Walaupun satu langkah itu dihitung satu langkah gajah. Namun tetap saja rumah kami berada pada RT yang sama. Kami lahir hanya berjeda enam jam. Aku dilahirkan dini hari, sedangkan ia lahir ketika matahari menyambut bumi. Masa kecil kami dari batita, balita, hingga masuk taman kanak-kanak amatlah bahagia.
Mulai dari belajar merangkak, berjalan, berbicara, hingga bernyanyi dan berhitung, kami selalu bersama. Bak api dengan asap, tak terpisahkan. Masa sekolah dasar menjadi masa paling menyenangkan.Â
Setiap pulang sekolah kami tak pernah absen untuk berjemur di bawah terik mentari hingga senja mendesak kami pulang. Kulit kami hitam legam akibat bermain bola dan layang-layang, mandi di sungai, main lumpur di sawah, bersepeda, hingga berlomba mencari belalang di lapangan desa bersama teman-teman lainnya.
Hingga tiba hari paling kami nantikan. Kami baru beberapa bulan menjadi siswa SMP, memasuki masa peralihan dari anak-anak menuju remaja.Â
Aku belum terkontaminasi kenakalan-kenakalan remaja. Sedangkan Budi terjurumus juga pada akhirnya. Hal itu dimulai setelah kami menyandang hak milik atas Syukur, anakan kambing hitam yang masih ingusan. Tepat setelah kami membeli kambing tersebut, aku hampir kecelakaan, namun justru Budi yang berakhir pincang.
Saat berjalan pulang sambil menggiring Syukur menggunakan seutas tali, aku bersenandung riang menyusuri jalan setapak menuju rumahku. Syukur akan dipelihara di rumahku, bersama dengan kambing-kambing lain milik kakek yang berkandang di belakang rumah.Â
Budi sedang membeli es cekek (es yang dijual menggunakan plastik dan sedotan, memegangnya dengan cara dicekik dengan genggaman tangan) di seberang jalan.Â
Aku terus berjalan lambat sambil sesekali menengok ke belakang, memastikan Budi tidak tertinggal terlalu jauh. Namun tiba-tiba Syukur yang berada di sisi kiriku memberontak ke tengah jalan setapak.Â
Sialnya lagi, aku hilang kendali karena sedang menengok ke arah Budi. Hal itu bersamaan dengan munculnya sepeda motor dari belakang Budi menuju ke arahku dengan kecepatan tinggi. Aku menutup mata karena hampir terserempet bersama dengan Syukur. Namun saat aku membuka mata, tubuhku justru terjerembab di rerumputan pinggir jalan.
"Septooo, kau baik-baik saja?" teriak Budi yang lebih terdengar seperti rintihan. Aku panik dan tidak menjawab. Raut muka Budi pucat pasi, seputih beras yang baru digiling. Namun, bagian kaki kirinya tampak berlumuran darah. Aku ngilu melihat ada tonjolan tulang yang keluar dari kulit dan dagingnya.
"Mbeeekk..." Syukur mengembik di seberang jalan, ikut bertanya apakah Budi baik-baik saja. Aku menangis tak tertahan. Ini mirip adegan sinetron yang sering ditonton Ibu dan Nenek setiap malam. Ternyata, Budi tidak sekadar patah tulang, namun kaki kanannya harus diamputasi. Pengendara motor yang menabrak Budi juga sama parahnya, bahkan cedera cukup serius di bagian tangan, kaki, dan perut. Kecelakaan itu diselesaikan secara kekeluargaan karena si penabrak masih kerabat dengan Budi. Namun masalah tidak sesimpel itu terselesaikan. Persahabatan kami berubah sejak saat itu. Aku yang dihantui rasa bersalah terhadap Budi, dan Budi dihantui bayangannya sendiri yang pincang untuk menjalani sisa hidupnya.