Kalau hukum nikah dalam Islam itu wajib, maka Allah SWT tentu tidak akan membuat pilihan apapun untuk hamba-Nya. Apapun resiko pernikahan itu, entah berakhir di syurga atau neraka, entah bisa menyempurnakan iman atau justru malah bisa menjauhkan seorang hamba dari Allah SWT, tentu setiap muslim wajib (harus) menikah. Akan tetapi, pernikahan dalam Islam hukumnya adalah jaiz/mubah (boleh). Karena memang tujuan pernikahan adalah untuk menyempurnakan iman, beribadah kepada Allah SWT. Sehingga ketika seorang mukmin khawatir kalau pernikahannya justru dapat menjauhkan dirinya dari Allah SWT (misalnya: karena khawatir akan terpengaruh oleh akhlak buruk calon suami/istrinya yang tidak sesuai dengan syariat Islam, dan sejenisnya), maka ia boleh untuk tidak menikahinya.
Akan tetapi, ketika orang yang akan dinikahi tersebut sudah tidak diragukan lagi akhlak (budi pekertinya), dalam artian akhlaknya sudah diketahui baik; budi pekertinya bagus; kemudian agamanya baik, dalam arti ia telah diketahui mengamalkan agamanya dengan lurus melalui lisan sekaligus perbuatannya (tanpa ada tanda-tanda riya', karena riya' juga termasuk salah satu contoh akhlak yang buruk); mampu untuk memberi nafkah dengan baik; dan memiliki nasab (garis keturunan) yang baik pula; sehingga dimungkinkan bahwa pernikahan itu memang akan menjadi penyempurna keimanan kepada Allah SWT dan malah bisa memperkuat ibadahnya kepada Allah SWT, maka menikah adalah lebih utama daripada melajang.
Dalam syariat Islam sendiri tidak dikenal cara kehidupan membujang dengan niat hidup selibat (seperti yang lazim dilakukan oleh para rahib), yaitu hidup membujang untuk menjauhkan diri dari keduniawian (seperti nafsu syahwat, dan sejenisnya). Islam sudah mengatur, bahwa bagi orang yang khawatir tidak bisa menjaga syahwatnya dan sudah mampu menafkahi, ia wajib untuk menikah. Sedangkan bagi yang belum mampu menafkahi, diperintahkan untuk berpuasa.
Sehingga seorang mukmin tidak boleh menolak pernikahan kalau niatnya adalah untuk hidup selibat. Ketika ia memutuskan untuk menolak sebuah pernikahan, hendaknya hal tersebut dilakukan semata-mata karena Allah SWT. Dan ketika ia memutuskan untuk menikah, hendaknya hal tersebut juga dilakukan semata-mata hanya karena Allah SWT.
Â
Wallahu a’lam bishawab (hanya Allah Mahatahu yang benar).
Â
Literatur :
Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap) Cetakan ke-20. Penerbit Sinar Baru. Bandung.
Bahreisj, Hussein. 1987. Al-Jamius Shahih (Hadits Shahih Bukhari – Muslim). Penerbit Karya Utama. Surabaya.
Tarjamah Bulughul Maram (Ibnu Hajr Al ‘Asqalani) Bab Kitab Nikah hal. 524.