Butiran debu memenuhi seisi ruang kamarku yang gelap. Seberkas cahaya matahari mengintip dan menyelundup masuk melalui celah ventilasi jendela bergorden ungu muda. Sengaja tak kubuka gorden itu karena sinar matahari terlalu terang dan silau di siang bolong seperti ini.
Kubongkar seluruh kotak hadiah dengan beragam motif kertas yang membalutnya. Itu semua dari Lien, temanku sejak aku masih dalam gendongan ibuku. Kudapati pasfoto berseragam putih biru ukuran 3x4 di salah satu kotak yang berisi kain-kain perca berbagai motif.
“Akhirnya kamu menemukannya, Az.”
Aku menoleh dan mengangguk. Lien tersenyum di sampingku. Ia memakai jilbab merah muda lusuh yang menutupi dadanya. Gamis putih dengan sentuhan motif bunga lili merah membalut tubuhnya yang tinggi dan berisi. Tak lupa kaus kaki berwarna kulit menutupi telapak kaki hingga betisnya.
“Oh iya, aku mau menagih janjimu.”
“Janji apa?”
“Kamu akan memberiku pasfoto juga kepadaku jika kamu sudah cantik.”
Aku tertawa renyah, “Apa menurutmu sekarang aku sudah cantik?”
“Seharusnya aku yang bertanya padamu, karena dari dulu juga aku bilang kalau kamu sudah cantik.”
“Hmm, baiklah. Tapi, ada syaratnya kalau kamu mau pasfotoku.”
“Apa?”