Hukum  pidana  secara  umum mengandung setidaknya dua jenis norma, yakni norma yang harus selalu dipenuhi agar suatu tindakan dapat disebut sebagai tindak pidana, dan norma yang berkenaan dengan ancaman pidana yang harus dikenakan bagi pelaku dari suatu tindak pidana. Secara terinci undang-undang  hukum  pidana  telah  mengatur  tentang: Â
1)  bilamana  suatu  pidana  dapat dijatuhkan  bagi  seorang  pelaku.
 2)  jenis  pidana  yang  bagaimanakah  yang  dapat dijatuhkan bagi pelaku tersebut.
 3) untuk berapa lama pidana dapat dijatuhkan atau berapabesarnya pidana denda yang dapat dijatuhkan, dan
 4) dengan cara bagaimanakah pidana harus dilaksanakan.
Sudah  umum  diketahui  bahwa  tindak  pidana  merupakan  pelanggaran  atas kepentingan negara sebagai representasi kepentingan publik. Hal ini kemudian menjadi dasar  kewenangan  bagi  negara  untuk  menentukan,  membuat  peraturan,  menuntut,  dan menghukum seseorang yang melanggar peraturan/hukum pidana. Hal ini diperkuat oleh pengklasifikasian ilmu hukum di mana hukum pidana adalah bagian dari hukum publik yang tidak membolehkan campur tangan individu. Di sinilah letak pentingnya kebijakan negara  dalam  kaitannya  dengan  penetapan  aturan  perundang-undangan  hukum  pidana. Dalam menentukan suatu tindak pidana digunakan kebijakan hukum pidana.Penegakan   hukum   pidana   merupakan   salah   satu   bentuk   dari   upaya penanggulangan   kejahatan.   Penggunaan   hukum   pidana   sebagai   alat   untuk penanggulangan   kejahatan   merupakan   bagian   dari   kebijakan   kriminal.   Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana tersebut dilakukan dalam rangka untuk mencapai tujuan akhir dari kebijakan kriminal itu sendiri, yaitu memberikan perlindungan masyarakat  agar  tercipta  ketertiban  dan  kesejahteraan.  Upaya  untuk  mencegah  dan menanggulangi  kejahatan  dengan  menggunakan  sarana  hukum  pidana  disebut  juga dengan  istilah penal  policyatau  kebijakan  penal. Kebijakan  hukum  pidana  tidak  hanya sebatas  membuat  suatu  peraturan  perundang-undangan  yang  mengatur  hal-hal  tertentu. Tetapi lebih dari itu, kebijakan hukum pidana memerlukan pendekatan yang menyeluruh yang melibatkan berbagai disiplin ilmu hukum selain ilmu hukum pidana serta kenyataan di dalam masyarakat sehingga kebijakan hukum pidana yang digunakan tidak keluar dari konsep yang lebih luas yaitu kebijakan sosial dan rencana pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sudarto  menjelaskan,  sebagaimana  dikutip  Barda  NawawiArief,  bahwa kebijakan penal mempunya dua arti, yaitu arti sempit yang memiliki cakupan keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;  dan  arti  luas  yang  mencakup  keseluruhan  fungsi  dari  aparatur penegak  hukum termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. Masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan pembuatan perundang-undangan semata. Dalam hal pembuatan perundang-undangan pidana, hal ini selain dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik-dogmatik, juga memerlukan pendekatan  yuridis  faktual  yang  dapat  berupa  pendekatan  sosiologis,  historis  dan komparatif,  bahkan  memerlukan  pula  pendekatan  komprehensif  dari  berbagai  disiplin sosial  lainnya  dan  pendekatan  integral  dengan  kebijakan  sosial  dan  pembangunan nasional pada umumnya. Marc  Ancel  menyatakan,  sebagaimana  dikutip  Barda  Nawawi  Arief,  bahwa modern criminal scienceterdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu criminology, criminal law, dan penal policy. Dalam halpenal policy, Ancel menyatakan bahwa itu adalah suatu ilmu sekaligus  seni  yang  pada  akhirnya  mempunyai  tujuan  praktis  untuk  memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberikan pedoman tidak  hanya  kepada  pembuat  undang-undang,  tetapi  juga  kepada  pengadilan  yang menerapkan undang-undang, dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.Selanjutnya  Marc  Ancel,  dalam  Barda  Nawawi  Arief,  menyatakan  bahwa  tiap masyarakat  yang  terorganisir  memiliki  sistem  hukum  pidana  yang  terdiri  dari: Â
1) peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya,Â
2) suatu prosedur hukum pidana, danÂ
3) suatu mekanisme pelaksanaan pidana.Â
Pengambilan suatukebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada  hakikatnya  tidak  dapat  dilepaskan  dari  tujuan  penanggulangan  kejahatan,  sehingga kebijakan hukum pidana juga  merupakan bagian dari politik kriminal.  Dengan  kata lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka kebijakan hukum pidana identik dengan pengertian "kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana". Kebijakan dalam upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum  pidana).  Penegakan  hukum  pidana  tidak  bisa  dilepaskan dari  kebijakan  yang dibuat  oleh  negara  dalam  rangka  menegakkan  aturan  demi  terwujudnya  kemaslahatan bersama,  sehingga  dengan  demikian,  kebijakan  hukum  pidana  sering  juga  dikatakan sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enfocement policy). Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada  hakikatnya  juga  merupakan  bagian  integral  dari  usaha  perlindungan  masyarakat (social  defence),  dan  usaha  mencapai  kesejahteraan  masyarakat  (social  welfare), sehingga wajar pula apabila kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian integral. dari  kebijakan  sosial  (social  policy).  