"Apa harus aku tegaskan seperti itu?" tanyamu lagi, terdengar makin serius.
   Aku menelan ludah. Kali ini, jawabanmu bukan lagi kata terima kasih.
   "Kau tahu, setiap kata terima kasih dariku, itu adalah sebuah penolakan."
   Kali ini hatiku benar-benar tercabik. Entah sudah berapa goresan dalam dinding-dindingnya. Aku bahkan belum siap membungkus diriku dengan penolakan pernyataan cinta yang demikian tegasnya.
   "Aku tahu ini menyakitimu. Tetapi ini juga menyakitiku. Kau membuatku harus memperjelas semuanya di saat aku tidak mau melakukannya karena takut akan menyakitimu."
   "Tidak memperjelas semuanya itu lebih menyakitkan," akhirnya aku bicara.
Kau tersenyum kecut. Namun anehnya masih terlihat manis. Aku mulai memaki diri, karena dalam situasi menyakitkan ini, aku tetap jatuh cinta.
   "Tetapi kenapa kau harus takut menyakitiku? Kalau mau menolak, ya menolak saja, tidak usah takut seperti itu," kataku sambil mengalihkan pandangan, entah ke mana, asal tidak ke wajahmu.
   "Bagiku, setiap penolakan selalu disertai rasa takut, apalagi jika itu menyangkutmu," jawabmu ikut mengalihkan pandangan. Aku tidak menjawab, sibuk mencerna kalimatmu.
   "Terima kasih, ya," ujarmu sambil melangkah pergi. Itu kata terima kasih paling menyakitkan dari sekian terima kasihmu yang lain.
   Lampu-lampu di bahu alun-alun kota mengantarkan punggungmu menghilang di bawah payung gemerlap bintang. Dan saat ini, aku ikut membenci bintang-bintang itu. Mereka indah, tetapi tidak mengindahkan hubunganku denganmu.Â