Â
Di tengah kemiskinan yang semakin merajalela dan disparitas ekonomi yang semakin jelas terlihat, keuntungan pebisnis investasi mewah (seperti : rumah mewah, mobil, apartemen, kondominium, saham, valuta asing, dan perhiasan) juga semakin tinggi. Kekayaan orang-orang yang bergerak di bidang bisnis kalangan atas ini semakin tinggi seiring dengan semakin bertambahnya kemiskinan kolektif. Hal ini karena 70% peredaran uang berada di ibukota dengan lingkup dan jaringan yang itu-itu saja. Sehingga secara sepintas terlihat bahwa standar hidup masyarakat Jakarta dan kota-kota besar lainnya memang sangat tinggi dan sudah sangat sejahtera. Padahal fenomena itu hanya dialami oleh segelintir orang saja dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 200 juta jiwa.
Â
Sementara di sisi lain, kehidupan di tepian rel kereta api, di bantaran sungai, di atas tanah-tanah kosong milik negara, jauh dibelakang hutan-hutan beton Jakarta, serta di bawah kolong-kolong jalan layang, tidak pernah berubah. Bahkan semakin mengenaskan dan memprihatinkan. Rumah-rumah petak, rumah kardus, dan rumah papan dengan ukuran yang sangat jauh dari memadai, dan tidak akan mampu melindungi penghuninya dari terpaan hujan dan angin dingin, menjadi penanda adanya jarak dan dinding yang terentang di antara kesejahteraan dan kemiskinan.
Â
Kesejahteraan dan kekayaan semakin mendinding terhadap ketidakberdayaan dan kemiskinan. Si anak emas adalah siapa yang paling banyak menyedot dana dari bank alias yang paling banyak hutangnya kepada bank. Sementara anak tiri adalah siapa yang tidak memiliki akses berhutang kepada bank. Pada intinya, kesejahteraan adalah milik kaum multi hutang atau miliarder hutang. Padahal para miliarder hutang itu hidup bermewah-mewahan di atas hutang dalam jumlah yang fantastis. Sehingga dapat dipastikan, bahwa kemampuan individual mereka akan meningkat pesat seiring dengan meningkatnya jumlah utangnya di bank.
Â
Akhirnya saya menjadi bingung sendiri dengan fenomena yang saling bertentangan dan tidak merunut pada pemikiran yang logis ini. Mungkin fenomena yang aneh dan kacau balau seperti yang menimpa masyarakat di negeri tercinta, merupakan representasi dari jiwa sebagian masyarakatnya yang juga aneh dan kacau balau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H