Kebijakan  sosial  (social  policy)  itu  sendiri  dapat diartikan  sebagai  segala  usaha  yang  rasional  untuk  mencapai  kesejahteraan  masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi, di dalam pengertian social policysekaligus tercakup di dalamnya social welfare policydan social defence policy. Banyak  kalangan  menilai  bahwa  masyarakat  Indonesia  pada  umumnya  tidak merasa keberatan dan tidak merasa terbebani dengan adanya kebijakan penanggulangan kejahatan  melalui  sarana  hukum  pidana,  meskipun  sifat  dari  hukum  pidana  lebih menekankan aspek represif dari pada preventif. Sikap bangsa Indonesia dalam menerima kebijakan  ini  terlihat  daripraktik  perumusan  dan  penetapan  perundang-undangan  oleh wakil-wakil  rakyat  selama  ini  yang  menunjukkan  bahwa  penggunaan  hukum  pidana merupakan  bagian  dari  kebijakan  atau  politik  hukum  yang  dianut  di  Indonesia. Penggunaan  hukum  pidana  dianggap  sebagai  hal yang  wajar  dan  normal,  seolah-olah eksistensinya  tidak  lagi  dipersoalkan.  Namun  demikian,  yang  menjadi  masalah  adalah garis-garis  kebijakan  atau  pendekatan  bagaimanakah  yang  sebaiknya  ditempuh  dalam menggunakan hukum pidana itu. Sudarto,  sebagaimana  dikutip  Muladi  dan  Arief,  menyatakan  bahwa  apabila hukum pidana hendak digunakan seharusnya terlebih dahulu dilihat hubungannya dengan keseluruhan politik hukum pidana atau social defence planningyang merupakan bagian integral  dari  rencana  pembangunan  nasional. Politik  hukum  pidana  merupakan pengaturan  atau  penyusunan  secara  rasional  usaha-usaha  pengendalian  kejahatan  oleh masyarakat. Tujuan akhir dari kebijakan hukum pidana ialah "perlindungan masyarakat."
 untuk mencapai tujuan utama berupa "kebahagiaan warga masyarakat"(happiness of the citizens), "kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan"(a wholesome and cultural living), "kesejahteraan   masyarakat"(social   welfare),   dan   untuk   mencapai "keseimbangan"(equality). Kebijakan  hukum  pidana  hanyalah  merupakan  bagian  dari  politik  hukum nasional  yang  di  dalamnya  memiliki  bagian-bagian  yang  berbeda.  Meskipun  demikian, pelaksanaan  kebijakan  hukum  pidana  dapat  terjadi  secara  bersama  dari  semua  bagian secara terintegrasi. Bagian-bagian dari politik hukum nasional tersebut antara lain berupa kebijakan  kriminalisasi  (criminalization  policy),  kebijakan  pemidanaan  (punishment  policy), kebijakan  pengadilan  pidana  (criminal  justice  policy),  kebijakan  penegakan  hukum  (law enforcement policy), kebijakan administratif (administrative policy). Berdasarkanbagian-bagian  kebijakan  hukum  nasional  di  bidang  hukum  pidana tersebut di atas, maka dilihat dalam arti luas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang  lingkup  kebijakan  di  bidang  hukum  pidana  material,  di  bidang  hukum  pidana formal, dan di bidang hukum pelaksanaan pidana. Karena itu, kebijakan hukum pidana tidak termasuk kebijakan penanggulangan kejahatan di luar kerangka hukum. Selain itu, kebijakan/politik  hukum  pidana  juga  merupakan  upaya  menentukan  ke  arah  mana pemberlakuan  hukum  pidana  Indonesia  di  masa  yang  akan  datang  dengan  melihat penegakannya saat ini. Berkaitan  dengan  penegakan  hukum  pidana,  maka  perlu  dijelaskan  terlebih dahulu  pengertiannya.  Penegakan  hukum  yang  dalam  bahasa  Inggris  disebut law enforcementatau  bahasa  Belanda handhavingmerupakan  suatu  proses  untuk mewujudkan  keinginan-keinginan  hukum  menjadi  kenyataan.  Keinginan-keinginan hukum  di  sini  tidak  lain  adalah  pikiran-pikiran  badan  pembuat  undang-undang  yang dirumuskan  dalam  peraturan  hukum. Inti  penegakan  hukum  adalah  keserasian hubungan  antara  nilai-nilai  yang  terjabarkan  dalam  kaidah-kaidah  yang  mantap  dan berwujud  dengan  perilaku  sebagai  rangkaian  penjabaran  nilai  tahap  akhir  untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Berkaitan dengan penegakan hukum, Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa penegakan hukum adalah menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Hal ini berarti bahwa  penegak  hukum  dipercaya  oleh  masyarakat  untuk  menegakkan  nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang terkandung di dalam hukum. Lebih lanjut Menurut Barda Nawawi  Arief  menyatakan  bahwa  usaha  penanggulangan  kejahatan  dengan  hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari usaha penegakan hukum pidana, sehingga sering  pula  dikatakan  bahwa  politik  hukum  atau  kebijakan  hukum  pidana  merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Barda Nawawi Arief juga berpendapat bahwa penegakan hukum pidana terdiri dari  dua  tahap.  Pertama,  penegakan  hukum  pidana in  abstractodan  keduapenegakan hukum  pidana in  concreto.  Penegakan  hukum  pidana in  abstractomerupakan  tahap pembuatan/perumusan  (formulasi)  undang-undang  oleh  badan  legislatif,  yang  dapat disebut  tahap  legislasi.  Penegakan  hukum  pidana in  concretoterdiri  dari  tahap penerapan aplikasi oleh pihak penegak hukum.Â