“Iya, si Frank teman saya itu, setelah empat tahun tinggal di Indonesia sekarang berubah drastis. Ia menjadi orang yang sangat santai, bahkan seringkali terlambat bila ada janji dengan alasan terjebak macet.”, Ia menyahuti komentar saya.
Mikrolet yang unik. Dari sepenggal kejadian itu, masih tersimpan kelanjutan aneh lagi. Suatu hari, teman saya itu saya ajak naik mikrolet. Pangkal masalahnya adalah ketika kami hendak turun dari mikrolet. Kebetulan tempat duduknya lebih dekat dengan sopir. Ia bertanya kepada saya bagaimana caranya mengatakan bahwa kita akan turun. Saya lalu menyuruhnya mengatakan 'kiri Bang'. Sejenak ia mengerutkan keningnya, lalu menunjukkan mimik bingung. Lalu ia bertanya kepada saya “Kiri itu dalam bahasa Inggris apa artinya?”. Saya jawab “Left.”. Akhirnya ia berseru kepada sopir “Kiri Bang.”
Setelah turun dari mikrolet, ia bertanya lagi kepada saya kalau “stop” itu bahasa Indonesianya apa. Lalu saya jawab “berhenti”. Dia langusng mencecar saya, mengapa saya tadi tidak menyuruhnya mengatakan “berhenti”, mengapa harus “kiri”. Di situ saya langsung diam, tidak dapat menjawab apa-apa.
Saya pikir, benar juga apa yang dikatakan oleh teman saya itu. Kenapa kita mengatakan berhenti dengan kiri? Jadi kalau kita hendak belok kiri kita mengatakan apa ya? Jika kita mengatakan berhenti maknanya apa ya? Tapi akhirnya saya mengatakan, bahwa itu hanya bagian dari istilah penuturan lisan, atau ekspresi bahasa yang tidak baku, yang seringkali hanya dapat dimengerti oleh penutur bahasa lokal saja. Dan tidak dimengerti secara gramatikal. Teman saya itu tampak puas dengan penjelasan saya. Padahal saya sendiripun tidak tahu apakah penjelasan saya itu benar atau tidak.
Akrobat di gedung pencakar langit. Satu kejadian lagi yang membuat saya setengah tertawa dan setengah prihatin. Ceritanya, pada waktu itu kami sedang melewati sebuah gedung pencakar langit milik sebuah perkantoran besar di Jalan Jenderal Sudirman. Tiba-tiba teman saya itu minta agar mobil yang membawa kami berhenti. Ia langusng mengeluarkan handycamnya. Dalam hati, saya merasa akan ada sesuatu yang terjadi, yang bagi saya memprihatinkan namun dianggap lucu oleh teman saya itu. Benar saja, ia ternyata membidik dua orang petugas pembersih kaca menara yang sedang bekerja, hanya dengan peralatan seadanya tanpa alat pengaman.
Teman saya mengira, bahwa kedua orang itu sedang mengadakan pertunjukan akrobatik untuk memecahkan rekor atau penghargaan unik, seperti yang lazim dilakukan oleh orang Amerika bernyali ekstrem. Cukup sudah kesabaran saya. Akhirnya saya mengatakan bahwa kedua orang itu tidak sedang mengadakan pertunjukan, tetapi sedang bekerja membersihkan kaca menara.
Teman saya terkejut mendengar penuturan saya. Ia secara spontan langsung bertanya tentang asuransi kecelakaan, standarisasi alat-alat pengamanan, dan sistem kerjanya. Saya tidak ingin berpanjang-panjang lagi. Sehingga saya katakan bahwa jangankan standarisasi alat pengaman, untuk mengurus keluarnya dana asuransi saja terkadang prosedurnya cukup berbelit-belit. Apalagi berbicara tentang masalah keamanan dan jaminan kerja. Sudah beruntung jika mereka dapat bekerja seperti itu, di tengah situasi yang serba sulit untuk mendapatkan perkerjaan di negeri ini.
Akhirnya saya menyadari bahwa orang Indonesia ini memang sangat aneh. Ini seperti yang pernah ditulis oleh Jaya Suprana pada sebuah artikelnya “Gemar Membuat Rekor”. Fenomena yang ironis ini menunjukkan bahwa secara makro, Indonesia memang memiliki kemampuan eknomi kolektif yang relatif rendah, namun kemampuan ekonominya secara individual sangat tinggi. Bahkan tidak kalah bersaing dengan kemampuan individu dari golongan warga negara menegah atas di negara-negara maju.
Ini terbukti dengan pasaran mobil-mobil impor mewah yang selalu terserap habis di kalangan masyarakat Indonesia. Bahkan jika kita melihat pameran-pameran properti seperti yang sering digelar di JCC atau di hotel-hotel berbintang (contoh: pameran properti mewah negara sekaligus benua tetangga berharga puluhan milyar yang sering diadakan di Grand Hyatt), maka kita akan menemui bahwa apartemen-apartemen dan rumah-rumah yang berharga ratusan juta rupiah hingga miliaran rupiah itu laris manis bak kacang goreng diserbu oleh para pembeli lokal. Lebih jauh lagi, saya pernah membaca bahwa sebagian properti yang ada di negara maju seperti Singapura, Negara-negara Arab, Swiss, sampai Amerika Serikat, dan Australia, sebagian besar dibeli oleh orang-orang Indonesia. Dan yang lebih mencengangkan lagi adalah adanya segelintir konglomerat Indonesia yang mampu membeli pulau pribadi di luar negeri, dan tak sedikit pula yang menginvestasikan dananya keluar negeri dalam jumlah jutaan dolar per individu.
Banyak sekali individu Indonesia yang memiliki aset pribadi dari miliaran rupiah hingga puluhan triliun rupiah. Sementara OKB (Orang Kaya Baru) yang lahir akhir-akhir ini, terutama dari industri hiburan dan investasi, semakin tak terhitung seiring dengan amburadulnya perekonomian negara. Ada jutaan jumlah jutawan, ribuan jumlah miliarder, dan puluhan bahkan mungkin ratusan jumlah triliuner di Indonesia. Ada ratusan ribu mobil terserap di pasaran setiap tahunnya. Ada jutaan mobil yang berkeliaran di seluruh penjuru Jakarta. Betapa bisnis properti tumbuh sangat pesat di negeri ini, hingga sempat mengalami over demand dan habis dipesan sebelum selesai dibangun. Semua itu adalah suatu indikator bahwa kemampuan individu rakyat Indonesia sangat tinggi sementara kemampuan kolektifnya sangat rendah.
Jika hanya sekitar 3% - 4% saja dari total penduduk Indonesia yang memiliki kemampuan individual sangat tinggi, namun mampu merepresentasikan imej negeri ini di kalangan orang asing yang datang dan melihat secara sekilas negara Indonesia, maka fenomena apakah ini?