenggang setelah tinggal terpisah dan disibukkan dengan pekerjaan. Kini kami bertemu lagi, namun dia justru menawariku pekerjaan yang sudah jelas akan kutolak.
Kak Sella menyeruput teh chamomile hangatnya sampai tandas.
"Besok ikut aku ke bank ya. Ada hadiah untukmu," ujar Kak Sella menutup perjumpaan.
**
Kak Sella menyetor uang tunai ke rekening baru atas namaku. Nominalnya mencapai angka tiga digit.