Si anak gadis itu kemudian bertanya kepada Rasulullah SAW, ”Demi Dzat yang mengutus anda dengan membawa kebenaran, saya tidak akan menikah sampai anda beritahukan kepadaku, apa hak suami yang menjadi kewajiban istrinya?”. Si wanita itupun lantas mengulang-ulangi lagi pertanyaannya.
Rasulullah SAW bersabda, ”Hak suami yang menjadi kewajiban istrinya adalah bahwa andaikan ada luka di badan suami, kemudian istri itu menjilati luka itu, maka istri itu belum memenuhi seluruh haknya.”
Setelah mendengar sabda Rasulullah SAW, si gadis berkata” Demi Dzat yang mengutus anda dengan membawa kebenaran, saya tidak akan menikah selamanya.”
Lalu Rasulullah SAW bersabda, ”Janganlah kalian menikahkan putri kalian, kecuali dengan izin mereka.” (HR. Ibnu Hibban 4164, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 17122, al-Hakim dalam Mustadrak 2767, ad-Darimi dalam Sunannya 3571. Hadist ini dinilai hasan Syuaib al-Arnauth)
Berdasarkan hadist tersebut, Rasulullah SAW tidak menyalahkan perkataan si gadis itu yang bersumpah tidak akan menikah selamanya. Rasulullah SAW kemudian memerintahkan kepada ayah si gadis agar tidak menikahkan putrinya tanpa persetujuan dari sang anak. Artinya, prinsip seperti itu bagi wanita (dalam Islam) tidak bertentangan dengan syariat. Sehingga kalau pada akhirnya sampai ia meninggal dunia, ia tidak sempat menikah, maka tidak ada dosa baginya. Yang disebutkan di sini adalah wanita. Sedangkan mengenai pria, tidak ada keterangan atau hadits yang membolehkan hal seperti ini.
Ketika seorang mukmin belum memutuskan menjalani pernikahan karena Allah SWT, misalnya karena ia tidak yakin dengan akhlak (budi pekerti) orang yang akan dinikahinya sehingga khawatir kalau orang itu tidak dapat membawa dirinya menjadi lebih dekat dengan Allah, khawatir kalau kehidupan pernikahannya justru akan membuatnya jauh dari Allah karena keburukan akhlak pasangannya, maka ia tidak perlu khawatir, karena Rasulullah SAW telah bersabda, “Barangsiapa memberi karena Allah, menolak kerena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikah karena Allah, maka sempurnalah imannya.” (HR Abu Daud). Dalam hadits lainnya Rasulullah SAW juga bersabda, "Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, kecuali Allah akan memberimu yang lebih baik daripadanya.” (HR. Ahmad, 5/363 dengan sanad shahih, Al-Baihaqi, 5/335, Waki’ dalam Az-Zuhd serta Al-Qadha’i dalam Musnad-nya). Dalam sebuah atsar lainnya juga disebutkan, "“Tidaklah seorang hamba meninggalkan sesuatu karena Allah, tidaklah ia tinggalkan kecuali karena-Nya, niscaya Allah menggantinya dengan yang lebih baik daripadanya dalam hal agama maupun dunianya.” (Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 2/196).
Jangan sampai kehidupan pernikahan yang diharapkan akan menyempurnakan iman, justru malah membuat semakin jauh dari Allah SWT. Contohnya: suami melarang istrinya berhijab; istri melarang suaminya bersedekah/beramal jariyah dengan alasan masih banyak kebutuhan lain yang lebih penting; sering bertengkar sehingga waktunya hanya disibukkan oleh caci maki dan saling benci sampai ibadahnya keteteran dan anak-anaknya terlantar; kemudian saling curiga sehingga sering berprasangka buruk (padahal prasangka itu adalah dosa); dan sejenisnya. Oleh karena itu, sangat penting bagi seorang mukmin yang memang berniat menikah hanya karena Allah SWT untuk meneliti calon suami/ istrinya sebelum memutuskan untuk menikah agar tujuan pernikahan untuk menyempurnakan keimanan dan beribadah kepada Allah SWT dapat tercapai. Karena manusia diciptakan tidak lain hanyalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:
وَمَاخَلَقْتُالْجِنَّوَالإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
”Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat : 56)
Sehingga apapun bentuk perbuatannya, apakah itu menuntut ilmu, bekerja, menikah, membina keluarga, berpakaian, berbicara, dan sebagainya haruslah bernilai ibadah dan untuk beribadah kepada Allah SWT semata.